Oktober 2021
Penulis: Moh. Ali Rahangiar dan Syiqqil Arofat
Pendaftaran tanah adalah suatu bagian penting dalam tata kelola administrasi pertanahan di Indonesia. Dalam konteks kebijakan, pendaftaran tanah merupakan suatu upaya tahap akhir dalam skema besar kebijakan pertanahan. Secara konseptual, kebijakan pendaftaran bukanlah melulu perkara teknis administratif, ia mewakili atau turunan dari empat pendekatan ‘kepastian tenurial (security of tenure)’ yang dikenal dalam diskurusus agraria, yaitu ‘property rights school’, ‘agrarian structure tradition’, ‘common property’, dan ‘institusionalist’ (Ellsworth 2002). Keempat pendekatan ini tentu saja memiliki tekanan yang berbeda-beda terutama dalam bentuk penguasaan dan tujuannya. Pendekatan pertama menekankan kepemilikan pribadi, kepastian melalui legislasi aset, dan bernilai jual (tradeable); pendekatan kedua menekankan keadilan distribusi dan penguasaan lahan serta perlindungan kelompok masyarakat paling bawah; pendekatan ketiga memandang sumberdaya akan lebih aman jika dikuasai secara bersama; dan pendekatan keempat melihat kepastian penguasaan bergantung pada pertarungan dan pengaturan politik yang berlaku di suatu waktu dan tempat (Ellsworth 2002).
Jika dilihat dalam kebijakan Indonesia, nampaknya sejak awal kebijakan politik pertanahan kita telah beririsan dengan keempat pendekatan tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria yang mengakomodir hak milik pribadi maupun hak milik bersama (komunal) atas tanah (lihat Pasal 3-4) serta mencegah penguasaan berlebihan dan melindungi mereka yang berada di lapis bawah (Pasal 10-13). Dalam kaitannya dengan pendaftaran tanah, model yang digunakan yang agak dekat dengan pendekatan ‘agrarian structure tradition’ pernah diusahakan pada 1960-an. Hanya saja pendekatan ini terhenti sejak Orde Baru dan perkembangannya hingga kini lebih didominasi pendekatan ‘property rights’ (Pujiriyani 2021). Sejak reformasi, atas dukungan berbagai lembaga keuangan internasional, administrasi pertanahan Indonesia memang didorong untuk ramah pasar (Rachman 2012) dan terus berlangsung di bawah pemerintahan Joko Widodo ‘dengan memberi penekanan lebih besar pada sertifikasi tanah dan legislasi aset sejalan dengan strategi Bank Dunia untuk mendorong penciptaan pasar tanah yang efektif’ (Bachriadi 2019: 10).
Download di sini.