Melalui video yang dalam dua hari terakhir ini beredar di internet, budayawan Butet Kertaredjasa terlihat menyatakan tambang PT Freeport di Papua sangat memperhatikan lingkungan dengan penekanan bahwa dalam aktivitasnya PT Freeport memiliki tanggungjawab mengembalikan apa yang sudah diambil dari alam kembali kepada alam, dan dengan demikian, menurut Butet, pertambangan Freeport adalah model pertambangan yang memperlihatkan keberadaban manusia.
Pernyataan Butet ini kemudian diikuti dengan klarifikasi yang dia lakukan di laman Kompas.com melalui berita bertajuk “Diprotes Netizen soal Freeport, Butet Kartaredjasa Beri Penjelasan“. Dalam penjelasan itu, Butet menyampaikan bahwa pada Desember 2015 dirinya bersama sastrawan Agus Noor dan seniman peran Djaduk Ferianto berkunjung ke Timika, Papua. Dalam pernyataan itu, Butet antara lain menyatakan bahwa limbah tanah setelah ekstraksi emas dilakukan dihamparkan di satu cekungan yang kemudian ditanami kembali.
Kami melihat beberapa persoalan mendasar baik dalam pernyataan awal Butet maupun dalam klarifikasinya belakangan. Dalam pernyataan awal, Butet tidak sensitif terhadap keberadaan PT Freeport yang melakukan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Berdasarkan catatan Kontras, berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT Freeport misalnya, penghancuran tatanan adat, perampasan lahan masyarakat lokal, penangkapan sewenang-wenang masyarakat sipil, perusakan lingkungan hidup, perusakan sendi-sendi ekonomi, pengingkaran atas eksistensi masyarakat Suku Amungme, pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan, dan setoran ilegal uang keamanan kepada aparat negara.
Dalam klarifikasinya yang menyusul belakangan, masalah muncul karena sesuai dengan temuan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) hingga 2015, limbah tailing yang dibuang ke Sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa telah mencapai 1,187 miliar ton. Hasil pembuangan tailing ini telah merusak ekosistem sungai-sungai tersebut.
Berdasarkan analisis di atas, maka kami menyerukan kepada seluruh pekerja kebudayaan, gerakan lingkungan dan masyarakat adat, pendeknya seluruh elemen masyarakat, agar mengutuk Butet Kertaredjasa, dan ke depan memasukkannya ke dalam daftar hitam budayawan musuh rakyat.
25 Januari 2016
Komite Nasional
Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam
Muhammad Al Fayyadl dan A. Syatori