Istilah Mazhab Bogor tercetus pada momen pendirian Yayasan Sajogyo Inside (kini Yayasan Sajogyo Inti Utama) pada Maret 2005. Penyebutan istilah Mazhab Bogor tidak lepas dari representasi 4 orang ilmuwan Bogor yang mengabdikan diri pada masalah-masalah pedesaan di Indonesia, yaitu Prof. Dr. Sajogyo, Prof. Dr. Pudjiwati Sajogyo, Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro dan Dr. (HC) Gunawan Wiradi.
Pemikiran yang ditawarkan oleh Mazhab Bogor adalah berusaha untuk mengupas dan memahami masalah-masalah di pedesaan dalam aspek sosial-ekonomi dan melalui analisis dan disiplin keilmuan sosiologi. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman penelitian-aksi yang telah dijalani oleh keempat tokoh tersebut di tahun 1960-an yang berkembang dalam penelitian lapang Bimbingan Massal (BIMAS).
Prinsip BIMAS (kelak menjadi landasan bagi kaji tindak partisipatif) adalah timbal balik dan sinergitas antara praktek dan teori, menjadi praktek yang ber-teori. Caranya, mengirimkan mahasiswa ke pedesaan (terutama di masa tanam penuh), mengajarkan ilmu yang mereka dapat di perkuliahan sekaligus belajar dari petani, memperkenalkan teknik tanam baru, menghubungkan antara aparat desa dan petani, lalu membawa pengalaman itu kembali ke bangku kuliah.
Mazhab Bogor sangat menekankan pada keterlibatan aktif dan kemandirian masyarakat desa dari bawah (menghidupkan ‘tenaga dalam masyarakat’). Artinya, mengangkat harkat martabat lapisan masyarakat paling bawah (paling rentan, paling miskin, paling termarjinalkan) adalah misi dan inti paling utama dari pemikiran Mazhab Bogor.
Sikap pemikiran ini sangat tercermin pada kritik terhadap Revolusi Hijau pada dekade 1970-1980. Kebijakan pembangunan pertanian di masa itu terlalu bias kelas petani atas dan orang-orang kaya pedesaan dan meninggalkan lapisan bawah masyarakat pedesaan (petani gurem, buruh tani, kaum perempuan desa). Sehingga, pola pembangunan tersebut dikritik sebagai modernization without development.
Dari kritik-kritik terhadap kebijakan Revolusi Hijau, Mazhab Bogor mengetengahkan diskursus kritis terhadap masalah-masalah pedesaan secara komprehensif dan tidak sepotong-sepotong. Mengangkat harkat martabat masyarakat lapis paling bawah memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan tidak setengah-setengah.
Tidak hanya berbicara inovasi dan alih-teknologi, tidak hanya berbicara produktivitas dan jumlah produksi pertanian, tidak hanya berbicara jumlah pendapatan uang semata, tetapi yang lebih substantif dan vital seperti transformasi kelembagaan dan masyarakat desa, masalah-masalah agraria (tanah sebagai sumber sosial ekonomi desa!), pelibatan berbagai elemen dan pihak di desa (terutama perempuan, petani gurem dan buruh tani-tunakisma), masalah gizi dan pangan, hingga keterkaitan antara on-farm dan off-farm.
Namun, di balik itu semua, kata kunci dalam transformasi pedesaan Indonesia adalah restrukturisasi penguasaan sumber-sumber produksi desa, yaitu tanah (sumber-sumber agraria).
© 2021 Sajogyo institute