Sajogyo dan Sistem Pangan-Gizi yang Mendaulatkan

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Kiagus M. Iqbal*

Masalah pangan masih menjadi masalah yang pelik dan kompleks bagi umat manusia, mengingat pangan merupakan penentu hidup mati suatu bangsa. Karenanya, masalah pangan merupakan masalah besar yang mempertaruhkan martabat dan hidup mati manusia. Pangan adalah dasar Hak Asasi Manusia (berlandas hak hidup) yang menjamin Keamanan Insani (Human Security).

Realita di lapang menunjukkan kekhawatiran. Indonesia menghadapi penurunan produksi padi sejak tahun 2018. Tingkat produksi padi mencapai titik nadir di angka 53,9 juta ton. Penurunan produksi padi dibarengi semakin menyempitnya luas lahan pertanian dalam 5 tahun terakhir. Rata-rata penurunannya hingga 234 ribu hektar/tahun, menyebabkan 1,23 juta ton padi hilang setiap tahun. Menurunnya luasan lahan pertanian ini dibarengi penyusutan jumlah petani pangan, mengakibatkan penurunan kontribusi pertanian pangan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Hilangnya potensi produksi pangan beras, alih-alih diatasi dengan kebijakan yang memihak petani, pemerintah justru memilih kebijakan impor beras. Hingga 2023, Indonesia telah mengimpor beras mencapai 3 juta ton per tahun, melampaui jumlah impor dalam satu dekade terakhir. Dalam jangka panjang, kebijakan semacam ini menyebabkan Indonesia mengalami ketergantungan pangan dari luar negeri sekaligus menghancurkan sendi kehidupan berbangsa. Apalagi pasar pangan global masih bergejolak pasca-COVID-19 yang tercermin dari tingginya harga pangan global saat ini.

Mengapa Indonesia hingga saat ini tidak bisa membangun sistem pangan dan gizi yang resiliens terhadap ancaman pasang naik turunnya pasar pangan global global? Paradigma apa yang harus diletakkan dalam menciptakan sistem pangan dan gizi yang berdaulat? Mengapa penting kembali merefleksikan pemikiran Sajogyo di tengah ancaman krisis pangan hari ini?

Kemiskinan Petani dan Ketimpangan Penguasaan Tanah

Kemiskinan seakan identik dengan petani pangan. BPS (2024) mencatat hampir setengah penduduk miskin ekstrem berada di sektor pertanian. Kemiskinan yang melekat pada petani berakar dari tidak terselesaikannya problem struktural yang melingkupi petani di pedesaan.

Problem kebijakan penguasaan tanah yang masih tidak menyentuh perombakan struktur penguasaan agraria pada penguasa tanah skala luas yang menyebabkan guremisasi tanah pertanian pangan semakin kronis. Reforma agraria yang mandek menyebabkan guremisasi petani. Tercatat, jumlah keluarga petani gurem meningkat 15,6 persen dibanding tahun 2013. Petani gurem berebut tanah pertanian yang tersisa. Polarisasi penguasaan tanah semakin menajam.

Problem relasional petani dan elit-elit desa dan luar desa di tingkat akar rumput yang menghisap dan memiskinkan petani tidak tersentuh kebijakan pemerintah. Relasi tengkulak melalui berbagai mekanisme ijon, gadai, bagi hasil yang tak adil, pinjaman berbunga tinggi (bank keliling) dan sebagainya merupakan contoh hubungan relasi tersebut. Efeknya jelas: rendahnya harga panen karena harga telah diatur sebagai syarat utang, berkurangnya hasil panen bagi petani akibat bagi hasil yang yang tak adil, dan kerentanan lepasnya pemilikan dan penguasaan tanah petani akibat tak bisa membayar utang-utangnya.

Kemiskinan berdampak pada status pangan dan gizi kaum tani. Merujuk pada Survei Kesehatan Indonesia Kementerian Kesehatan (2023), kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian merupakan kepala keluarga dan anggota-anggotanya yang mengalami kerentanan gizi yang cukup tinggi, stunting, wasting maupun underweight. Para petani berstatus miskin ekstrem hanya memperoleh pendapatan 198 kg setara beras/orang/tahun. Artinya, lebih dari setengah petani Indonesia mengalami ‘status miskin sekali’ berdasar garis kemiskinan Sajogyo (1977), yaitu 240 kg/orang/tahun.

Ketidakcukupan kalori berimbas pada tidak optimalnya asupan gizi tambahan penting lainnya, terutama protein. Kebutuhan kalori petani miskin ekstrem kurang dari 2100 kkal perkapita (0,6 kg/orang/hari) menyentuh rentang 1663-1919 kkal/hari orang (kekurangan 1 hingga 2 kali porsi makan). Tingkat stunting nasional masih bercokol di 21,6 persen (2023). Hingga rilis Survei Status Gizi Indonesia 2024 pada 2 Mei 2024, tingkat stunting menurun ke level 19,8 persen. Masih jauh dari target nasional mencapai 14 persen. Pemerintah pun belum berhasil mengerem kenaikan tingkat wasting yang berpotensi 3 kali lipat mengalami stunting (UNICEF, 2023).

Salah Arah Kebijakan Pangan

Di tingkat nasional, kebijakan pangan pemerintah semakin jauh dari komitmen meningkatkan harkat martabat Kaum Tani. Pemerintah memprioritaskan ekstensifikasi lahan melalui kebijakan Food Estate. Kebijakan tersebut membawa masalah perampasan agraria dan kerusakan ekologis dan mengancam hak masyarakat adat terhadap ruang hidupnya. Di Papua, food estate menambah kerentanan tingkat gizi masyarakat yang mengandalkan ragam pangan dan gizinya dari hutan: dari ubi-ubian dan hutan sagu, puspa ragam hewan buruan dan tumbuh-tumbuhan obat-obatan. Food estate di Kalimantan Tengah bernasib serupa dan menghadapi kegagalan yang berulang.

Kebijakan food estate bertumpu pada paradigma pertanian industrial skala besar yang kontra terhadap komitmen masyarakat global dalam menurunkan emisi karbon. Pertanian industrial terbukti menimbulkan dampak sosial ekologis berkepanjangan dan menurunkan tingkat kualitas tanah. Dalam laporan The State of the World’s Land and Water Resources for Food and Agriculture – Systems at breaking point (2022), FAO mencatat 34 persan lahan pertanian dan peternakan telah mengalami degradasi akibat kerja manusia. Di sisi lain, terjadi peningkatan luas lahan pertanian sebesar 15 persen (208 juta hektar) antara 1961 hingga 2019, di mana peningkatan lahan irigasi meningkat pesat hingga 110 persen. Selain itu, pembukaan lahan pertanian baru melepaskan simpanan karbon organic antara 25-75 persen. Hal ini menimbulkan kenaikan efek rumah kaca dan mengancam kenaikan suhu 1,5 derajat lebih tinggi dan lebih cepat.

Kebijakan impor beras yang terus mengalir ke dalam negeri terus memperparah kemiskinan petani pangan. Pertanian pangan tidak lagi menguntungkan akibat tekanan membengkaknya biaya produksi dan petani pangan semakin tindas akibat anjloknya harga gabah ketika kebijakan impor beras ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini menyulitkan petani keluar dari lingkaran setan kemiskinan struktural. Meskipun pemerintahan Prabowo-Gibran menyetop impor pangan beras, namun dengan tingkat harga beras global yang semakin menurun disertai masih terdapat potensi besar impor berdasarkan UU Cipta Kerja atas perubahan UU Pangan, kemungkinan impor beras masih akan selalu membayangi dan mengancam kedaulatan Kaum Tani di dalam negeri.

Di tengah penurunan produksi pangan dalam negeri, Pemerintah justru memperkuat kebijakan program bantuan pangan bergizi gratis. Kebijakan tersebut bermasalah dalam tiga hal.

Pertama, kebijakan program makan bergizi tidak berlandaskan komitmen pemberdayaan menuju kemandirian masyarakat dalam mengadakan pangannya sendiri, baik melalui pengorganisiran gerakan masyarakat melalui lembaga mandiri pangan bergizi. Kedua, kebijakan program makan bergizi gratis membutuhkan pasokan pangan bergizi dalam jumlah besar sehingga meningkatkan potensi impor pangan.

Ketiga, sasaran pihak yang terlalu samar dan luas menyebabkan anggaran program berpotensi membengkak. Jika kebijakan tidak bertopang pada partisipasi masyarakat dan tidak jelasnya sasaran prioritas, program bantuan pangan bergizi gratis berpotensi salah sasaran dan hanya mengulangi kegagalan sejak dalam perencanaan.

Sistem Pangan-Gizi yang Mendaulatkan

Gambaran kondisi pangan dan gizi hari ini menunjukkan agenda pembangunan Indonesia masih jauh dari adil-merata. Sajogyo (2012), begawan sosiologi pedesaan Indonesia, menegaskan bahwa indikator pembangunan yang baik adalah meratanya pangan dan terpenuhinya gizi baik, khususnya pada anak-anak di bawah lima tahun dan ibu hamil dan menyusui. Pangan dan gizi menentukan generasi pelanjut masa depan bangsa.

Mengingat kondisi pangan-gizi hari ini, gagasan Sajogyo menjadi semakin relevan kembali digaungkan. Sajogyo mewariskan paradigma berpikir dalam membangun optimisme yang berpangkal pada kekuatan rakyat. Paradigma ini berusaha mengkonstruksi dan merekonstruksi kebijakan yang bertumpu pada kekuatan ‘tenaga dalam’ lapisan masyarakat paling lemah di pedesaan.

Paradigma berpikir ini melahirkan ‘Sistem Pangan-Gizi yang Mendaulatkan’ yang bertumpu pada tiga pilar utama. Pertama, kebijakan harus berfokus utama pada peran utama Ibu sebagai penentu kedaulatan pangan yang dimulai dari tingkat keluarga. Peran perempuan begitu penting namun sering diabaikan sebagai garda terdepan dan pengambil keputusan dalam ketahanan pangan dan gizi keluarga.

Kedua, pembentukan atau penguatan lembaga pemenuhan pangan dan gizi berlandaskan pada pendidikan yang memberdayakan. Dalam riset Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (1973), Sajogyo pernah menggagas Taman Gizi merupakan contoh lembaga usaha perbaikan gizi keluarga dengan membangun potensi swadaya masyarakat desa melalui pengorganisiran perempuan pedesaan khususnya dari para ibu pengasuh anak dan ibu hamil pada lapis masyarakat paling lemah.

Ketiga, perombakan struktur penguasaan agraria dalam meningkatkan aneka ragam pangan pokok. Sajogyo (1976) pernah menggagas Badan Usaha Buruh Tani (BUBT) sebagai lembaga pengorganisiran petani-petani gurem sebagai lembaga produksi pangan yang diorganisir secara mandiri oleh petani-petani gurem melalui konsolidasi tanah-tanah gurem.

Karenanya, Pemerintah perlu kembali meletakkan kebijakan dan gerakan semesta (Negara, Pelaku Usaha dan Ornop/LSM). yang berangkat dari inisiasi dan partisipasi masyarakat, khususnya lapis masyarakat paling lemah di pedesaan. Komitmen ‘membangun optimisme berpangkal dari mikro’ merupakan dari usaha dari apa yang dicitrakan dalam bait Indonesia Raya, ‘bangunlah jiwanya, bangunlah badannya’.

*Peneliti dan Staf Pengelolaan Pengetahuan Sajogyo Institute. Tulisan ini dibuat untuk memperingati 99 tahun hari lahir Prof. Sajogyo. 

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four + 5 =

KABAR TERBARU!