Penulis: Eko Cahyono**
Gunawan Wiradi adalah figur ideal intelektual-aktivis di zamannya, yang menjaga autentisitas pemikiran dan marwah diri dengan “ngelmu iku kalakone kanthi laku” (ilmu itu terwujud-nyatakan dalam praktik, aksi, dan perbuatan).
Sore itu, gerimis tak henti-henti. Untuk sekian kali, telpon berdering, update kondisi Pak Gunawan Wiradi (GWR) yang sedang dirawat di RS Mulia, Jalan Padjajaran, Bogor. “Mas, Mobil Ambulance sudah dapat..” kata seorang pegiat Sajogyo Institute. Alhamdulilah, rencana memindah Pak Wiradi ke RS Senior Hospital Bogor, dengan fasilitas lebih lengkap, akan segera kami lakukan. Saya bersiap diri.
Belum lima menit, telpon berdering lagi, Pak GWR di usia 88 tahun, berpulang ke hadirat ilahi. Innalilahi wa Inna ilaih rojiuun. Hari itu, senin, 30 November 2020, sekitar pukul 19.35 WIB. Dini hari, Kami memberangkatkan dan mengiringi jenazah Pak GWR di Pasarehan Ageng Manang, Desa Manang, Kec. Grogol, Kab. Sukohardjo, Jawa Tengah. Persemayaman terakhir yang telah lama diwasiatkannya sendiri.
Sebut Saja: Guru Agraria “Mazhab Bogor”
Saya mengenal Pak GWR, sejak bergiat di Sajogyo Institute, tahun 2007. Saya termasuk generasi cucu atau mungkin cicit. Saat itu, para Guru Agraria-Pedesaan “Mazbah Bogor”, yakni Prof. Sajogyo, Prof. Sediono MP Tjondronegoro, masih sehat. Hanya Prof. Pudjiwati Sajogyo yang telah wafat. Memahami bingkai pemikirian dan legacy keilmuan Pak GWR yang populer sebagai tokoh Pemikir dan Pejuang Reforma Agraria Indonesia, sulit dilepaskan dari lingkar epistemic community-nya di kelompok “Mazhab Bogor” Ini.
Mereka dikenal sebagai peletak dasar keilmuan Sosiologi Pedesaan dan Studi Agraria di Indonesia, yang setia dengan tradisi ilmu sosial kritis. Fokus utamanya pada persoalan dinamika kelompok paling lemah dan termiskin di pedesaan. Prinsip dasarnya: ilmu tidak pernah bebas nilai. Sebab ilmu itu bukanlah prevalence, tapi mandat moral untuk diabdikan; membela dan berpihak pada yang tertindas. Tujuan akhirnya, transformasi sosial dengan cara memanusiakan manusia, menaikkan derajat, harkat-martabat kemanusiaan, khususnya kelompok lapis sosial termiskin di pedesaan, perempuan dan laki-laki. Akibat ragam relasi kuasa struktural ekonomi politik, lokal, nasional-global yang timpang. “Sosialisme Kerakyatan” menjadi ruh dasar kelimuan dan panggilan moral mereka. Watak dasarnya, tak boleh ada praktik “penghisapan dan penindasan” manusia atas manusia lainnya.
Karakter keteladanan hidup dari Pak GWR dan para Guru Agraria-Pedesaan “Mazhab Bogor” ini, hampir serupa, yakni melakoni “zuhud kecendikiawanan”. Berjuang di jalan sunyi, jauh dari gemerlap “seleberitas” panggung kekuasan dan gelimang harta benda duniawi. Tugas para ilmuwan dan intelektual bagi mereka bukanlah di pucuk “menara gading” dan ruang-ruang wangi. Namun bergulat nyata selaras nafas dan derita kehidupan rakyat yang dibelanya. Bukan memakai “mata halikopter”, tapi “mata cacing” melekat pada tanah yang digumulinya. Wajar jika Pak GWR dan Para Guru “Mazhab Bogor” memenui syarat intelektual organik dan “scholar activist”. Satu kaki, kuat dalam tradisi akademik, di kaki yang lain tetap terlibat nyata dalam aktivisme gerakan sosial di Indonesia, meski dengan derajat yang berbeda-beda.
Suatu saat, saya mendapat pertanyaan sulit, bagaimana menjelaskan “Riset Yang Berpihak”? Satu model riset yang dikembangkan Sajogyo Institute bersumber dari tradisi “Kaji Tindak” (Action Research). Bukankah itu melanggar prinsip “objektifitas”? Saya bertanya ke Pak GWR, jawabnya:“Memang ada ilmu pengetahuan yang benar-benar objektif?” (Khususnya tradisi ilmu sosial humaniora). Lanjutnya: ”Dalam riset, yang “objektif” itu metode dan metodologi, tapi tidak, dalam sikap moral!”. Saya jadi faham, jika Pak GWR mengulang-ulang beda makna “Profesional” dengan “Vocasional”. Menurutya, istilah Profesional itu melekat arti “bayaran”. Maka, jika Petinju Profesional sama dengan Petinju Bayaran. Peneliti Profesional sama dengan Peneliti Bayaran, dst. Lalu, apa vocasional? Menurut Pak GWR adalah satu sikap yang di dalamnya melekat panggilan moral. Maka menjadi Peneliti dengan prinsip vocasional, tugasnya bukan semata memproduksi pengetahuan yang baik, tapi juga terikat tanya di dalamnya, riset itu untuk siapa? Dalam puluhan buku-buku dan ratusan karya ilmiah Pak GWR, benang merahnya sama: vocasionalisme. Sikap dan panggilan moral-intelektual yang selalu berpihak pada mereka yang dikalahkan.
Integritas dan Konsistensi
Dalam Surat Wasiat yang ditulis, Februari 2016 lalu, disebutkan Pak GWR lahir dari keluarga bangsawan Solo, tanggal 28 Agustus 1932. Ayahnya bernama R. Pujo Sastro Supodo, dan ibu bernama R. Ayu Sumirah. Pak GWR bungsu dari sebelas bersaudara. Ayahnya meninggal, saat Ia berumur 3 tahun. Maka, Ibunya hidup sendiri, sebagai “single parent” menanggung seluruh beban keluarga. Inilah penyebab Pak GWR hidup “ngenger” (dititipkan) ke sanak saudara. Fase proses penempaan hidup yang membentuk pribadi tangguh, ulet dan tahan banting. Tahun 1953 Pak GWR lulus SMA. Atas biasiswa pemerintah diterima di Fakultas Pertanian IPB (Universitas Indonesia). Mendapatkan beasiswa magister di School of Comparative Social Sciences di University Sains Malaysia (USM) pada 1975. Merampungkan tesisnya berjudul Rural Development and Rural Institution: A Study of Institutional Change in Java. Kisah hidup Pak GWR telah disusun apik oleh Surya Saluang, berjudul: Jali Merah: Dari berbagai Tuturan Biografis Gunawan Wiradi (Obor, 2019). Jatuh bangun dan “keloro-loro” hidupnya, menjadi cambuk sekaligus pembentuk nilai idealisme, kesederhanaan, kerendaan hati dan sikap empatik, hingga akhir hayatnya.
Pada saat terjadi huru hara politik 1965, Pak GWR adalah salah satu dari 11 Dosen yang “disingkirkan” dari IPB. Meski tak terbukti keterlibatannya. Prof. Sajogyo adalah sahabat yang mengulurkan tangan menolongnya. Namun, akhirnya sejarah mencatat, karya dan prestasi akademik yang otoritatif di bidang agraria menjadi dasar pengakuan IPB memberikan Doktor Honoris Causa (Tahun 2009) bidang Sosiologi Pedesaan dengan fokus Kajian Agraria. Integritas ilmiah dan konsistensinya sebagai pejuang Reforma agraria menjadikannya diakui oleh “kawan” maupun “lawan” hingga akhir hayatnya. Baginya, dunia boleh berubah, namun perubahan itu tidak harus membuat manusia tercabut dari akar jati diri sendiri. “Sungai” adalah sumbu falsafati konsistensinya. Ia berujar: “Saya itu ibarat Sungai, bukan Sumur. Tak perlu ditimba, saya akan mengalirkan yang saya punya. Sebab, dengan mengalir ke lautan, Sungai itu, setia pada sumbernya..”
Dalam salahsatu tulisan “terakhirnya” (15 Mei 2020), berjudul “Renungan Seorang Lansia: Kondisi Poleksosbud Indonesia Sejak Beberapa Dasa Warsa Terakhir”, Pak GWR gundah. Menurutnya, “Republik ini, makin menjauh (kadang dipakai diksi: menyeleweng) dari jiwa Proklamasi. Lalu, apa yang harus dilakukan sekarang? Pak GWR meminta respon kepada kolega dan para muridnya, termasuk saya. Namun, semua jawab, belum melegakan kegundahannya. Biarlah saya kutip kegundahan itu sebagai penutup obituari ini: “Tetapi, apakah itu berarti sebenarnya Revolusi belum selesai? Jika begitu, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara menyelesaikannya? Sementara itu, sekarang ini, bicara soal Revolusi saja terasa sudah ditabukan, karena mungkin diasosiasikan dengan kemungkinan menjadi terorisme. Teori-teori tentang Revolusi agaknya perlu dipelajari kembali. Sebab, tidak ada Revolusi yang berhasil tanpa teori Revolusi. Benarkah?”
Selamat jalan Pak Gun. Terima kasih teladanmu. Kami akan meneruskan legacy-mu. Menjadikan Urip jadi Urup dan Murupi. Amien.
====
*Tulisan telah dimuat di website dan majalah Tempo pada edisi 12 Desember 2020. Artikel asli dapat dilihat langsung dengan meng-klik di sini.
** Penulis merupakan Peneliti dan Pegiat Sajogyo Institute.