Sabtu (13/8), Sajogyo Institute telah menggelar Nonton Bareng dan Diskusi Film “Dairi Diancam Tambang”. Film “Dairi Diancam Tambang” merupakan film dokumenter pendek yang menjelaskan perjalanan masalah PT. Dairi Prima Mineral (DPM). Perusahaan yang masih dikuasai oleh Bakrie Group dan kini mayoritas sahamnya dipegang oleh perusahaan China ini telah bercokol di Dairi sejak akhir masa Reformasi dan mulai mengundang masalah dan keresahan masyarakat. Masalah yang timbul dari izin aktivitas tambang yang sangat tertutup hingga aktivitas tambang yang mengancam ruang hidup masyarakat di sekitar aktivitas PT DPM.
Dion Pardede, moderator nobar diskusi film “Dairi Diancam Tambang”, memberikan pengantar mengenai film yang menarik ini. Dion menyampaikan film menjadi begitu penting bagaimana melihat proses kapital mencari ruang-ruang eksploitasi dalam rangka mempertahankan daur akumulasi kapital yang telah menjadi keharus dan tidak boleh berhenti. Hal ini menyebabkan keterbelahan antara cara pandang kapital dan masyarakat terhadap satu ruang (kapital memandang sebagai ruang potensial untuk meneruskan proses akumulasi, sedangkan masyarakat memandang ruang hidup sebagai kesatuan kehidupannya).
Rohani Manalu dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), LSM yang mendampingi warga dalam advokasi tambang PT. DPM di Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi, mengungkapkan bahwa permasalahan PT. DPM tidak bisa dianggap enteng.
Masalah yang dibuat PT. DPM sudah sangat fatal dengan tidak adanya informasi terbuka dan objektif mengenai aktivitas tambang, tidak adanya izin terhadap masyarakat desa sekitar terdampak tambang, terjadi intimidasi terhadap warga yang menolak aktivitas tambang , hingga terjadi perpecahan sosial di dalam masyarakat.
“Masalah PT. DPM telah menimbulkan ketegangan sosial di dalam masyarakat. Sejak awal tidak ada informasi yang objektif yang dapat diperoleh masyarakat. Sehingga, simpang siurnya informasi membuat masyarakat terbelah antara blok pro dan blok kontra. Terjadi perpecahan baik dalam keluarga maupun jemaat gereja”, ungkap Rohani.
Muhammad Jamil dari JATAM Nasional dan kuasa hukum pendamping warga Dairi menolak tambang DPM, secara lugas menyatakan jika negara mengunggulkan DPM di atas kepentingan rakyat atas nama peningkatan pendapatan negara, maka Negara sedang menghilangkan ‘tenaga dalam masyarakat’ yang telah membangun sejak lama ekonomi rakyat di desa-desa sekita aktivitas tambang.
“Kita telah mengenal kopi sidikalang dan duren ucok sebagai salah dua produk unggulan dari kawasan Dairi. Jika atas nama peningkatan pendapatan negara harus menghilangkan ekonomi rakyat yang sudah dibangun sejak lama, Negara telah menghilangkan kemandirian rakyat untuk berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat, di hadapan wajah investasi, hanya dipersempit sebagai komoditas berupa tenaga kerja murah”, tegas Jamil.
Di sisi lain, Jamil mengungkap bahwa sejak awal aktivitas DPM sudah bermasalah sejak tingkat pengeluaran izin. Baginya, pengeluaran izin tambang sarat akan potensi besar korupsi yang melibatkan baik pusat maupun daerah. “Banyak fakta persidangan terbuka bahwa izin pertambangan perlu memberikan uang sekian rupiah”, ungkap Jamil.
Jamil juga menegaskan perlunya mekanisme hak veto dari warga yang kelak wilayahnya akan dijadikan wilayah proyek-proyek tertentu. Baginya, sosialisasi hanya semata pemberitahuan belaka tanpa adanya suara menentukan menerima atau menolak. Dengan adanya hak veto itu, maka rakyat memiliki daulat untuk menentukan kelanjutan proyek demi keberlangsungan penghidupan berkelanjutan masyarakat dan kelestarian sosial ekologis (menghindari krisis sosial ekologis jangka panjang dan destruktif).
Dalam nobar dan diskusi film ini, hadir beberapa kolega NGO dan LSM lokal, dan perwakilan organisasi mahasiswa yang ada di Bogor. Diskusi hangat terjadi terutama bagaimana melihat masa depan gerakan sosial masyarakat yang menghadapi konflik agraria dan selalu dalam keadaan ‘kalah’ menghadapi pihak dominan (seringkali justru didukung oleh kekuasaan resmi). Para mahasiswa pun mengungkap dengan kebijakan pendidikan hari ini banyak menjauhkan mahasiswa dari isu dan masalah sosial masyarakat. Liberalisasi pendidikan dan neoliberalisme sistem pendidikan kampus telah mencuci otak mahasiswa menjadi sekadar tenaga manusia siap kerja dan mudah terserap dalam pasar tenaga kerja. Akibatnya, ilmu pengetahuan yang diperoleh di kampus justru mengalami ‘penyempitan makna’. [KMI]