Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 telah memandatkan program reforma agraria di atas tanah seluas 9 juta hektar. Namun, bagaimana perencanaan dan realisasinya secara konkret hingga kini belum ada kejelasan sama sekali. Bahkan draft Peraturan Presiden yang akan mengatur program yang sepenting ini justru penyusunannya ditenderkan ke pihak swasta. Suatu indikasi ketidakseriusan pemerintah!
Penyempitan Makna Reforma Agraria
Selama ini konsep Reforma Agraria (RA) yang diadopsi dan dipraktikkan pemerintah telah mengalami penyempitan makna. Salah satu manifestasinya adalah fokus RA yang terlalu berpusat pada tanah. Itu pun terbatas tanah di luar kawasan hutan. Akibatnya, hal itu mengabaikan penciptaan kesejahteraan melalui akses dan pemanfaatan sumber-sumber agraria dalam arti luas dan tidak terbatas pada tanah. Selain itu, konsepsi RA juga terlalu menekankan pada prinsip (re)distribusi atas sumber-sumber agraria, sembari kerap melalaikan perhatian atas perlindungan sumberdaya alam. Akibatnya, pelaksanaan RA oleh pemerintah kerap mengundang kritik “sekedar bagi-bagi tanah!”.
Penyempitan RA juga terjadi di dalam praktik. Sebagai misal, semua legalisasi atas penguasaan tanah yang dikuasai masyarakat sering dikategorikan sebagai RA. Hal ini biasanya dilakukan oleh pemerintah atas semua pemberian tanah negara kepada petani penggarap. Padahal, legalisasi itu dilakukan tanpa mendemokratisasikan terlebih dulu struktur ketimpangan yang mungkin terjadi di antara masyarakat sendiri atau antara masyarakat dengan pihak luar.
Konsep Dasar Reforma Agraria
Secara konseptual, RA haruslah dipahami sebagai upaya mewujudkan demokratisasi relasi-relasi sosio-agraria yang timpang dan eksploitatif, dengan pemihakan nyata kepada kelompok miskin, sekaligus menjamin keadilan antar-generasi. Relasi-relasi ini bisa berlangsung antar-orang, antar-kelompok atau kelas sosial, maupun antara masyarakat dengan badan hukum atau negara. Relasi-relasi tersebut menyangkut akses dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria yang tidak terbatas pada tanah, tetapi juga air dan mineral yang dikandungnya, produk-produk seperti sumberdaya hutan dan tanaman di atasnya, demikian juga surplus yang dihasilkan dari pengusahaannya. Akses dan pemanfaatan semacam ini mencakup hubungan penguasaan, sewa menyewa dan bagi hasil atas suatu sumber agraria, beserta hubungan perburuhan dan kemitraan yang terjadi dalam proses produksi dan penciptaan surplus di atasnya berikut pembagiannya.
Pada dasarnya, relasi-relasi sosio-agraria ini bersifat kompetitif, yang di dalamnya mencakup pula segi ketimpangan dan eksploitasi. Hal ini terutama berkisar pada lima proses berikut: (1) siapa menguasai sumber agraria apa; (2) siapa melakukan produksi apa di atasnya; (3) siapa mendapatkan surplus apa darinya; (4) apa yang dilakukan dengan surplus tersebut; dan (5) apa yang dilakukan satu sama lain di antara pihak-pihak yang terlibat (Bernstein 2010; White 2011).
Suatu RA disebut sejati apabila dapat melakukan demokratisasi atas relasi-relasi kompetitif di seputar kelima proses kunci di atas. Hal ini dilakukan dengan me-reform berbagai bentuk ketimpangan dan eksploitasi yang berlangsung di dalamnya, serta memastikan agar berbagai ragam benefit ekonomi dan politik yang dihasilkan dari suatu sumber agraria dapat terdistribusi se-inklusif mungkin di antara anggota masyarakat maupun antar generasi.
Dua Kriteria Penilaian
Pada tataran praktik, upaya demokratisasi relasi-relasi sosio-agraria yang bercorak pro-poor dan berkelanjutan ini tidak boleh diterjemahkan sebatas pemberian hak legal (baca: legalisasi aset) semata. Sebab, perubahan legal atas relasi-relasi kepemilikan tidak selalu berkorespondensi dengan hak aktual dan praktik-praktik sosialnya. Oleh karena itu, selain pembaruan hak legal, upaya demokratisasi ini harus benar-benar tercermin dalam relasi-relasi sosial secara empiris.
Dalam kaitan ini, dua kriteria RA yang diusulkan Borras dan Franco (2010) relevan untuk diadopsi dan dikembangkan, yaitu “transfer aktual” dan “dampak (re)distribusi”. “Transfer aktual” berarti sejauh mana pembaruan relasi-relasi sosio-agraria dapat memastikan manfaat ekonomi dan politik benar-benar mengalir kepada kelompok yang dituju. Dengan demikian, RA tidak hanya sekedar memberikan hak secara hukum atas suatu sumber agraria (misalnya sekedar pemberian sertipikat tanah). Lebih dari itu, ia harus memastikan bahwa secara aktual terjadi proses transfer neto atas manfaat-manfaat ekonomi dan politik yang dihasilkan dari sumber agraria tersebut.
Selanjutnya, kriteria “dampak (re)distribusi” menuntut agar arah transfer neto itu menghasilkan aliran manfaat yang bersifat lintas kelas/lapisan sosial. Misalnya dari negara, korporasi, desa, komunitas, kelas/lapisan sosial atas kepada buruh tani, warga miskin, pemuda pengangguran, petani perempuan, dan seterusnya. Arah transer semacam inilah yang mencerminkan RA sejati karena telah menghasilkan dampak (re)distribusi di antara anggota masyarakat.
Sebaliknya, dampak berlawanan akan terjadi jika aliran manfaat itu berlangsung di antara kelas/lapisan sosial yang sama, alias transfer antar sesama elit (dampaknya adalah pengukuhan status quo). Atau lebih parah lagi, hal itu berlangsung dengan arah transfer manfaat yang terbalik, yakni dari pihak yang kecil/lemah kepada pihak yang besar/berkuasa (dampaknya adalah rekonsentrasi). Dalam kedua kasus ini, kendati terjadi pemberian hak legal dan transfer aktual, namun ia bukanlah RA sejati melainkan menggambarkan RA yang diserobot golongan elit.
Memperluas Makna Reforma Agrari
Agar menciptakan pembaruan yang menyeluruh, RA tidak terbatas pada koreksi atas relasi-relasi penguasaan yang timpang, tetapi juga koreksi atas relasi-relasi penyakapan (sewa menyewa, bagi hasil) yang tidak adil, koreksi atas relasi-relasi perburuhan yang eksploitatif, bahkan juga koreksi atas bentuk-bentuk kemitraan yang merugikan. Dengan kata lain, suatu RA yang menyeluruh tidak terbatas pada land reform semata, namun juga mencakup tenancy reform, labour reform dan bahkan business reform atas berbagai skema kemitraan (inti-plasma, contract farming, sertifikasi, dll) yang melibatkan petani dengan para pelaku bisnis lain.
Sasaran yang hendak dicapai oleh RA dalam arti luas ini adalah suatu pembaruan menyeluruh yang diarahkan untuk memulihkan krisis agraria dan ekologi sekaligus. Hal ini bertolak dari pemahaman mendasar bahwa “fungsi sosial” tanah yang ditegaskan dalam UU Pokok Agraria tidak hanya berarti “fungsi keadilan” untuk menjawab krisis agraria, namun juga mencakup “fungsi keberlanjutan” untuk mengatasi krisis ekologi. Oleh karena itu, pemberian hak atas tanah harus menguatkan kedua fungsi ini sekaligus. Hal ini menghendaki pembaruan yang terpadu atas aspek tata kuasa, tata guna dan tata produksi sebagai satu kesatuan yang apik dalam rancang bangun pelaksanaan RA.
Dengan demikian, kerangka implementasi RA yang menyeluruh tidak boleh dibatasi oleh sekat-sekat sektoralisme hukum dan kelembagaan, sebagaimana kebiasaan birokrasi dan praktik pembangunan selama ini. Perluasan kerangka konseptual RA ini secara praktis menuntut sinergi multi-sektor, baik menyangkut obyek kebijakannya (misal: harus mencakup tanah di sektor pertanahan dan kehutanan) maupun jangkauan intervensinya (baca: harus terintegrasi hulu-hilir dengan keterlibatan banyak pihak).
Kini, tantangan terpulang kepada pemerintah. Jika benar ingin menjalankan amanat reforma agraria seperti dimandatkan RPJMN, apakah pemerintah akan membatasi diri pada pengertian RA yang sempit, formalistik dan fragmentaris? Ataukah sebaliknya, pemerintah mengadopsi kerangka RA yang lebih luas demi mengatasi krisis agraria dan ekologi yang akut, sekaligus membangkitkan produksi pertanian dan kekuatan ekonomi rakyat?
Pada pilihan itulah dukungan dan partisipasi rakyat serta masa depan bangsa dipertaruhkan.
*M. Shohibuddin, staf pengajar Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan di Majalah Gatra pada tanggal 3 Februari 2016