Jauh Panggang dari Api: Mengevaluasi Pelaksanaan Program Reforma Agraria

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Jumat (17/9), The Conversation Indonesia, bekerjasama dengan Sajogyo Institute dan didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI), mengadakan talkshow dengan mengangkat tema “Tanah Untuk Siapa: Evaluasi Keberhasilan Program Reforma Agraria”. Hadir sebagai pembicara, Ganies Oktaviana (Sajogyo Institute), Abetnego Panca Putra Tarigan (Deputi II Kantor Staf Kepresidenan), Surya Tjandra (Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional), dan Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono (Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) serta moderator, Ika Krismantari (The Conversation Indonesia). (Sumber gambar: YouTube The Conversation Indonesia)

Jumat (17/9), The Conversation Indonesia, bekerjasama dengan Sajogyo Institute dan didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI), mengadakan talkshow dengan mengangkat tema “Tanah Untuk Siapa: Evaluasi Keberhasilan Program Reforma Agraria”. Talksow berlangsung antara pukul 14.00 – 15.30 WIB.

Hadir sebagai pembicara antara lain peneliti dari Ganies Oktaviana (Sajogyo Institute), Abetnego Panca Putra Tarigan (Deputi II Kantor Staf Kepresidenan), Surya Tjandra (Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional), dan Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono (Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta).

Talkshow ini diselenggarakan sebagai salah satu kerja untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan pelaksanaan kebijakan reforma agraria di Indonesia yang dimulai pada tahun 2018 lalu.

Diskusi dibuka oleh Ika Krismantari sebagai moderator, dimulai dari update data terakhir dari Sajogyo Institute tentang pelaksanaan reforma agraria di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Update data tersebut berfokus pada dua poin yaitu program sertifikasi tanah dan redistribusi lahan yang keduanya menjadi bagian dari reforma agraria yang dicanangkan pemerintah.

Dari sana terlihat bahwa untuk program sertifikasi tanah diklaim telah melampaui targetnya yaitu sampai bulan Agustus kemarin sudah mencapai 124 persen. Jadi dari target 3,9 juta hektar lahan (skema PTSL), sudah mencapai 4,85 juta hektar lahan.

Namun, capaian program lainnya, yaitu redistribusi lahan, amat berbanding terbalik, apalagi yang berkaitan dengan kawasan hutan. Dari kawasan hutan yang ditargetkan untuk didistribusi seluas 4,1 juta lahan, ternyata yang terealisasi masih kurang dari 5%.

Ganies memaparkan, Sajogyo institute telah melakukan riset pada bulan November-Desember 2020 di tiga tempat, antara lain di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah tepatnya di Desa Balumpewa Kecamatan Dolo Barat, Desa Bunga Kecamatan Palalo, serta lokasi satunya lagi yaitu Kabupaten Malang, Kecamatan Dampit, Desa Bumirejo.

Alasan pemilihan tempat riset tersebut karena merupakan representasi dari jenis-jenis kawasan. Desa Bunga misalnya adalah  representasi TORA di kawasan HGU milik swasta, Desa Balumpewa adalah representasi TORA di kawasan hutan, sedangkan di Desa Bumirejo adalah representasi implementasi TORA di kawasan HGU BUMN atau tepatnya PTPN XII.

Ganies menjelaskan temuan-temuan lapangan terkait hambatan-hambatan redistrisbusi lahan di mana itu memiliki arena pertarungannya sendiri dan prosesnya ternyata tidak mudah.

Seperti yang ditemukan dalam kasus di Kabupaten Sigi. Kabupaten ini diakui secara nasional sebagai kabupaten yang paling progresif dalam menjalankan program reforma agraria bahkan sebelum program ini dijalankan oleh pusat. Kabupaten Sigi telah memasukkan program reformasi agraria dalam RPJMD mereka dan menganggarkan dana-dana untuk pemetaan partisipatif hingga ke tingkat desa. Namun, ketika proses administrasi segala macam untuk pengajuan penetapan tanah terlantar di lapangan berjalan atau selesai lalu kemudian diajukan ke pusat untuk disahkan, hasilnya mandek.

Hal ini menurutnya sangat disayangkan. Jika penerapan reforma agraria di Kabupaten Sigi ingin dijadikan sebagai pilot project, mestinya ini benar-benar dijadikan contoh yang baik oleh pusat. Namun, meski sudah menjadi proyek strategis yang diupayakan di tingkat nasional, isu-isu ego-sektoral di pusat antara ATR/BPN dan KLHK selalu muncul di lapangan dan menjadi satu faktor penghambat yang seharusnya sudah sejak dahulu diselesaikan.

Untuk kasus lainnya, di Desa Bumirejo, Malang, Sajogyo Institute membeberkan alasan mengapa melakukan penelitian pendampingan di sana. Alasannya adalah PTPN XII telah berakhir masa izinnya. Lalu pula, konflik yang terjadi di area PTPN Kalibakar ini telah berlangsaung lama bahkan sejak zaman kolonial. Hingga kini, masyarakat masih berjuang mendapatkan haknya atas tanah di mana PTPN ini berada.

Hal ini diakui oleh Surya Tjandra ketika ditanya letak masalahnya di mana atau apa saja yang sudah dilakukan pemerintah terkait reforma agraria itu sendiri. Dia menjelaskan contoh, misalnya TORA untuk PTKH yang diklaim dari LHK ada 2,7 juta ha. Dari 2,7 juta ha itu, sekitar 1,5 juta ha sudah masuk Area Penggunaan Lain (APL), artinya sudah bisa didistribusikan kalau diinginkan.

Menurut Surya, tantangan-tantangan dalam ATR/BPN terkait klaim TORA dari KLHK di atas tidak semua begitu, sehingga butuh dilakukan penapisan-penapisan di mana membutuhkan kerja ekstra dan rutin sementara anggaran yang dialokasikan untuk menjalankan program tersebut tidak besar serta resources yang minim (bahkan tidak ada). Intinya, program reforma agrarian belum tersinkron dengan baik antara apa yang BPN bisa kerjakan dengan apa yang LHK bersedia berikan.

Sementara itu, Abetnego (mewakili KSP) menyampaikan masalah yang menjadi hambatan lain. Bahwa dalam kurun waktu hampir empat tahun terakhir, terjadi perubahan kebijakan yang cukup kencang.

Ia merunut, sebelumnya ada Perpres PPTKH. Kemudian, ada Perpres Reforma Agraria. Lalu, dalam perjalanannya, berkembang dan lahir Undang-Undang Cipta Kerja yang lalu PPTKH itu diserap dalam PP No 23 Tahun 2021. Jadi, menurutnya, memang perubahan-perubahan itu juga menciptakan perubahan-perubahan mekanisme.

Sama seperti yang terjadi di Kabupaten Sigi, sebelum Perpres 88 dan 86, sudah dilakukan reforma agraria oleh pemerintah daerah di sana, namun output yang mereka buat belum menyesuaikan dengan proses yang telah tertuang dalam perubahan peraturan dan undang-undang. Sehingga menurut KSP, masih diskusi mendalam apakah program-program yang sudah ada harus di-restart kembali.

Dalam konteks perubahan terbaru, yaitu disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, memang sangat banyak memperbarui, meskipun undang-undang ini sementara sedang digugat. Namun, sebelum ada keputusan yang mengikat, Undang-Undang Cipta Kerja tetap memberikan dampak pada perubahan-perubahan kebijakan.

Prof. Maria menanggapi dan menekankan, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja dalam bagian penertiban kawasan dan tanah terlantar, berakibat pada proses yang malah menjadi panjang sekali. “Ini seperti kembali ke Undang-Undang zaman setelah reformasi’, tegasnya.

Maria mencontohkan, tanah terlantar setelah penetapan Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu PP No. 18 memberi kelonggaran bagi HGU yang sudah berakhir masih diberi nafas selama dua tahun setelahnya untuk pembaharuan hak. Artinya, dalam reforma agraria pasca cipta kerja, untuk penetapan tanah negara eks hak atas tanah itu masih harus menunggu dua tahun.

Ketika moderator bertanya akankah ada harapan bagi reforma agraria untuk bisa berhasil, Maria beliau menjawab setidaknya ada dua hal.

Pertama, kepada Sajogyo Institute (dan lembaga CSO sejenis lainnya. red.) yang mengusulkan kasus-kasus lama yang muncul sebelum pengesahan UU Cipta Kerja, tetap mengawal betul prosesnya. Menurutnya, seperti dikatakan oleh pihak KSP, apabila aturan lama tersebut benar-benar di-restart. Untuk menyesuaikan dengan UU Cipta Kerja, maka proses yang sebelumnya setahun dengan proses tiga kali, akan jadi memulai lagi dari nol dan memakan proses lebih panjang sampai sekitar empat tahun. Kedua, kepada KSP, Prof. Maria mengusulkan untuk didorong adanya SKB (surat keputusan bersama) atau ones for all di pemerintah pusat.

Di waktu terpisah setelah talkshow, Ganies menambahkan bahwa adanya dualisme regulasi yang digunakan untuk pendataan TORA di dalam kawasan hutan dengan di luar kawasan hutan menyebabkan ketidaksinkronan dalam instrumen pengambilan data pendaftaran tanah untuk TORA.

Selain itu, syarat clean & clear suatu lahan juga menjadi momok tersendiri dalam pengusulan TORA. Karena seharusnya, dalam terjadinya konflik agraria harus diperantarai penyelesaiannya melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) atau Tim Reforma Agraria Nasional (TRAN). Bukan dihindari dengan dalih belum clean & clear.

Sebagai bukti konkret, dari ketiga lokasi riset tersebut, luas usulan TORA yang disetujui masih jauh dari yang diharapkan.

Di Desa Bunga, dari luas 417,11 ha yang diusulkan (APL = 77,19 ha; Hutan Produksi Terbatas = 139,56 ha; Kawasan Suaka Alam = 200,37 ha), setidaknya hanya sekitar ± 66 ha yang disetujui oleh KHLK untuk menjadi TORA dan luas sisanya masih menggantung status hukumnya (HGU terlantar).

Di Desa Balumpewa, dari total usulan TORA 465,01 ha (APL = 2,35 ha; Kawasan Suaka Alam = 326,29 ha; Hutan Lindung = 136,37 ha), hanya 62,3 ha yang disetujui KLHK untuk TORA.

Di Bumirejo malah hanya 1,4% yang pernah diukur dari 1.372,80 ha luas Desa Bumirejo.

Untuk itu, Sajogyo Institute bersikeras untuk mengawal dan mendorong proses percepatan reforma agraria di ketiga lokasi ini, antara lain dengan mendorong agar terciptanya terobosan-terobosan pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah proses reforma agraria.

Diskusi talkshow dapat disimak kembali melalui tayangan berikut.

Hasil-hasil riset di tiga lokasi dapat dilihat kembali melalui tautan-tautan berikut:

  1. Hamdani, Ahmad dan Syaukani Ichsan. 2021. “Kriteria Tanah Objek Tanah Reforma Agraria (TORA) dan Peluang Partisipasi Rakyat dalam Pendaftaran Tanah”. Working Paper Sajogyo Institute (Vol. 1, No. 2, Juli 2021). Bogor: Sajogyo Institute.
  2. Kasmiati. 2021. “Studi Kebijakan Pendaftaran Tanah dan Kriteria TORA di Desa Balumpewa, Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah”. Working Paper Sajogyo Institute (Vol. 1, No. 4, Agustus 2021). Bogor: Sajogyo Institute.
  3. Oktaviana, Ganies dan Lailatun Naharoh. 2021. “Studi Kebijakan Pendaftaran Tanah dan Kriteria Tora Di Desa Bunga, Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah”. Working Paper Sajogyo Institute (Vol. 1, No. 3, Juli 2021). Bogor: Sajogyo Institute.

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − 12 =

KABAR TERBARU!