Sepuluh Masalah Fundamental Pelanggaran Konstitusional dalam UU Cipta Kerja

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

GERAKAN REFORMA AGRARIA TOLAK UU CIPTA KERJA, ALAT HUKUM BARU LIBERALISASI SUMBER-SUMBER AGRARIA INDONESIA !

Pernyataan Sikap Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Atas Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja

Jakarta, 06 Oktober 2020

Landasan hukum membangun sistem ekonomi-politik  ultraneoliberal  di Republik Indonesia  telah paripurna. Meski publik luas menyatakan penolakannya,  dalam tempo sesingkat-singkatnya  hanya delapan bulan sejak Presiden menyerahkan Draft RUU Cipta Kerja kepada DPR, akhirnya mayoritas fraksi menyepakati lahirnya UU Cipta Kerja.

Gerbang  kapitalisme agraria  resmi dibuka  lebih lebar oleh Pemerintah  setelah mengantongi  ijin formil dari DPR RI. Kedaulatan  agraria rakyat dan bangsa resmi dipangkas. Tanggal 05 Oktober 2020 menjadi Hari Kejahatan Terhadap Konstitusi oleh DPR RI yang seharusnya menjadi Penjaga dan Penegak Konstitusi.

Sebanyak 79 UU dan 186 pasal rampung dibahas. DPR RI menutup mata dan telinganya dengan tetap maraton secepat kilat merumuskan landasan hukum bagi kemudahan berbisnis badan-badan usaha melalui RUU Cipta Kerja. Mulusnya proses di DPR tidaklah mengherankan karena mayoritas Anggota  DPR adalah  pengusaha,  pemilik  modal  atau pejabat  teras dari  badan-badan  usaha negara/swasta.

Berdasarkan final RUU Cipta Kerja yang diterima Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) per tanggal

5 Oktober 2020, dapat dilihat orientasi ideologi  ekonomi-politik  yang terkandung  dalam UU tidak berubah. Disahkannya  UU  Cipta  Kerja  memberikan  kepastian  hukum  dan  kemudahan  proses kepada investor dan badan usaha raksasa sehingga lebih mudah merampas tanah rakyat, menghancurkan pertanian rakyat, merusak lingkungan dan memenjarakan masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya.

Kami sampaikan 10 (sepuluh) masalah fundamental UU Cipta Kerja berbasis agraria diantaranya:

1)     Menabrak Konstitusi. Pengabaian  terhadap konstitusi, secara khusus Pasal 33 UUD 1945, Ayat  (3) mengenai kewajiban  Negara  atas tanah dan kekayaan  alam Bangsa  dan Ayat (4) mengenai prinsip dan corak demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa. Lebih jauh lagi, banyak keputusan  Mahkamah   Konsitusi  (MK)  yang  telah  ditabrak  UU  Cipta  Kerja,  diantaranya Keputusan MK terhadap UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

2)     Tidak ada landasan filosofis, ideologis, yuridis dan sosiologis sehingga watak UU sangat liberal di bidang pertanahan. Tidak ada UU yang dijadikan acuan untuk masalah pertanahan. Argumen “norma baru” menjadi cara agar RUU Pertanahan yang bermasalah pada September 2019  lalu dapat  dicopy-paste/diseludupkan  ke dalam  UU  Cipta Kerja. Inilah  bentuk  kolutif birokrat  dalam  proses legislasi. Tanpa  landasan hukum  yang  diacu, maka UU Cipta Kerja bermaksud menggantikan prinsip-prinsip UUPA yang telah dilahirkan para pendiri bangsa dan Panitia Negara. Para  perumus  UU  Cipta  Kerja  mengabaikan  UUPA  sebagai  terjemahan langsung hukum agraria nasional dari Pasal 33 UUD 1945.

3)     Azas dan cara-cara domein verklaring (Negaraisasi Tanah) dihidupkan kembali Domein verklaring yang telah dihapus UUPA1960,  dihidupkan lagi dengan cara menyelewengkan Hak Menguasai  Dari Negara (HMN)  atas tanah. Seolah  Negara (cq. Pemerintah) pemilik  tanah, sehingga diberi  kewenangan  teramat luas melalui Hak Pengelolaan (HPL)/Hak  Atas Tanah Pemerintah. HPL ini disusun sedemikian rupa menjadi powerful dan luas cakupannya.  Satu, HPL dapat diberikan  pengelolaannya  kepada Pihak Ketiga; Dua, dari HPL dapat diterbitkan macam-macam hak, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) kepada badan usaha dan pemilik pemodal. Tiga, tidak adanya pemberian batas waktu HGU dll., sehingga moral hazard kembali menyeruak di tengah dominasi HGU oleh badan usaha (BUMN/PTPN   dan  swasta).  Empat,  perpanjangan   dan  pembaruan  hak  dapat  dilakukan sekaligus. Inilah bentuk kejahatan terhadap Konstitusi.

4)     Bank  Tanah  Melayani  Pemilik  Modal,  Sarat  Monopoli  dan  Spekulasi  Tanah.  Untuk menampung, mengelola  dan  melakukan  transaks i tanah-tanah  hasil  klaim  sepihak  negara (domein verklaring/negaraisasi tanah) dibentuk Bank Tanah (BT). Lembaga BT diberi kewenangan mengelola HPL.   Meski disebut sebagai lembaga non-profit namun sumber pendanaannya membuka kesempatan pada pihak ke tiga (swasta) dan hutang lembaga asing. Tata cara kerjanya  pun berorientasi  melayani  pemilik modal. Sehingga  para pemilik modal memiliki akses lebih luas dan proses lebih mudah memperoleh tanah melalui skema BT. Proses negaraisasi tanah sebagai sumber HPL bagi BT, otomatis membahayakan konstitusionalitas petani dan rakyat miskin atas tanah-tanahnya,  yang belum diakui secara de-jure oleh sistem Negara. Pengalokasian  tanah oleh BT tanpa batasan luas dan waktu mendorong eksploitasi sumber-sumber agraria, rentan praktik kolutif dan koruptif antara birokrat dan investor. BT juga berpotensi menjadi lembaga spekulan tanah versi pemerintah.

5)     Penyesatan Publik Tentang Reforma Agraria Dalam Bank Tanah. Agenda Reforma Agraria (RA) diklaim sebagai bagian dari pemenuhan aspiras i yang dijawab UU Cipta Kerja. Ini bentuk penyesatan kepada publik. Semakin memperjelas ketidakpahaman yang fatal para birokrat dan legislator tentang RA. Reforma Agraria sebagai jalam pemenuhan  hak berbasiskan keadilan sosial untuk  kaum  tani, buruh  tani, dan rakyat  miskin tak bertanah  (landless) TIDAK  BISA diletakan dalam business process pengadaan  tanah bagi kepentingan  investor. Tujuan social justice, perbaikan ketimpangan dan transformasi ekonomi dalam proses Reforma Agraria tidak bisa dicampuradukan dengan orientasi dab tujuan ekonomi liberal dalam BT. Reforma Agraria “dibawa-bawa” sebagai pemanis meminimalisir penolakan  gerakan RA terhadap rencana BT sejak penolakan 2019.

6)     Ketimpangan penguasaan tanah dan konversi tanah pertanian kecil dilegitimasi. Dalam UU  Cipta  Kerja, pemerintah  dan  perusahaan  memiliki  kewenangan  untuk  secara sepihak menentukan  lokasi pembangunan infrastruktur tanpa persetujuan  masyarakat. Otomatis, UU akan memperparah penggusuran, ketimpangan  dan konflik agraria sebab mempercepat dan mempermudah proses perampasan tanah (land grabbing) demi pengadaan tanah untuk pembangunan  infrastruktur,  perkebunan,  pertambangan,  energi,  agribisnis, pariwisata,  dan kehutanan.  UU juga menghapus mekanisme perlindungan  terhadap lahan pertanian pangan dengan  merubah UU Perlindungan  Lahan  Pertanian Pangan Berkelanjutan.  Petani dipaksa angkat kaki dari tanah pertaniannya jika pemerintah menetapkannya sebagai obyek pembangunan.

7)     Alat hukum baru pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan untuk mengkriminalisasi rakyat. Petani, masyarakat adat dan pejuang  agraria kembali di ujung tanduk pemenjaraan akibat  klaim  kawasan  hutan (Negaraisasi  Hutan)  kembali  dikukuhkan.  UU ini  mengingkari putusan MK No. 95/2014 terkait UU Kehutanan, sehingga pemerintah dan perusahaan  bisa memenjarakan rakyat yang menguasai dan memanfaatkan hasil hutannya. UU Cipta Kerja juga memasukan  larangan  bagi  petani   dan  masyarakat  adat  untuk  berladang   dengan  cara membakar. Hal ini menunjukkan sikap anti petani kecil dengan budaya agrarisnya. Juga mengancam kedaulatan masyarakat adat dan kearifan lokalnya di atas wilayah adatnya.

8)     Diskriminasi hak petani akibat klaim hutan negara. UU ini memberikan keistimewaan untuk percepatan proyek strategis nasional (PSN), yang sebelumnya sering terhambat karena ketentuan  minimal tutupan  hutan 30%. Berbanding  terbalik  untuk  kepentingan  RA, dimana pemerintah  selalu menggunakan  dasar 30% tersebut. Petani dan masyarakat  adat lagi-lagi hanya diberikan solusi penyelesaian  konflik melalui izin akses perhutanan sosial. K laim DPR tentang UU menjadi jalan penyelesaian konflik sama sekali tak terbukti. Sebab hak petani dan kampung-kampung dalam klaim PERHUTANI dan HTI tetap diabaikan.

9)     Penghilangan hak konstitusional dan kedaulatan petani atas benih lokal. UU Cipta Kerja melarang petani untuk memuliakan benihnya sendiri. Padahal MK telah memutuskan bahwa petani kecil berhak untuk memuliakan benihnya melalui Putusan MK No.138/PUU-XIII/2015.

10) Diskriminasi  petani dan  nelayan  sebagai produsen pangan  negara yang  utama,  dan kebijakan kontraproduktif terhadap janji kedaulatan pangan. UU Cipta Kerja merubah UU Pangan dengan  cara menghapus frasa petani,  nelayan  dan pembudidaya  ikan.  Digantikan dengan frasa pelaku usaha pangan. Artinya, UU Cipta Kerja adalah kemunduran jauh upaya penghormatan dan perlindungan petani dan nelayan. Orientasi bisnis pertanian skala besar ini rentan mendiskriminasi sentra-sentra produksi pertanian dan pangan dari petani dan nelayan sebagai produsen pangan negara yang utama.

Atas  masalah-masalah  fundamental  UU  Cipta  Kerja  di  atas,  maka  kami  dari  KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA) menyatakan:

MENOLAK UU CIPTA KERJA

Mengingat UU ini bukan semata masalah “klaster ketenagakerjaan” atau sesederhana janji job creation seperti yang diangung-angungkan  dan dipromosikan DPR dan Pemerintah.

Sejatinya   kaum   tani,   masyarakat   agraris   di  pedesaan   bukan   dijadikan   obyek   eksploitasi pembangunan  bercorak kapitalistik,  hanya sebagai sumber cadangan pekerja  bagi para pemilik modal.

UU ini menunjukkan pergeseran ideologi bangsa, pergeseran politik hukum agraria nasional. Sebab banyak materi UU yang bertentangan  dengan nilai-nilai  Pancasila, UUD 1945 dan UUPA 1960. Ada persoalan ekonomi politik Indonesia yang dirancang begitu liberal, dari hulu ke hilir pemilik modal-lah yang kelak menyetir orientasi pembangunan ke depan.

Akibatnya  banyak  rakyat  akan kehilangan sumber  mata  pencahariannya.  Dipreteli  hak-hak dasarnya akibat liberalisasi sumber-sumber agraria.

Sejak Februari  s/d September,  KPA bersama Anggota  telah  menyampaikan  sikap dan aspirasi penolakan.  Sebagai kelanjutan  sikap  perjuangan,   KPA  akan  mengkonsolidasikan   komponen gerakan reforma agraria untuk membatalkan UU Cipta Kerja demi keadilan sosial, keberlanjutan hidup  dan  penjagaan  pusat-pusat  produksi  kaum petani,  buruh,  masyarakat  adat,  nelayan, perempuan serta kaum tak bertanah di desa dan di kota. Salah satunya, langkah konstitusional yang akan dilakukan KPA adalah mengajukan judicial review atas UU Cipta Kerja kepada Mahkamah Konstitusi.

Kepada Anggota KPA di 23 provinsi, mari jaga dan perkuat wilayah reklaiming rakyat dari ancaman kapitalisme agraria. Perkuat praktik-praktik Reforma Agraria atas inisiatif rakyat dari bawah, agar makin kokoh menghadapi ancaman perampasan tanah.

Mengajak  seluruh elemen gerakan sosial untuk mendorong persatuan gerakan nasional menolak

UU Cipta Kerja. MARI LAWAN, TEGAKKAN KONSTITUSI.

 

Salam pembaruan agraria,

Konsorsium Pembaruan Agraria

 

Dewi Kartika
Sekretaris Jenderal

 

Tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria:

  1. Serikat Petani Pasundan Garut (SPP Garut)
  2. Serikat Petani Pasundan Tasikmalaya (SPP Tasik)
  3. Serikat Tani Indramayu (STI)
  4. Pergerakan Petani Banten (P2B)
  5. Paguyuban Petani Cianjur (PPC)
  6. Serikat Petani Karawang (SEPETAK)
  7. Serikat Tani Tebo (STT), Jambi
  8. Serikat Petani Batanghari (SPB), Jambi
  9. Persatuan Petani Jambi (PPJ)
  10. Serikat Petani Sriwijaya (SPS)
  11. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
  12. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
  13. Payuguban Petani Aryo Blitar (PPAB)
  14. Serikat Tani Independen  (SEKTI) Jember
  15. Jaringan Kerja Tani (Jaka Tani)
  16. Serikat Petani Majalengka  (SPM)
  17. Serikat Petani Pasundan Ciamis (SPP Ciamis)
  18. Serikat Petani Pasundan Pangandaran (SPP Pangandaran)
  19. Serikat Rakyat Binjai – Langkat
  20. Serikat Petani Serdang Bedagai (SPSB)
  21. Persatuan Petani Siantar Simalungun (PPSS)
  22. Amanat Penderitaan Rakyat Tapsel (Ampera)
  23. Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi)
  24. Serikat Nelayan Merdeka (SNM)
  25. Forum Masyarakat Labuhanbatu (Formal)
  26. Tim Penyelamat Pembangunan Tanah Adat Luat Huristak (TPPT-LH)
  27. Serikat Tani Bengkulu (StaB)
  28. Serikat Nelayan Bengkulu (SneB)
  29. Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS)
  30. Serikat Petani Badega (SPB)
  31. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
  32. Forum Persaudaraan Petani Kendal (FPPK)
  33. Serikat Tani Independen  Pemalang (STIP)
  34. Serikat Tani Mandiri (SETAM)
  35. Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (HITAMBARA)
  36. Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS)
  37. Organisasi Tani Jawa Tengah (Ortaja)
  38. Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (STAN Ampera)
  39. Pengurus Pusat Serikat Tani Merdeka (PP. SeTAM)
  40. Lidah Tani Blora
  41. Persatuan Masyarakat Tani Aceh (Permata)
  42. Perkumpulan Nelayan Saijaan (INSAN Kotabaru)
  43. Pembela Masyarakat dan Hukum Adat Dayak (Pemadha)
  44. Gerakan Rakyat Indonesia (GRI)
  45. Perkumpulan Lestari Mandiri (LESMAN)
  46. Rukun Tani Indonesia (RTI)
  47. Serikat Petani Lumajang (SPL)
  48. Serikat Petani Gunung Biru (SPGB)
  49. Forum Komunikasi Petani Malang Selatan (Forkotmas)
  50. Serikat Petani Tulungagung
  51. Serikat Rakyat Kediri Berdaulat (SRKB)
  52. Forum Perjuangan Rakyat (FPR)
  53. Serikat Rakyat Kediri Berdaulat (SRKB)
  54. Persatuan Rakyat Salenrang
  55. Serikat Tani Sumberklampok (STS)
  56. Kelompok Tani Satria Pertiwi Batuampar
  57. Forum Komunikasi Petani Dompu
  58. Persatuan Rakyat Salenrang
  59. Serikat Petani Liku Dengen
  60. Serikat Tani Konawe Selatan (STKS)
  61. Masyarakat Adat Sambadete Walandawe
  62. Lembaga Adat Adati Totongano Wonua Kampo Hukaea-laea
  63. Alam Watabaro Kumbewaha
  64. Lembaga Adat Sarano Wonua
  65. Himpunan Petani Arongo (HPA) Konawe Selatan
  66. Forum Masyarakat Tue-Tue Ngapa Walanda (FMTNW) Angata
  67. Forum Kesejahteraan Petani (Forma Tani)
  68. Aliansi Petani Muda Mandiri Pudaria (APMMP)
  69. Serikat Petani Tambak (SPT) Gorontalo
  70. Serikat Tani Pejuang Tanah Air
  71. Serikat Perjuangan Tani Nelayan Tolitoli (SPTNT)
  72. Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP)
  73. Serikat Tani Sigi (STS)
  74. Forum Nelayan Togean (FNT)
  75. Forum Petani Cengkeh Tolitoli (FPCT)
  76. Serikat Petani Minahasa (SPM)
  77. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
  78. Perkumpulan Petani Kelapa Sawit
  79. Serikat Pengorganisasian Rakyat (SPR)
  80. Perhimpunan Hanjuang Mahardika Nusantara (PHMN)
  81. Perkumpulan Tanah Air (PETA)
  82. Sitas Desa
  83. CU Gerakan Pawartaku
  84. Yayasan BITRA Indonesia
  85. Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
  86. Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT)
  87. Sunspirit, For Justice and Peace
  88. Wahana Tani Mandiri
  89. Perkumpulan Wahana Lingkungan Lestari Celebes Area (Wallacea)
  90. Pusat Studi Pembaruan Agraria & Hak Asasi Manusia (PUSPA-HAM)
  91. Forum Swadaya Masyarakat Daerah (ForSDa)
  92. ELPAGAR (Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat)
  93. Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR)
  94. Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (FARMACI)
  95. Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG)
  96. Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat Tasikmalaya (FPMR)
  97. Lembaga Bantuan Hukum Cianjur
  98. Lembaga Bantuan Hukum SPP
  99. Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
  100. Sajogyo Institute
  101. KPA Wilayah Sumatera Utara
  102. KPA Wilayah Jambi
  103. KPA Wilayah Sumatera Selatan
  104. KPA Wilayah Jawa Barat
  105. KPA Wilayah Jawa Tengah
  106. KPA Wilayah Jawa Timur
  107. KPA Wilayah Bali
  108. KPA Wilayah Sulawesi Selatan
  109. KPA Wilayah Sulawesi Tengah
  110. KPA Wilayah Sulawesi Tenggara

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − 13 =

KABAR TERBARU!