Jali Merah-Perjuangan Keadilan Agraria: Menggali Masa Lalu, Menerawang Masa Depan

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

“(Dalam acara yang diselenggarakan hari ini), kita berusaha melihat teladan dan meneladani, membuat cermin dari guru agraria, bukan hanya gagasannya, tapi hari ini (akan dijelaskan) secara komplet. Baik dari gagasannya, perilaku maupun perjalanan hidup beliau (Gunawan Wiradi) yang inspiratif.”

Begitulah, penggalan kata sambutan dari Eko Cahyono, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute (masa transisi) kala membuka acara Peluncuran dan Bedah Buku ‘Jali Merah dan Perjuangan Keadilan Agraria’ yang telah diselenggarakan pada Kamis (20/2).

Acara terselenggara sebagai bentuk menggali sisi dan sudut lebih mendalam dari Gunawan Wiradi maupun masa depan perjuangan agraria yang selama ini dicurahkan oleh beliau.

Surya Saluang, penulis buku Jali Merah memberi pengantar bedah buku Jali Merah. Beliau mengatakan bahwa pembuatan buku Jali Merah berawal sebagai bentuk pendokumentasian pemikiran dan jalan hidup dari para guru-guru agraria Indonesia, khususnya yang berada di Bogor. Hal ini belajar dari kurangnya usaha pendokumentasian kehidupan Prof. Sajogyo, yang wafat pada tahun 2012.

Selain itu, pendokumentasian gerakan-gerakan sosial merupakan hal terpenting dari pendokumentasian kehidupan seorang Gunawan Wiradi. “Pendokumentasian gerakan-gerakan sosial, pengalaman para aktivis dalam gerakan-gerakan sosial begitu penting, dibandingkan konsep-konsep formal dalam menghadapi isu yang digeluti oleh (organisasi) pergerakan sosial,” jelas Surya.

Jali Merah pun berusaha untuk menggali sisi lebih dalam seorang Gunawan Wiradi dalam perjalanan hidupnya melewati 6 (enam) zaman. “Buku Jali Merah berisi pengalaman hidup seorang Wiradi dan hal-hal yang belum terungkap. Meski begitu, memang ada hal yang tidak untuk dibuka karena lain hal, dan tidak masuk dalam buku ini,” ungkap Surya.

Moh. Shohibuddin, penyunting buku Perjuangan Keadilan Agraria (PKA), memberikan pengantar dan ulasan singkat mengenai buku PKA. PKA, menurut Shohibuddin, awalnya disusun sebagai bentuk persembahan ulang tahun Gunawan Wiradi ke-86. Namun, karena berbagai proses yang cukup lama dan tulisan yang masuk begitu banyak, buku Perjuangan Keadilan Agraria dibagi menjadi dua volume.

“Buku ke-2 akan segera terbit dalam waktu yang tidak lama lagi,” ujar Shohibuddin.

Buku PKA pertama ini, tutur Shohibuddin, berisi dan dikerangkai mengenai permasalahan kebijakan reforma agraria di Indonesia. Di dalamnya, berisi banyak aspirasi, gagasan dan pendapat dalam memperjuangan keadilan agraria di Indonesia. “Aspirasi dan perjuangan dari dan untuk keadilan agrarian itu menghadapi banyak konteks masalah ketidakadilan yang semuanya belum tentu jawabannya adalah reforma agraria,” jelas Shohibuddin.

Bagi Shohibuddin, buku yang ia susun berisi berbagai ragam arena perjuangan mencapai keadilan agrarian. “Dalam tulisan buku ini juga mencoba mengupayakan jalan baru mewujudkan keadilan agrarian, yang semuanya tidak bermuara kepada kebijakan reforma agrarian,” ungkap beliau.

Dalam sesi bedah buku yang dimoderatori oleh Hilma Safitri, peneliti senior Agrarian Resources Center Bandung, terdiri dari tiga pembedah, yaitu Prof. Achmad Sodiki (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi), Dr. Riwanto Tirtosudarmo (Peneliti Senior Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya LIPI) dan Mia Siscawati (Ketua Program Studi Kajian Gender SKSG Universitas Indonesia).

Prof. Achmad Sodiki memandang bahwa penuntasan masalah agraria di Indonesia tidak bisa dilihat dan dituntaskan hanya dari satu sudut pandang saja. “Hukum saja tidak menyelesaikan masalah, tapi perlu untuk melihat dari berbagai sudut,” ungkap Sodiki.

Hal ini tercermin dari pembentukan R-UUPA yang berlangsung lama, yaitu 12 tahun. Melihat dari banyak sudut pandang dan merasakan kembali pengalaman bangsa yang dijajah oleh Belanda dengan membuka lebar masuk modal asing ke Nusantara, menjadi sangat penting.

“Mengutip tutur Sadjarwo, Menteri Agraria pada 1960-an, ‘Jika UUPA ini diluncurkan, maka akan tumbanglah puncak-puncak kemegahan modal asing’. Ini adalah bentuk menyerap pengalaman masa penjajahan dahulu yang tak menghendaki dominasi modal asing itu,” tutur Mantan Ketua MK tersebut.

Sayangnya, hal ini berbanding terbalik setelah masuk pada fase Orde Baru yang otoriter-sentralistik, dari pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan, Revolusi Hijau, dan asas ekonomi trickle-down effect. Baginya, pembangunan adalah seyogyanya berpihak dan mengangkat masyarakat lapisan paling bawah.

“Dan apa yang disebut keadilan sosial itu? Bagaimanapun juga, sebagian besar dari rakyat Indonesia itu adalah petani dan buruh tani,” jelas Sodiki.

Riwanto Tirtosudarmo, dalam membedah buku Jali Merah, menjelaskan bahwa Jali Merah memberikan ulasan menarik tidak hanya mengenai diri seorang Gunawan Wiradi, tapi menembus hingga ke luar dirinya, yaitu sejarah sosial bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, ia juga mengungkapkan semacam kegelisahan terhadap apa yang terjadi saat ini.

“Buku yang membahas tidak saja dirinya (Gunawan Wiradi), tetapi juga di luar dirinya, khususnya sejarah bangsanya yang sedang dalam (keadaan terpuruk),” tutur Riwanto. Menurutnya, buku ini berisi tak hanya kegelisahan, tetapi sebentuk keprihatinan besar terhadap bangsanya.

Riwanto memberikan beberapa poin mengenai Jali Merah, dari sisi terdalam seorang Gunawan Wiradi yang merupakan keturunan ningrat Solo, ‘di mana sifat feodalnya baru bisa dikikis habis di usia senjanya’. Namun, menariknya, menurut Riwanto, “Kita bisa melihat seorang priyayi, ningrat, tetapi beliau memberikan perhatian yang luar biasa kepada buruh tani”.

Selain itu, Riwanto berpendapat (ditujukan kepada penulis Jali Merah) untuk memperdalam sisi terdalam Gunawan Wiradi, yaitu sisi religiositas. “Yang perlu dikupas adalah kehidupan religious pak Wiradi. Buat saya menarik. Mengapa? Sebagai seorang Jawa, pak Wiradi punya religiositas seperti umumya orang Jawa dan Priyayi,” tutur peneliti senior LIPI tersebut.

Juga, Riwanto menekankan fase-fase kehidupan Gunawan Wiradi yang menarik untuk diikuti, seperti masa-masa saat menjadi ‘Tuan Mahasiswa’ pada sepanjang dekade 1950-an, dan kehidupan Gunawan Wiradi sebagai peneliti dan komunikasi dan persahabatannya dengan para peneliti lain baik di dalam maupun luar negeri.

Lebih mendalam, Riwanto mengungkap bahwa buku ini juga mengajak untuk menguak beberapa hal yang selama ini tabu dalam sejarah kehidupan Indonesia, khususnya pada fase Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), seperti dalam perjalanan pembentukan UUPA, sejarah CGMI, Reforma Agraria dan Penelitian Sosial Pedesaan dari salah satu partai yang kini terlarang, kehidupan Gunawan Wiradi sebagai seorang nasionalis dan Soekarnois (yang karenanya, ia menjadi ‘gelandangan zaman’ di masa Orba).

Mia Siscawati memberikan hasil bedahnya terhadap buku PKA dilihat dari sudut pandang Gender, khususnya Perempuan. Mia mengajak para hadirin untuk merefleksikan empat konsep perjuangan keadilan agraria yang diusulkan oleh Gunawan Wiradi terhadap masalah gender di Indonesia, seperti (1) konsep tentang petani, (2) konsep tentang perlawanan petani, (3) konsep tentang kebijakan agraria, dan (4) konsep tentang akumulasi primitif.

Dalam konsep tentang petani, Mia menekankan untuk memunculkan atau menampakkan Perempuan Petani (atau Petani Perempuan), Perempuan Nelayan, Perempuan Peramu dan sebagainya. Baginya, selama ini dalam kajian agraria dan petani, peran perempuan seringkali tidak nampak.

“Dalam pengelolaan Sumber-sumber Agraria, bisa saja perempuan dalam hal ini tidak terlihat, tidak Nampak. Tetapi apa yang sebenarnya dilakukan (perempuan) di rumah, (berperan dan berkontribusi) besar dalam proses produksi,” jelas Mia.

Memunculkan peran perempuan ini bisa dicapai dengan pisau analisis, yang dalam kajian feminism, yaitu reproduksi sosial. Reproduksi sosial ini memandang kegiatan produksi dan reproduksi dari perempuan tidak bisa dipisahkan. Dengan menampakkan peran perempuan ini, bagi Mia, merupakan ‘Suatu bentuk pengangkatan harkat martabat perempuan, tidak hanya sekadar istri petani, istri nelayan, dan sebagainya.”

Ada beberapa refleksi dalam aktivisme dan pengorganisasian petani perempuan. Seperti masalah dominasi (jumlah) lelaki dalam pergerakan petani dibanding perempuan, sejauh mana sinergi antara gerakan pembaruan agraria dengan gerakan perempuan, suatu gerakan perempuan petani yang nyata di lapangan.

Dalam produksi pengetahuan, Mia memberikan masukan mengenai sejarah konflik agraria. “Ada suatu gagasan untuk melihat sejarah konflik agraria dari perspektif gender atau perspektif perempuan,” jelas Mia. Selain itu, mengenai data-data dasar, Mia mengungkap tidak adanya pemilahan dalam data dasar seperti berapa jumlah petani perempuan, berapa luas yang dikontrol dan dikuasai oleh perempuan, dan sebagainya.

Mia juga menjelaskan beberapa kebijakan reforma agraria yang bias lelaki. Hal ini terlihat dari studi kasus di salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor di mana penduduknya notabene adalah penambang.

Di dalam mengkawal SK Hutan Adat di Pasir Eurih, Mia memberi contoh, pengelolaan hutan adat perlu untuk dikawal. Hal ini terjadi karena kepentingan laki-laki yang menginginkan pemanfaatan lahan hutan  untuk kopi, berlawanan dengan pendapat para perempuan yang menekankan hutan sebagai sumber pangan. “Bukan artinya menjadi sawah, tetapi menjadi tempat sumber-sumber buah-buahan hutan, ada tanaman-tanaman hutan lain yang bila dimakan, tidak hanya menjadi sumber pangan, juga memiliki khasiat,” ungkap Mia.

Setelah diskusi dan tukar pikiran selama satu jam, sebelum menutup acara, Gunawan Wiradi memberikan tanggapan dan kata penutup.

Dalam buku Jali Merah, Wiradi menjelaskan mengenai Sociology of Love. Hal ini disinggung mengaitkan dengan kondisi bangsa ini. Menurutnya, ada tujuh tingkat dalam cinta: (1) Brotherly Love, (2) Platonic Love, (3) Sexual Love, (4) Romantic Love, (5) Conjuncture Love, (6) Plutonic Love, dan (7) Patriotic Love.

Menurut Wiradi, Indonesia kini sedang terjangkit Plutonic Love. “Sekarang, yang merajalela di masyarakat kita adalah Platonic Love, cinta kekuasaan, cinta harta. Kalau perlu mengorbankan teman, (menurut tingkat cinta ini) tidak apa-apa. Ini sedang merajalela,” tegas Wiradi.

Oleh karena itu, Wiradi, merefleksikan kehidupannya melewati enam zaman, menekankan kepada hadirin untuk berada tingkat cinta ke-7 (tujuh), yaitu Patriotic Love sebagai modal dasar memperbaiki Indonesia masa kini dan masa depan.

Dalam acara ini, Prof. Sri-Edi Swasono turut menuliskan bedah buku Jali Merah dalam mengupas kehidupan Gunawan Wiradi. Dalam buku kecil, Sri-Edi menulis hasil bedahan tersebut berjudul ‘Nasionalis dan Patriot dari Solo. Buku kecil ini dibagikan kepada para hadirin. [Kmi]

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 − five =

KABAR TERBARU!