Tulisan ini menunjukkan bahwa kebijakan transisi energi di Indonesia tidak benar-benar beranjak dari tendensi liberalisasi industri kelistrikan yang dibuka sejak era Orde Baru, dan penyesuaian struktural atas desakan IMF dan Bank Dunia pada 1998. Dua dokumen legal, yakni Perpres No. 112 Tahun 2022 dan RPP KEN terbaru, mempertahankan dua kecenderungan berbahaya: ekstraktivisme sumber-sumber agraria dan keuangan publik. Keduanya, yang didorong untuk mendukung berbagai skema pendanaan transisi energi macam JETP dan seterusnya, mengandung kebijakan de-risking dan mitos neoliberal yang justru bertentangan dengan agenda pemulihan krisis sosial-ekologis akibat sistem kapitalistik.
Lebih jauh, dengan mempertahankan ekstraktivisme sumber-sumber agraria dan keuangan publik, dua kebijakan ini akan membawa satu hal pasti ke depan: yaitu perburuan energi–dengan segala judulnya baik energi hijau, energi biru, energi nuklir, energi baru terbarukan, dan lainnya–yang kemudian memperluas perebutan ruang antara masyarakat/komunitas tempatan dengan pihak-pihak luar (mafia tanah, entitas keuangan, penipu, penyewa, broker, pasar modern, negara, korporat dan lainnya) yang memburu rente dari proyek tersebut.
Kertas Kerja dapat diunduh di sini.