SINEMATIK #8: Fenomena RUU vs Krisis Sosio-Ekologis: Quo Vadis Indonesia?

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Hari selasa, 19 Mei 2020, Sajogyo Institute telah mengadakan Serial Diskusi Online Tematik (SINEMATIK) edisi kedelapan. Diskusi daring melalui platform Zoom Meeting dan disiarkan di kanal Youtube Media Sajogyo Institute ini mengusung tema “Fenomena RUU VS Krisis Sosio-Ekologis: Quo Vadis Indonesia?”. Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber yaitu: Iqbal Damanik (Divisi Kajian Tambang Auriga), Bivitri Susanti (Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera), dan Eko Cahyono (Sajogyo Institute). dipandu oleh Ganies (Sajogyo Institute) sebagai moderator.

Sejak pertengahan 2019, publik sudah dikejutkan dengan bergulirnya RUU Pertanahan, di samping perubahan UU KPK dan RUU KUHP. Fenomena RUU ini kembali muncul menjelang 2020 dengan bergulirnya empat RUU Omnibus Law, seperti cipta kerja, ibukota negara, perpajakan dan kefarmasian. Bahkan, RUU Minerba (yang tidak diketahui alur prosesnya oleh publik) tiba-tiba sudah masuk ke level pengesahan menjadi UU.

Di sisi lain, keadaan sosio-ekologis Indonesia semakin hari semakin kompleks. Tercatat, 684.000 ha hutan per-tahun musnah. Sedangkan perubahan ruang hidup menjadi lahan tambang dan perkebunan sawit semakin hari semakin meluas.

Pembicara pertama, Iqbal Damanik menyampaikan materinya berjudul Hulu Hilir Ancaman UU Minerba dan Omnibus Law menjelaskan bahwa konsesi tambang yang mengepung seluruh wilayah Indonesia tidak lepas dari segala persoalan. Faktanya, daerah konsesi tidak mendorong kesejahteraan masyarakat yang berada di area konsesi. Daerah-daerah tersebut memiliki indeks IPM yang rendah.

UU Minerba yang baru saja disahkan menyediakan ruang yang sangat luas pada perusahaan pertambangan untuk melakukan eksplorasi di setiap jengkal tanah dan air Indonesia. Di saat trend global mulai menyusun rencana pengurangan ketergantungan terhadap sumber daya fosil dan beralih ke penggunaan sumber energi terbarukan, kita masih terjebak, malah menyusun rencana masif untuk memperluas daerah konsesi pertambangan yang faktanya sampai hari ini hanya menyisakan masalah lingkungan dan tidak menyebabkan kesejahteraan bagi masyarakat yang tanahnya di keruk.

Pembicara kedua, Bivitri Susanti menjelaskan tentang bagaimana legislasi ini berjalan. Mengapa terkesan dikebut pengesahannya dan apa yang bisa dan harus dilakukan untuk menghindari dampak atau ancaman yang mungkin hadir dari lahirnya UU ini.

Pembicara ketiga menggambarkan bagaimana genealogi konseptual munculnya fenomena banjir RUU pro pasar, yang salah satunya adalah Omnibus Law. Hal apa saja yang diabaikan dan ditutup oleh RUU pro pasar, serta refleksi dan posisi gerakan sosial ke depan.

Dari ketiga pembicara dapat disimpulkan bahwa perlunya pendekatan lain atau perubahan sudut pandang pembangunan kita yang semakin kesini semakin menunjukkan wajah pro pasar sementara tidak mempertimbangkan nasib rakyat sendiri. Oligarki yang menggurita membuat kekuasaan digunakan hanya untuk menguntungkan segelintir saja. Mereka yang terlibat di kedua lini ini, pasar dan politik. Fenomena yang terjadi ini harusnya menjadi momentum bagi kita untuk menggalang kekuatan dan menciptakan kedaulatan kita sendiri.

Unduh Bahan Materi:

Eko Cahyono – Omnibus Law: Pertaruhan Agenda Gerakan Rakyat, “Kita” Ada Dimana?

Iqbal Damanik – Hulu Hilir Ancaman UU Minerba dan Omnibus Law

Bivitri Susanti – Buru-Buru Mengesahkan RUU Terkait Sumber Daya Alam, Apa yang Diburu?

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × 2 =

KABAR TERBARU!