KPK dan Penyelamatan Sumberdaya Alam

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Oleh Eko Cahyono
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute

Ujung pemaknaan korupsi mesti mampu dilihat hingga pada soal kedaualatan negara atas sumber-sumber utama ekonomi nasionalnya. Sebab makna kerugian negara, akibat dari korupsi di sektor sumberdaya alam yang masih menjadi basis ekonomi nasional, adalah wujud kongkrit pengingkaran mandat Undang-undang Dasar 1945, pasal 33, bahwa seluruh kekayaan sumberdaya alam nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Komitmen Politik

Pada saat penandatanganan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam, yang diinisiasi oleh KPK, di Istana Negara Tanggal 19 maret 2015, Presiden Joko Widodo menekankan kepada 29 Kementerian dan Lembaga negara serta 12 Kepala Daerah, bahwa gerakan penyelamatan sumberdaya alam adalah bagian dari penyelamatan kedaulatan bangsa.

Hal ini selaras dengan semangat pada saat kampanye Jokowi-JK menuju kursi presiden yang mengusung program pemberantasan korupsi sebagai salah satu program utamanya. Kini, komitmen semangat pemberantasan korupsi termaktub dalam Nawacita, khususnya point ke-empat: “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”.

Singkatnya, ada komitmen politik dari pemerintahan Jokowi- JK untuk agenda penegakan dan pemeberantasan korupsi. Tentu saja masyarakat melihat dan memiliki catatan tersendiri dalam praktek empiriknya komitmen politik tersebut seberapa kuat dijalankan hinga kini. Pilihan sikap politik tersebut bisa kita saksikan diantaranya soal kasus korupsi wisma atlet, kasus “Cicak vs Buaya” jilid I dan II, kasus Novel Baswedan. Dahaga masyarakat umum atas kejutan-kejutan terobosan politik nasional dalam soal korupsi belum bisa dipenuhi.

Bahkan seringkali soal kecepatan dan pertimbangan pilihan politik masih sering bersifat kompromistis. Meski pada ujungnya ada ketegasan sikap, setelah semua dianggap sudah aman (baca: “win-win solution”).

Demikianlah kira-kira karakter gaya penyelesaian masalah oleh Jokowi-JK yang terjadi sebelumnya. Kini, publik masih menunggu, kejutan-kejutan kecil dan alternatif kebijakan dari kalkulasi politik yang tak umum dari seorang Jokowi sebagaimana pernah ditapakkan saat menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, termasuk dalam soal pemberantasan korupsi di negeri ini.

Penyelamatan Sumberdaya Alam

Tidak perlu riset mendalam dan menyeluruh untuk mengetahui bagaimana peningkatan kerusakan lingkungan dan diabaikannya hak keselamatan rakyat dalam kebijakan politik sumberdaya alam, yang lebih memperioritaskan demi kepentingan pertumbuhan dan daripada pemerataan dan keadilan sosial. Tragedi pilu Salim Kancil, martir dari industri keruk pasir besi di pesisir lumajang dan tapal kuda Jawa Timur, dan proyek industri semen yang mengepung dan akan mengeruk kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) karst gunung Kendeng, juga rencana paksa pengeboran di sekitar Lapindo Porong-Jawa Timur dapat menjadi contoh aktual. Dan akan panjang daftar cerita ini jika dibentangkan dari Sabang hingga Merauke. Proyek infrastruktur yang telah dihilangkan judulnya (bukan lagi Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia/MP3EI) prakteknya makin masif berjalan dan terbukti ikut menjadi penyubur konflik agraria dan memuluskan pengerukan sumberdaya alam yang menciptakan beragam krisis sosial-ekologis (Sajogyo Institute, 2014).

Forum Koalisi Akademisi dan Pemerhati persoalan Keadilan Agraria, akhir tahun 2015 lalu, telah mengirimkan Petisi ke Presiden untuk mengingatkan bahwa pulau Jawa telah mengalami krisis sosial-ekologis yang semakin parah akibat tidak seimbangnya proyek-proyek pembangunan seperti waduk, pertambangan (emas, semen, minyak, gas, mineral, pembangkit listrik, dst) dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Indikasi kehancuran ekologi Pulau Jawa ditandai dengan tingginya bencana hidrometeorologi, terutama banjir dan longsor, selain kekeringan. Data Indeks Risiko Bencana yang disusun Badan Nasional Penanggulangan Bencana beberapa tahun terakhir selalu menempatkan Jawa sebagai pulau paling rentan bencana jenis ini.(Kompas, 30 desember 2015).

Tentu, kepulauan Jawa hanyalah salah satu contoh saja, sebab kerusakan dan ketidak seimbangan ekspansi pembangunan dan keberlanjutan ekologis tersebut juga dialami banyak kepulauan di nusantara. Hasil Inkuiri Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan bersama lembaga mitra (2014-2015) menunjukkan beragam pelanggaran HAM yang kronis dan sistematis terjadi di seluruh kepulauan nusantara akibat kebijakan-kebijakan dan proyek perkebunan, pertambangan dan kehutanan.

Keberlanjutan layanan alam, keselamatan rakyat, dan keadilan sosial-ekologis semakin menjadi barang mahal dan istimewa yang sulit di dapatkan di negeri ini. Kumandang panggilan penyelamatan sumberdaya alam dari banyak pihak belakangan ini, termasuk komitmen KPK- Gerakaan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (KPK-GNSDA), adalah ajakan gerakan berjamaah untuk serius berbuat nyata bagi penyelamatan dan pemulihan sumberdaya alam untuk kedaulatan bangsa dan generasi mendatang.

Lalu, RUU KPK, untuk Siapa?

KPK-GNSDA sebagai kelanjutan dari Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementrian dan Lembaga percepatan pengukuhan kawasan hutan yang telah diperluas, telah dan sedang mendorong lebih beragam agenda penting penertibkan beragam tata kelola sumberdaya alam (Kehutanan, Minerba, Pertanian dan Perkebunan, Pertanahan, dan Kelauatan) baik dimensi penindakan dan pencegahan korupsi. Tak hanya soal harmonisasi kebijakan, dan penataan prosedur perijinan namun juga penyelesaian konflik sumberdaya alam di tingkat pusat dan daerah.

Bukan hal mudah mudah menjalankan mandat penegakan korupsi sumberdaya alam. Selain masih kuatnya ego sektoral antar kementrain dan lembaga, warisan kapling-kapling kepemilikan sumber daya alam “orang kuat”, tekanan kepentingan politik nasional dan global, dan yang yang tak kalah penting adalah wilayah-wilayah penguasaan sumberdaya yang berstatus “Legal Tidak Legitimated ”.

Satu bentuk status penguasaan sumberdaya alam yang telah memenuhi prosedur legal formal, namun pada dasarnya merugikan/mengabaikan kepentingan rakyat. Dalam batasan ini Persoalan korupsi tidak diartikan sebagai persoalan pelaku-pelaku korup, peraturan yang tidak berjalan, lemahnya penegakan hukum atau peran negara tidak berfungsi, tetapi lebih dilihat sebagai adanya “institusi alternatif” oleh suatu jaringan yang dipelihara oleh kekuasaan yang secara de facto lebih besar daripada kekuasaan legal negara, yang mana sumberdaya sosialnya juga berasal aparat-aparat negara (Kartidihardjo, 2016).

Merujuk data lembaga-lembaga yang tergabung dalam Koalisi Anti mafia Sumberdaya Alam (2016), jelas menunjukkan bahwa sejak 2003-2015, dari segi penindakan setidaknya ada tujuh jejak keberhasilan KPK diantaranya; Penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) pada 15 perusahaan yang tidak kompeten dalam bidang kehutanan; Menerbitkan izin pemanfaatan kayu (IPK) untuk perkebunan sawit di Kalimantan Timur , dengan tujuan semata untuk memperoleh kayu ; Pengadaaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementrian Kehutanan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 89 miliar ; Suap terhadap anggota dewan terkait dengan Pengadaaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementrian Kehutanan dan alih fungsi lahan ; Suap terkait alih fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau; Suap terkait alih fungsi lahan hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api, Banyuasin, Sumatera Selatan ; Dugaan suap terkait pemberian Rekomendasi HGU Kepada Bupati Buol oleh PT Hardaya Inti Plantation. Sedangkan dari segi pecegahan Berdasarkan data Korsup Minerba tahun 2014, propinsi dengan jumalah IUP Non-CNC tertinggi adalah Propinsi Bangka Belitung (601 IUP) diikuti Propinsi Kalimantan Timur (450 IUP) dan Kalimantan Selatan (441 IUP). Dari jumlah IUP yang bermasalah dan berstatus Non-CNC, hingga september 2015 tercatat 721 IUP telah dicabut di 12 Propinsi. Tiga Propinsi dengan jumlah pencabutan tertinggi adalah Sulawesi Tengah 160 IUP, Sumatera Selatan 148 IUP dan Kepulauan Riau 93 IUP.

Walaupun demikian, dibeberapa Propinsi penataan izin bermasalah ini juga dilakukan perbaikan dan penyelesaian permasalahan sehingga IUP yang Non-CNC menjadi bersertifikat CNC. Jejak keberhasilan ini telah menjadi pelita kecil di tengah kesuraman harapan masyarakat akan cita-cita Reformasi 1998 berupa penegakan dan pemberantasan korupsi yang dimandatkan kepada lembaga KPK sejak berdirinya. Pejabat dan penguasa, sipil maupun militer, kini semakin ditampilkan oleh KPK sebagai manusia yang tidak kebal hukum. Meski itu semua belum sempurna, namun setidaknya kini makin ada bukti nyata.

Berdasarkan uraian diatas sulit memahami usulan RUU KPK yang sedang digulirkan sebagian pihak di DPR-RI sekarang ini tidak dianggap sebagai suatau upaya pelemahan. Sebab, baik persoalan pembatasan dan ijin penyadapan, pembentukan dewan pengawas, Surat Perintah Penghentian Penyeledikan (SP3) dan pengangkatan anggota penyidik KPK, bukanlah masalah dasar yang dihadapi KPK sekarang ini. Namun, jelas keberadaan KPK yang semakin kuat merupakan ancaman serius bagi koruptor sumberdaya alam dan sebagian pihak lainnya yang memiliki masalah dan catatan korupsi, yang sebagian catatan itu telah dikantongin oleh KPK.

Dengan dasar pandangan di atas, maka komitmen politik dan mandat NAWACITA Jokowi-JK dalam upaya pemberantasan korupsi layak ditagih rakyat Indonesia. Sulit memahami jika Jokowi-JK menyetujui upaya pelemahan atas KPK, sebab itu berarti memundurkan langkah dan upaya KPK dalam penyelamatan sumberdaya alam untuk kedaulatan bangsa.

 


Artikel ini sudah dimuat dalam artikel Harian Seputar Indonesia (Sindo), edisi 5 Maret 2016 : “KPK dan Penyelamatan Sumber Daya Alam”

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eight + 5 =

KABAR TERBARU!