Mengembangkan Wakaf Agraria di Aceh: Sajogyo Institute Ikut Mendorong Pengarusutamaan Wakaf Agraria

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Urgensi Wakaf Agraria

Selama ini, anggapan mengenai peruntukan wakaf yang berkembang luas di masyarakat adalah untuk tujuan-tujuan yang lebih bersifat keagamaan, seperti tempat ibadah (masjid, meunasah), pendidikan (madrasah, pesantren atau dayah), dan lahan pemakaman umat Islam. Sementara itu, peruntukan wakaf untuk tujuan usaha produktif, terlebih dalam bidang pertanian dan agraria, belum dipahami dan dipraktikkan secara luas oleh masyarakat. Hal ini cukup mengherankan mengingat wakaf yang pertama kali dilakukan umat Islam justru adalah wakaf kebun kurma yang dilakukan oleh Umar bin Khathab yang hasil panennya disalurkan untuk sanak kerabat, golongan fakir miskin, dan untuk membiayai jihad di jalan Allah.

Wakaf produktif untuk usaha pertanian demi mewujudkan kesejahteraan umum ini justru tidak banyak berkembang di masyarakat. Padahal, skema wakaf semacam ini sangat relevan sebagai solusi alternatif atas persoalan struktural di bidang pertanian, agraria dan lingkungan yang terjadi dewasa ini. Seperti di tempat lain, masyarakat Aceh juga menghadapi berbagai persoalan kronis semacam ini: fragmentasi penguasaan tanah pertanian (karena proses waris-mewaris), konversi lahan pertanian (karena kegagalan pemerintah mengendalikan alih fungsi tanah), usahatani yang tidak memenuhi skala keekonomian (karena penguasaan lahan yang terlampau sempit), stagnasi modernisasi pertanian (karena kendala modal, teknologi dan kapasitas), serta degradasi fungsi hidrologis yang sangat vital bagi sistem pertanian (karena konversi hutan dan kerusakan alam di wilayah hulu).

Dalam rangka menghadapi problem di atas, maka diperlukan inovasi untuk mengembangkan skema khusus wakaf yang diistilahkan sebagai “wakaf agraria” (Shohibuddin 2019). Istilah ini dapat diartikan sebagai tindakan mewujudkan harta wakaf yang terutama berupa (namun tidak terbatas pada) tanah dengan tata kuasa, tata guna dan tata produksi yang ditetapkan secara khusus dalam ikrar wakaf sehingga dapat dikelola dan dikembangkan sebagai usaha pertanian yang produktif, menjadi sumber kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus menjamin keberlanjutan ekologis.

Skema wakaf agraria dalam pengertian di atas patut dipertimbangkan sebagai solusi terobosan. Sebab, jika dikembangkan secara inovatif, wakaf agraria dapat menjadi skema “pencegahan eksklusi” di satu sisi dan sekaligus “jaminan akses” di sisi yang lain. Sebagai contoh, wakaf agraria merupakan skema yang tepat untuk mencegah proses eksklusi petani kecil secara gradual yang terjadi karena proses fragmentasi dan alih fungsi lahan serta ancaman kemerosotan daya dukung lingkungan. Pada saat yang sama, wakaf agraria juga bisa menjadi skema jaminan akses atas lahan garapan, modal usaha, teknologi, dan pasar, misalnya melalui konsolidasi lahan gurem dan pengembangan korporasi petani berbasis wakaf.

Pengarusutamaan Wakaf Agraria di Aceh

Dalam konteks Aceh, pengembangan wakaf agraria ini sangat relevan mengingat Aceh adalah provinsi satu-satunya di Indonesia yang secara formal menerapkan syariat Islam; dan oleh karena itu, mempunyai tanggung jawab moral untuk memberikan keteladanan dalam pengembangan dan inovasi skema wakaf agraria ini. Dalam rangka ini, pada 25 dan 26 Agustus 2020 yang lalu telah dilaksanakan dua forum webinar mengenai relevansi wakaf agraria bagi Aceh. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Agraria IPB dan Sajogyo Institute di Bogor bersama dengan mitra-mitranya di Aceh. Webinar yang pertama diselenggarakan atas kerja sama dengan Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry dan ICAIOS di Banda Aceh, sementara webinar kedua diselenggarakan atas kerja sama dengan Pusat Pengabdian Masyarakat LP2M IAIN Langsa.

Para pembicara yang menyampaikan presentasi dalam kedua forum itu berasal dari berbagai latar belakang, yakni akademisi, birokrat, legislator dan aktivis gerakan lingkungan dan perempuan. Pembicara dari akademisi adalah M. Shohibuddin (peneliti Pusat Studi Agraria dan dosen Fak. Ekologi Manusia IPB), Dr. Awwaluz Zikri (dosen Fak. Syariah IAIN Langsa), dan Suraiyya Kamaruzzaman (dosen Unsyiah Banda Aceh dan Presidium Balai Syura Aceh). Selain itu, pembicara lain adalah Ketua Baitul Mal Aceh (Dr. Armiadi, MA), Ketua DPR Aceh (Dahlan Jamaluddin, S.Ip), dan aktivis lingkungan Afrizal Akmal yang juga merupakan salah satu penggerak hutan wakaf di Jantho, Aceh Besar.

Dalam kedua forum webinar itu, para pembicara bersepakat mengenai urgensi pengembangan wakaf agraria di Aceh. Beberapa agenda yang perlu didorong lebih lanjut mencakup penyempurnaan qanun dan kebijakan wakaf di Aceh, penguatan peran dan kelembagaan Baitul Mal Aceh, sosialisasi seputar literacy wakaf agraria, penguatan kapasitas para nazhir di Aceh, dan pengembangan model-model wakaf agraria secara konkret yang dapat menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat. Para pembicara kemudian juga mendorong perlunya diadakan pelatihan wakaf agraria guna memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai wakaf dan pengembangannya dalam bentuk wakaf agraria di Aceh.  []

===========

Catatan:

Presentasi wakaf agraria dalam dua forum webinar tersebut dapat diunduh melalui tautan berikut ini:

PPT webinar hari pertama: http://ipb.link/wakaf-agraria-uin-aceh.

PPT webinar hari kedua: http://ipb.link/wakaf-agraria-iain-langsa

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 + 17 =

KABAR TERBARU!