SINEMATIK #13: Membedah Pemikiran Gunawan Wiradi

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Tidak banyak orang yang memiliki karakter tegas dalam membela dan mempertahankan prinsip Reforma Agraria sejati setegas Gunawan Wiradi. Tidak ada pembicaraan mengenai Reforma Agraria tanpa menyebut Gunawan Wiradi. Begitulah orang menyebut.

Namun, seorang Gunawan Wiradi tak hanya berbicara Reforma Agraria semata. Demikian yang terlihat dalam berlangsungnya Serial Diskusi Online Tematik (SINEMATIK) #13 mengangkat tema “Membedah Pemikiran Gunawan Wiradi”.

Momen SINEMATIK #13 juga bertepatan ulang tahun Gunawan Wiradi ke-88 pada Jumat (28/8). Diskusi yang dimoderatori oleh Ahmad Jaetuloh (Peneliti Sajogyo Institute) menghadirkan dua pembicara, Dr. Satyawan Sunito (Dosen FEMA IPB) dan Dr. Andi Achdian (Sejarawan dan Pengajar Program Studi Sosiologi Universitas Nasional).

Satyawan Sunitomenyebut pemikiran Gunawan Wiradi perlu dipandang dalam tiga sisi, yaitu diferensiasi sosial, neo-populisme dan reforma agraria.

Dari sisi diferensiasi sosial, Wiradi menekankan bahwa permasalahan tidak hanya pada masalah penyerapan teknologi oleh masyarakat desa di masa Revolusi Hijau, tapi memperluas pandangan dari hubungan kerja, penguasaan sumber daya alam, perubahan kelembagaan desa yang berhubungan dengan hubungan kerja, hubungan tenancy dan masalah tenurial.

Dari sisi neo-populisme, terdapat perbedaan pendapat dengan Ben White yang menyebut Wiradi sebagai golongan perspektif ekonomi-politik. Menurut Satyawan, yang akrab dipanggil pak Awan, Wiradi sering mengasosiasikan dirinya dengan neo-populisme. Menurut pak Awan, ada dua hal yang membuat Wiradi perlu mengasosiasikan dirinya dengan neo-populisme.

Pertama, jika GWR mengasosiasikan dirinya dengan neo-populisme, maka ini terjadi bila beliau membahas untuk ideal pembangunan ke depan. “neo-populisme didefinisikan oleh GWR sebagai Ekonomi Kerakyatan atau Ekonomi Pancasila dalam bentuk genuine. Neo-populisme sebagai pilihan yang harus diambil Indonesia ketimbang jalan kapitalisme atau jalan sosialisme”, jelas pak Awan.

Kedua, neo-populisme sangat kental dalam gerakan masyarakat sipil dalam mendukung petani, masyarakat adat dan juga memperjuangkan kelestarian lingkungan. Bagi Wiradi, neo-populisme bisa menjadi khazanah tempat aktivis mendapat pengetahuan dan juga menjad panutan dan sandaran penting masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan.

Dari sisi reforma agraria, Wiradi memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemikiran Wiradi terhadap Reforma Agraria memiliki keberpihakan kepada petani gurem dan dan buruh tani-tunakisma. Bagi pak Awan, Wiradi menjagokan petani gurem karena terbukti efisien. Karenanya, perombakan persebaran penguasaan tanah melalui Reforma Agraria adalah jawaban penting dalam membongkar ketimpangan agraria di Indonesia.

Namun, kekurangan gagasan reforma agraria Wiradi masih berkaca pada pengalaman empiris di Jawad dan kurang lengkap pengalaman empiris di luar Jawa. Sehingga dibanding Reforma Agraria ala Indonesia, Reforma Agraria yang digagas Wiradi masih ‘Reforma Agraria ala Jawa’.

 

Pada sesi selanjutnya Andi Achdian menyoroti peran dan kontribusi pemikiran Gunawan Wiradi terhadap pembangunan dan pengembangan ilmu sosial di Indonesia.

Bagi Andi, sejak tragedy berdarah 1965, pemikiran ilmu sosial telah mengalami kemandekan. Ironisnya, malah pemikiran ilmu sosial Indonesia lebih banyak dibentuk oleh orang luar (atau orang dalam yang belajar di luar negeri) dibanding orang dalam negeri.

“Apa yang terjadi di Indonesia adalah cara berfikir ilmuan kita adalah copy-paste apa yang ada dipikiran Amerika Utara, Eropa Barat dsb. Jadi tidak ada yang khas”, ungkap Andi.

Bagi Andi, Wiradi telah memberikan kontribusi besar bagi pembentukan karakter pemikiran ilmu sosial di Indonesia. Berkaca pada buku “Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi”, Wiradi menawarkan cara untuk berkontestasi alias berlomba dalam membangun konstruksi berpikir keilmuan secara mandiri.

“Ketika GWR mengajukan tentang metodologi, sebenarnya dia menawarkan cara untuk berkontestasi, untuk ayo kita bangun cara berfikir, sebuah modus berfikir yang paling tidak punya karakter yang sesuai dengan pengalaman, konteks sejarah, problem sosial kita dan aspek aspek apa yang kita citakan”, jelas Andi.

Bagi Andi, seorang ilmuwan juga perlu untuk memiliki cita rasa politik. “Tidak perlu menjadi politisi atau berpartai politik tapi mempunyai cita rasa politik yang mengerti problem besar di dalam sebuah persoalan”, kata Andi.

Apa yang menjadi ciri khas pemikiran sosial Wiradi adalah menjadi masalah agraria sebagai masalah sosial mendasar di Indonesia. Dengan menjadikan agraria sebagai masalah dasar, Wiradi membentuk bingkai atau titik tolak melihat hal-hal mendasar lainnya yang berpengaruh (dan mempengaruhi) besar arah perkembangan masyarakat Indonesia.

Selain membahas pengertian dan pembahasan masalah dasar, Wiradi juga menekankan perumusan masalah dengan berawal dari dua hal, yaitu landasan filosofis dan rujukan historis dalam melihat persoalan. Menurutnya, sedikit sekali orang yang memperhatikan kedua hal tersebut. Sehingga sering kali ilmuwan sosial terlepas dari akarnya dan menjadi ahistoris.

“Memang ada problem bagaimana kita mengembangkan cara berfikir kerangka pemikiran yang saya kira selalu berangkat dari sifatnya ahistoris, jadi lebih dari dimensi yang tidak memiliki karakter,” tegas Andi.

Andi mengatakan bahwa Wiradi telah menawarkan tantangan dari berbagai gagasannya dalam membangun konstruksi pemikiran ilmu sosial Indonesia  dari metodologi, pengalaman praktek dan refleksi metodologi ilmu sosial yang kita punya. Bagi Andi, dengan usaha tersebut, kita setidaknya telah mengambil langkah membangun ilmu sosial di Indonesia dan tidak tergantung semata pada konsep ilmu yang dibentuk dari luar.

“Selama ini kita hanya asik dengan seolah-olah kita mengambil dari luar, tapi kita tidak mempunyai kontribusi apapun gituloh. Jaman keemasan generasi 1960-an ini bagaimana membangun sebuah new nation dalam sebuah banyak lapangan itu sangat terlihat didalam cara berfikir Pak Wiradi,” kata Andi.

Di usianya yang telah mencapai 88 tahun, Gunawan Wiradi masih menjadi pemberi arah bagi penerus Mazhab Bogor yang telah dibangun Sajogyo, Pudjiwati Sajogyo, Sediono MP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. “Di hari senjanya inilah, Gunawan Wiradi sebagai mercusuar Mazhab Bogor”, demikian Pak Awan mengatakan di akhir diskusi.

Unduh Bahan Materi:

Andi Achdian – Gunawan Wiradi: Memikir Ulang Perkembangan Ilmu Sosial Indonesia

Satyawan Sunito – Membedah Pemikiran Gunawan Wiradi

 

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 − 2 =

KABAR TERBARU!