Pernyataan Sikap Sajogyo Institute atas Penangkapan dan Kekerasan Aparat Kepolisian terhadap Warga Wadas

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Kami, Sajogyo Institute, ingin menyampaikan sikap kami atas penangkapan dan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap warga Desa Wadas, Kec. Bener, Kab. Purworejo. Pernyataan ini kami buat dengan penuh kesadaran dan rasa keyakinan bahwa rakyat, utamanya buruh tani, petani dan perempuan merupakan entitas kunci dalam kedulatan pangan, keamanan dan kemakmuran bangsa. Jika kesadaran ini telah tertanam, maka segala upaya aktivitas negara atau kebijakan negara wajib menjunjung tinggi terhadap keselamatan dan keamanan rakyat.

Atas dasar keyakinan kuat dan hati nurani, kami Sajogyo Institute mengecam dan mengutuk segala aktivitas negara maupun swasta yang mengancam ruang kehidupan masyarakat, mengambil dan menyerobot tanah dari rakyat secara paksa dan mengklaim secara sepihak, sehingga kelompok ini kehilangan Sumber-sumber Agraria (SSA) mereka.

Hentikan penyerobotan sumber penghidupan masyarakat!

Penghilangan sumber-sumber agraria tentu sangat tidak bisa diterima, dengan alasan apa pun, baik untuk pertambangan, investasi, pembangunan maupun pariwisata dengan alas an ‘pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan bersama’. Apa yang terjadi di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, berupa penetapan sepihak oleh pemerintah terhadap Bendungan Bener sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), telah menyulut api kekerasan dan mengundang konflik yang dipicu oleh Negara/Pemerintah terhadap rakyatnya.

Pemerintah, dengan semena-mena, menetapkan dan menunjuk Desa Wadas sebagai bagian dari lokasi pembangunan Bendungan Bener dengan total luasan proyek sebesar kurang lebih 592,08 hektar, meliputi Kabupaten Purworejo dan Wonosobo, di mana dicdalamnya termasuk wilayah Desa Wadas yang diperuntukan untuk pertambangan batu andesit (SK Gubernur Jawa Tengah No. 590/41/2018).

Sementara itu, warga Wadas telah memanfaatkan tanahnya secara turun temurun untuk kehidupan pertanian mereka, menanam melinjo, menanam kapulaga dan kelapa. Pertanian mereka mampu memenuhi kebutuhan pangan, membangun rumah dan menyekolahkan anak-anak. Oleh karena itu, penolakan warga wadas atas penambangan dan Bendungan Bener tak lebih dari upaya warga Wadas mempertahankan sumber-sumber agraria mereka.

Sejauh ini, kebutuhan utama pembangunan Bendungan Bener tidak lebih sebagai upaya pemerintah dan swasta untuk memenuhi kebutuhan air bagi megaproyek pengembangan kawasan-kawasan baru, seperti Bandara Yogyakarta International Airport (YIA), dengan membendung Sungai Bogowonto dan diindikasikan akan menimbulkan persoalan lainnya di hilir sungai. Dari penyataan Modista Ayu dari BBWS menyatakan bahwa kebutuhan air untuk YIA sebesar 200 liter/detik dan salah satu fungsi bendungan ini guna memenuhi kebutuhan air bandara baru yang telah dibangun di Kulon Progo tersebut.

Dengan demikian, tidak ada hal yang lebih mendesak dari pembangunan Bendungan Bener selain untuk melayani kebutuhan air di YIA. Berdasarkan catatan dan dokumentasi Sajogyo Institute, kekerasan yang dilakukan negara melalui aparatur sipilnya (polisi dan tentara) terhadap warga Desa Glagah dan Palihan di tahun 2018, sebanyak 32 KK yang bertahan menolak pembangunan bandara tempat tinggal dan lahan pertaniannya dilibas dan dibuldoser begitu saja oleh aparat keamanan.

Hentikan Kekerasan! Lindungi HAM!

Infrastruktur dan kekerasan nampaknya sudah lama menjadi paket lengkap pemerintah dalam mengawal pembangunan. Pemerintah dan swasta tidak hanya menggunakan perangkat regulasi yang telah mereka tetapkan (State-Capture Corruption) namun lebih lanjut memanfaatkan aparatus negara, terutama kepolisian, untuk melancarkan proses pembangunan proyek pemerintah maupun swasta.

Dari laporan Komnas HAM, institusi kepolisian merupakan institusi yang paling banyak mendapat laporan dari masyarakat. Dari 774 kasus pengaduan yang diterima oleh Komnas HAM, sekitar 4 % merupakan aduan tindak kekerasan kepolisian kepada masyarakat. Data berbeda ditunjukan oleh KontraS, sepanjang tahun 2019-2020, yang mencatat bahwa ada 931 indikasi tindak kekerasan yang dilakukan oleh Institusi Kepolisian. Angka ini sangat mengkhawatirkan, mengingat kepolisian sebagai institusi keamanan masyarakat, malah berbuat sebaliknya.

Kekerasan dalam tubuh Kepolisian, pada dasarnya tidak terlepas dari sejarah panjang institusi ini terlibat aktivitas kekerasan pada masa pemerintahan Orde Baru. Dalam tulisannya, Ben Anderson (1999) menyatakan bahwa sejak 32 tahun yang lalu, aktivitas penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan polisi dan personil militer pada tingkat bawah telah dianggap ‘normal’. Kegiatan memukul seseorang yang ditangkap bahkan sebelum diintrogasi; begitu juga saat ‘mengeksekusi’ tahanan, dengan dalih “mencoba untuk melarikan diri“.  Ben selanjutnya menyatakan bahwa, situasi tidak hanya merusak moral penegak hukum namun juga merusak mental para korban.

Apabila berdasar pada pernyataan Ben Anderson tersebut, maka tidak mengherankan bahwa kekerasan demi kekerasan terus terulang dalam setiap aktivitas “pengamanan” yang dilakukan oleh institusi kepolisian, begitu pula dengan peristiwa yang terjadi di Desa Wadas. Jumat tanggal 23 April 2021, pukul 11.30 WIB bentrokan terjadi antara warga Desa Wadas dengan pihak kepolisian. Bentrokan pecah setelah pihak polisi ingin menyingkirkan blokade jalan yang dibuat oleh warga. Sudah seharusnya pemerintah melakukan evaluasi, pembongkaran dan pembenahan total terhadap institusi kepolisian untuk mengembalikan fungsinya sebagai pelayan rakyat dan pelindung HAM.

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 1 =

KABAR TERBARU!