Oleh Surya Saluang
Negara badak adalah negara yang sangat menghormati badak. Jika ada tamu kehormatan berkunjung ke negara ini, maka tamu tersebut akan dipertemukan dengan badak. Tentu demikian secara konsep, agar sesuatu berada pada tempatnya yang benar, sehingga indah dipandang. Pertemuan badak dengan tamu-tamu kehormatan itu menjadi lazim, dalam dunia negara badak.
Indonesia adalah negara badak, dalam artian di atas. Taman Nasional Ujung Kulon menjadi wilayah kehormatan tersebut. Citra dan prestise bangsa Indonesia cukup banyak bergantung pada badak-badak di Ujung Kulon. Berbagai utusan kehormatan dari berbagai negara di dunia telah berkunjung ke tempat ini, untuk menemui badak. Badak kemudian menjadi ikon kehormatan dan identitas, yang memuat pengertian bahwa bangsa Indonesia adalah teladan bagi kelestarian alam.
Ujung tombak keteladanan ekologi tersebut adalah warga Ujung Kulon sendiri yang sudah berpuluh bahkan ratusan tahun hidup bersama badak. Ketika di tempat lain berbagai spesies sudah punah, warga Ujung Kulon menjadi bukti atas keramahan manusia bagi ekologi sekitarnya. Dan selama ratusan tahun hidup bersama badak, warga tidak juga menjadi badak. Mungkin itulah sebabnya mengapa mereka tidak dilibatkan dalam berbagai pertemuan dengan para tamu kehormatan, yang hanya ingin menemui badak itu.
Teologi Tanah Ujung Kulon
Rahasia keramahan masyarakat Ujung Kulon atas ekologi adalah kepercayaan mereka bahwa tanah merupakan suatu tatanan utuh; mulai wilayah kasat mata sampai nir-duniawi. Kepercayaan tersebut merupakan suatu teologi tanah yang membuat mereka percaya hingga hari ini, bahwa dengan tanah mereka bisa menjangkau keutamaan hidup. Dalam teologi tersebut terkandung moral dan etika yang transenden, bahwa alam tidak sekedar bentangan tanah tampak, namun juga menyimpan simulasi tanda berikut maksud-maksudnya; dari sesuatu yang melampaui manusia.
Dalam tatanan tersebut, mereka membagi tanah dalam dua kriteria yakni: wilayah titipan dan wilayah tutupan. Wilayah titipan merupakan warisan langsung dari leluhur yang bisa dijadikan alat produksi, sumber penghidupan. Di tanah titipan manusia hidup dan berkembang biak, diiringi oleh perkembangan sistem produksinya. Dalam wilayah inilah kerja “pemanfaatan alam” boleh dilakukan. Sementara wilayah tutupan tidak terdapat hubungan langsungnya dalam wawasan produksi, namun memberi petunjuk mengenai hakikat produksi dan tujuan esensialnya. Kaitan antara wilayah titipan dengan tutupan lebih mirip kaitan antara dunia kerja dan dunia motif. Kerja ada di wilayah titipan, dengan motif yang dibawa dari tutupan.
Wilayah tutupan seperti negeri mistis, dengan penduduk yang mistis pula. Badak sebagai salah satu penduduknya ikut menjadi mistis, dianggap penyendiri dan rumit. Ada juga macan jejadian di wilayah ini yang bisa muncul menampakkan diri ketika hati lepas kendali. Hingga wilayah tutupan dipenuhi oleh berbagai pantangan dan larangan niat, sakral dan sepenuhnya terbuka pada langit. Mungkin wilayah tutupan adalah tempat tinggal dewa, sehingga pantang dijamah niat durja. Di ujung selatan wilayah tutupan, adalah tempat bertapa bagi para pencari kesejatian (juga para oportunis klenik). Dan antara kedua wilayah ini, titipan dan tutupan; dibatasi oleh sungai yang selalu mengalirhanyutkan berbagai ketegangan antar kedua wilayah ke laut lepas; samudra. Harmoni tetap selalu menjadi hal yang menonjol dalam tatanan seperti ini.
Pemahaman ruang demikian menciptakan suatu gesekan psikologis. Bahwa tanah di seberang adalah dekat sesungguhnya (yakni dekat di hati, fundamen motif kehidupan), namun, sekaligus jauh, walau terlihat, bisa dijangkau, sekaligus tak terolah. Antara yang di seberang dengan yang di sini, saling kait-mengkait menyusun rerantai sebab dan akibat; sistematika karma. Dalam ketegangan itu, terjadi prosesi ruang yang ulang-alik dalam kesadaran; menimbang dan mengukur efek niat dan perbuatan, hingga terbiasa menjinakkan diri sendiri sudah sejak sebelum berbuat baik di wilayah titipan, apalagi di wilayah tutupan [1].
Dalam teologi itu, manusia dan badak dinilai sama-sama memiliki tujuan penciptaan yang setara. Dalam daur hidup bersama, satu sama lain saling memberi kontribusi pada keutuhan lingkungan. Semua saling berperan dalam membentuk suatu lingkar kehidupan, bukan lagi berpusat pada satu pihak tertentu. Badak berperan sebagai binatang yang baik, manusia sebagai manusia yang baik. Dan dalam peran-peran tersebut, ada suatu moral yang harus diemban dan dihubungkan kepada kepercayaan nir-duniawi, yang menjadi momentum tabu dan doa, ritus dan metode (baca: tradisi), serta sakralitas tanah dan ruang. Badak yang pendiam itu, dalam alur pembacaan seperti ini (sebagaimana diasumsikan oleh masyarakat Ujung Kulon); adalah perenung sejati yang suka bertafakkur sendiri mengenai awal mula penciptaan. Etika dan teologi yang berujung harmoni pada dasarnya memang mengandung Tuhan dalam kecenderungan pemaknaannya.
Perspektif Badak
Dalam jajaran idiom manusia Indonesia, kata “badak” juga digunakan sebagai sindiran. Misalnya, “muka badak”, frase yang paling sering kita dengar. Muka badak adalah muka tanpa mimik seperti badak. Badak tidak pernah tersenyum, apalagi tertawa, banyak yang menyebutnya lebih mirip menangis karena matanya yang selalu berair, namun tanpa mimik yang tegas. Ungkapan “muka badak” sebagai sindiran, mengacu pada pemahaman tentang manusia yang sudah kehilangan jiwa. Manusia Ujung Kulon tentunya sangat mengenal badak, sehingga mereka tidak mau seperti badak itu, apalagi menjadi.
Pada manusia tanpa jiwa, parodi tidak menjadi tawa, ironi tidak menjadi nestapa, dan rasa tak menumbuhkan cita apa-apa. Semua berjalan sesuai perut dan kentut saja, dan sedikit lainnya di sekitar itu. Sikap dan tindakan hanyalah insting yang disistematisir sedemikian rupa ke dalam nalar kolektif (baca; pengertian-pengertian) demi meminimalisir konflik dalam hidup bersama saja (seperti pertumbuhan masyarakat konsumer yang identik sebagai insting yang disistematisir tersebut).
Manusia tanpa nurani itu menganut suatu cara pandang yang mensimulasikan kenyataan sebagai arena bagi kegandrungan dan pertumbuhan insting kuasa badaniah.Kuasa badaniah itu bentuknya sangat artifisial, namun bisa jadi sublim dalam diri pelakunya. Misalkan saja, seseorang yang begitu bangga bisa menunjuki orang yang bertanya arah jalan dengan cara yang berlebihan, seakan si penanya sangat bodoh sekali, dan si penjawab menikmati fungsi pengetahuannya untuk mendominasi hubungan tersebut. Dalam caranya menjawab, ia lebih berusaha untuk membuat si penanya tampak semakin dungu, ketimbang tampak semakin tercerahkan oleh jawabannya.
Artifisialitas yang sublim itu telah menjadi penyakit manusia sejak pengetahuan disistematisir dalam berbagai mekanisme kuasa dan justru membatasi kesadaran. Dalam kesadaran yang dibatasi, orang mencukupi kebutuhan sublimasinya dengan menghisap baju menjadi kulit tubuhnya. Gelar-gelar kehormatan dikumpulkan dalam satu kartu nama. Wawasan adalah sama pengertiannya dengan hafalan dalam ranah budaya seperti ini. Berkata-kata seakan sudah berbuat, sementara kata-kata kunci justru dijadikan bahan ejekan, dianggap basi atau lebay. Orang-orang yang tidak berani mengambil sikap, gamang dengan bayangan diri sendiri, dan memilih kenyamanan-kenyamanan yang konvensional saja mengisi sisa umurnya. Walau persoalan nyata di depan hidungnya terus saja membesar, namun yang dilihatnya hanyalah hikmah-hikmah yang diajarkan televisi saban hari.
Nama perspektif dalam kondisi di atas adalah perspektif badak. Perspektif ini sama sekali tidak menyangkut badak, namun berhubungan dengan kekudaan penglihatan dan ketidakpedulian pada kenyataan di depan hidungnya sendiri. Dengan alasan yang mengarah pada upaya mempertahankan kenyamanan diri sendiri, demi kuasa badani. Perspektif ini selalu mengarah kepada sistematisasi kerja kekuasaan diri sendiri dalam berbagai pengabaian nurani terhadap yang lain. Begitulah, manusia menumbuhkan perspektif badak di dalam dirinya, semakin lama semakin menjadi badak. Dengan pertumbuhan perspektif badak tersebut, ancaman yang muncul menjadi lebih besar dari sekedar si muka badak.
Perspektif badak terus tumbuh menjadi sistem dan membangun kemapanan ruang justifikasinya. Selama ini di Ujung Kulon, dinding ruang justifikasi itu ditegakkan melalui konsep konservasi demi kelestarian badak. Istilah konservasi kemudian dekat artinya dengan penjajahan manusia melalui badak, oleh segelintir manusia lainnya. Sistem yang dibangun dalam bentuk yang paling artifisial adalah Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) itu sendiri. Dengan dinding konseptual mengenai konservasi dan penerapan sistem TNUK ini, kebijakan yang dihasilkan bermuka badak, tidak nyengir sedikitpun melihat ironi kebijakan yang muncul atas manusia sekitar, yang selama ini justru menjadi ujung tombak kelestarian badak-badak tersebut.
Akses masyarakat atas potensi tanah titipan pun dibatasi. Sedang tanah tutupan tidak lagi sakral, keluhurannya runtuh oleh masuknya dollar atas nama konservasi. Anjungan para dewa kini berubah menjadi menara polisi hutan, yang bersenjata dan berpatroli. Kaitan antara tanah titipan dan tanah tutupan menjadi labil, muncul kecurigaan jangan-jangan warisan itu memang dongeng belaka. Ketegangan ini semakin memuncak, ketika badak dapat menikmati dollar dalam jumlah besar. Dalam kemiskinannya, warga mempertaruhkan keyakinanannya di hadapan dollar. Sedangkan si badak terus menjadi bintang dalam kesepiannya, dan warga semakin terjauhkan dari zaman, dianggap sebagai kaum yang aneh dan irasional.
Bisakah warga menuntut upah atas keramahan ekologis mereka pada badak selama ini? Warisan teologi mereka tidak mengajarkan untuk pamrih demikian. Sungguh pun itu dongeng, mereka masih lebih percaya dan memilihnya sebagai keyakinan, daripada memilih pengetahuan yang tanpa nurani. Memang terkadang di banyak tempat, fakta sejarah dan dongeng diposisikan sam saja valid atau tidak validnya, karena bergantung pada kepentingannya membangun orientasi teologis, bukan orientasi politis. Sebagaimana sejarah ilmiah sebenarnya disusun oleh orientasi ideologi pengetahuan (politis), dan dongeng disusun dari orientasi ideologi kehidupan. Dalam kata lain, tidak semua hal yang ilmiah lantas membuat hidup menjadi lebih baik.
TNUK menjadi bukti dari turunan konsep-konsep ilmiah ekologi dan konservasi yang ternyata tidak membuat hidup menjadi lebih baik. Justru, semakin memperburuk. Objektivitas yang tajam dan menuntut aplikasi yang rigorous itu, sayang sekali, penglihatannya seperti kuda. TNUK menjadi lambang dari perspektif badak. Berbagai nalar dikemukakan, untuk mendukung hak asasi badak dan melazimkan kemiskinan warga.
Skala prioritas formal muncul, dimana hak asasi manusia (HAM) memang berada di bawah hak asasi badak (HAB). Segala kebijakan dan berbagai rencana yang ada, sepenuhnya harus mempertimbangkan badak sebagai penduduk kelas pertama, baru kemudian manusia. Kolonialisme saja sepertinya tidak sanggup membayangkan sampai sejauh ini. Ironi ini dibawa oleh TNUK sejak tahun 1982. Perspektif ini membunuh kemanusiaan; bagai hewan buas, seorang warga mati di tangan polisi hutan ketika dituduh menebang pohon di area badak di tahun 2007. Mungkin si polisi hutan itu mulai merasakan nikmatnya punya kuasa, sebuah pistol di tangan! Artifisial namun sublim! Dalam keterangan warga, si korban tidak membawa kampak atau alat tebang lainnya, hanya seikat petai yang ia genggam di tangan seketika terkapar di atas tanah terkena peluru, menghadap Tuhannya. Wallaahu A’lam bis-Shawaab.
[1] Teologi tanah masyarakat Ujung Kulon ini bersepadan dengan prinsip-prinsip etika ekologi mendalam (deep ecology), yang berkembang baru-baru ini saja, sekitar tahun 1970-an dalam alam pikir barat. Pemikiran ini merupakan kritik atas paradigma ekologi yang antroposentris, yang memposisikan manusia superior di hadapan alam. Sementara semakin terlihat, berbagai kegagalan dari berbagai paradigma superior demikian, khususnya dalam keilmuan sosial-humaniora yang ingin merumuskan hubungan antara manusia dengan bentang tanahnya. Jika superioritas dipertahankan, alam akan semakin terkuras dan berubah menjadi bencana bagi manusia (karma).