[Jakarta, 29 Desember 2015] Hampir 200 akademisi, tokoh agama dan kebudayaan serta aktivis sosial menyampaikan keprihatinan terhadap penanganan krisis ekologi dan sosial di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, kepada Presiden Joko Widodo. Mereka tergabung dalam Forum Pengajar, Peneliti dan Pemerhati Agraria, Lingkungan dan Kebudayan.
“Kami berharap kepada Presiden untuk menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dengan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah berlanjutnya krisis social dan ekologis melalui kebijakan yang progresif disertai implementasi yang tepat”, papar Dr. Soeryo Adiwibowo, koordinator Forum yang juga pengajar di Institut Pertanian Bogor.
“Proyek-proyek pembangunan di Jawa, secara khusus industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara, dan penambangan mineral lain masih belum memberikan keadilan lingkungan dan sosial pada rakyat khususnya masyarakat terdampak. Bahkan di beberapa tempat masih belum menghormati hak-hak rakyat atas tanah permukiman dan pertanian yang telah dikuasai turun-temurun”, tambah Dr. Soeryo Adiwibowo.
Eko Cahyono, Direktur Sajogyo Institute menuturkan bahwa salah satu contohnya adalah rencana pembangunan industri semen yang akan menyebabkan krisis ekologi dan menimbulkan ketidakadilan lingkungan.
“Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara yang menyebar di Kabupaten Rembang, Pati, dan Grobogan, serta di Gombong, Jawa Tengah mengindikasikan hal tersebut. Penambangan batu gamping untuk industri semen di Kabupaten Rembang mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Padahal CAT tersebut merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan resapan air terbesar yang memasok sumber-mata air yang ada di sekitarnya. Volume air yang dihasilkan oleh mata air-mata air yang ada di pegununungan karst ini dalam satu hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. 10% diantaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat dan sisanya didistribusikan ke lahan pertanian”.
Rencana pembangunan industri semen di Pati mengancam hak pangan warga. Lahan yang akan digunakan untuk pabrik seluas 180 hektar, 95 hektarnya berupa lahan pertanian produktif milik 569 orang/KK di tiga Desa yakni Tambakromo, Mojomulyo dan Karangawen. Lahan untuk tapak pabrik dan tapak tambang akan menggunakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani sekitar seluas 484,96 hektar. Lahan tersebut telah dikelola oleh 267 petani hutan (pesanggem) untuk budi daya pertanian. Dengan produktivitas 6 ton padi/hektar/panen, pendapatan total dari satu kali panen di areal budidaya pertanian yang terkena proyek diperkirakan mencapai Rp 2.137.500.000. Pembangunan pabrik semen akan menurunkan pendapatan masyarakat di sana.
Profesor Hariadi Kartodihardjo dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor menyatakan,
“semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, longsor dan kekeringan yang tinggi. Kondisi hutan di Pulau Jawa yang saat ini berada pada titik kritis perlu mendapat perhatian serius. Pulau Jawa hanya memiliki luasan hutan sebesar 3,38% dari seluruh kawasan hutan di Indonesia. Dari luasan tersebut, sebesar 85,37% dikelola oleh Perum Perhutani. Luas tutupan hutan dari tahun ke tahun makin berkurang. Di tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar. Namun di tahun 2009 sudah merosot tinggal 800 ribu hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23, 1%. Akibatnya, sebanyak 123 titik DAS dan Sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus berlangsung maka sekitar 10,7 juta ha DAS dan Sub-DAS di Pulau Jawa akan semakin terancam.”
Dr. Myrna Safitri dari Universitas Pancasila menambahkan:
“Kebijakan tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa bukanlah solusi yang tepat untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari krisis ekologis yang berlangsung saat ini. Tukar-menukar itupun diduga dapat memicu konflik agraria karena belum adanya jaminan ‘clear and clean’ dari lahan pengganti yang disediakan. Tukar menukar juga tidak dapat mengganti hilangnya fungsi ekologis pada lahan yang ditukar.”
Konflik agraria di Pulau Jawa, khususnya di areal Perum Perhutani, relatif tinggi dalam hal jumlah dan frekuensi. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 (empat puluh satu) konflik hutan terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh Perum Perhutani. Dalam satu dasawarsa terakhir ini setidak-tidaknya 108 warga desa hutan mengalami kekerasan dan kriminalisasi.
“Kami mendesak agar Presiden segera memimpin pelaksanaan Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dengan membentuk jaringan pemantau yang beranggotakan unsur pemangku kepentingan secara transparan dan akuntabel”, kata Profesor Esmi Warassih dari Universitas Diponegoro.
Dalam pernyataannya, Forum ini meminta Presiden menugaskan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk menghentikan proses tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa dengan tidak menerbitkan keputusan mengenai tukar-menukar tersebut kecuali untuk kepentingan bencana alam. Juga menugaskan Menteri LHK untuk memeriksa izin-izin lingkungan proyek-proyek yang memohonkan tukar-menukar kawasan guna memastikan adanya partisipasi dan penghormatan hak-hak rakyat. Juga meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN untuk mengkaji ulang RTRW Kabupaten/Provinsi yang diduga dilakukan untuk memuluskan proyek-proyek infrastruktur yang tidak mengindahkan prinsip keadilan lingkungan. Serta mengkaji ulang proses pengadaan tanah di lokasi-lokasi proyek tersebut yang patut diduga berjalan di luar ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Kami berharap Presiden dapat menugaskan Menteri BUMN untuk mengevaluasi praktik penanganan konflik yang dilakukan oleh Perum Perhutani, serta keabsahan tukar-menukar kawasan hutan di areal Perum Perhutani. Menugaskan Menko Bidang Perekonomian dan Menteri LHK untuk memeriksa kembali kelayakan lingkungan seluruh rencana industri semen, penambangan emas, penambangan pasir besi, waduk dan pembangkit listrik tenaga uap di Pulau Jawa. Serta memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengusut tuntas tindakan-tindakan kekerasan terhadap masyarakat, lebih khusus pada kasus-kasus konflik agraria dan sumberdaya alam, yang dilakukan oleh oknum aparat Polri/TNI dan membawanya ke dalam proses hukum yang terbuka dan independen,” kata Sri Palupi, peneliti dari Institute for Ecosoc Rights.
Kontak Person:
- Dr. Soeryo Adiwibowo (0811119578; adibowo3006@gmail.com);
- Dr. Myrna A. Safitri (0816861372; myrna.safitri@epistema.or.id);
- Eko Cahyono, M.Si: (082312016658, anachoning@gmail.com)
Isi Petisi bisa di dapatkan di sini