Belajar ‘Populisme’

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Di Indonesia, pada umumnya orang mudah “latah” (termasuk para pejabat, anggota DPR, ya bahkan sebagian para akademisi), belum memahami benar maknanya sudah ikut-ikutan menggunakan sesuatu istilah.

Oleh Gunawan Wiradi

Pengantar

  1. Tulisan sederhana ini hanyalah sekadar perangsang terutama bagi generasi muda, agar di dalam menggunakan istilah-istilah asing (khususnya lagi istilah ilmiah), perlu pemahaman lebih dulu mengenai makna istilah-istilah tersebut. Di Indonesia, pada umumnya orang mudah “latah” (termasuk para pejabat, anggota DPR, ya bahkan sebagian para akademisi), belum memahami benar maknanya sudah ikut-ikutan menggunakan sesuatu istilah.
  2. Ada sementara orang yang beralasan bahwa mempermasalahkan “istilah” itu membuang waktu, dan tidak produktif. Lalu mereka itu mengutip sebuah kalimat yang terkenal, “What is in a name?”, dan diterjemahkan “Apalah artinya sebuah nama, atau sebuah kata?”. Tak perlu diperdebatkan?! Tetapi, ketika mereka ini ditanya, kalimat bahasa Inggris itu dari siapa, dan dalam konteks apa serta apa maksudnya, ternyata mereka “bengong”. Artinya mengutip kalimat tersebut pun hanya sekadar “latah”.
  3. Terutama dalam wacana ilmiah, suatu istilah itu mengacu kepada suatu konsep: Karena suatu konsep itu adalah sebuah gambaran abstrak, maka lalu diperlukan adanya definisi mengenainya. Di dalam ilmu-ilmu sosial, harus diakui, suatu istilah bisa didefinsikan secara berbeda-beda, tergantung bagaimana masing-masing ilmuwan itu memaknainya. Hal inilah, terutama bagi para pemula, yang seringkali membingungkan dan menimbulkan perdebatan. Begitu pula dengan istilah “Populisme” atau “Populist”.
  4. Tulisan ini hanya sekadar gambaran umum, semacam sketsa kasar. Meskipun ada beberapa rujukan beberapa pustaka, tetapi sumber utama materi uraian dalam tulisan hanyalah dua buku saja, yaitu:
    • Gavin Kitching (1982): Development and Underdevelopment in Historical Perspective. Populisme, Nationalitation and Industrialization. London. Methuen & Co. Ltd.
    • Margaret Canovan (1981): Populism. Flinders University Library. Junction Books.
  5. Demikianlah, uraian ringkas dalam tulisan ini dapat dianggap sebagai “Bagian Pertama” dari seri tulisan yang direncanakan lebih lanjut dengan bagian-bagian berikutnya yang lebih khusus. Mudah-mudahan wacana tersebut dapat terwujud. Insya Allah!

I. “POPULISME”. Apa itu?/ Pendahuluan

  1. Seperti telah disinggung di depan, dalam ilmu-ilmu sosial, suatu konsep bisa didefinisikan secara bermacam-macam. Tapi pada umumnya, terutama suatu konsep yang didasarkan pada gejala empiris, beragam definisi itu dapat dilacak intinya yang sama. Namun tidak demikian halnya dengan istilah “populisme” ataupun “populist”. Banyak definisi yang jika dibandingkan satu sama lain, dapat menimbulkan kesan membingungkan, bahkan seperti terdapat pertentangan makna.
  2. Istilah “populis” sering digunakan oleh sejarahwan, ilmuwan sosial, para politisi, ataupun wartawan, dalam konteks yang berbeda-beda, dan merujuk kepada gejala empiris yang berbeda-beda pula, sehingga pengertiannya menjadi kabur (terutama bagi pemula).
  3. Pada tahun 1967, pernah berlangsung suatu konferensi yang bertema: “To Define Populism”, bertempat di “Londong School of Economics” (LSE), London. Setelah buku laporan hasil konferensi tersebut terbit, maka muncullah berbagai tanggapan dalam berbagai jurnal ilmiah, dan ada pula definisi-definisi lain.
  4. Dari perkembangan diskusi-diskusi tersebut, kita coba untuk melihat bagaimana beragamnya definisi yang dapat memberi kesan bertentangan satu sama lain:
    • Populisme adalah “Sosiolisme yang muncul dalam negara agraris terbelakang yang sedang menghadapi masalah modernisasi” (Andrezej Walicki, 1968).
    • Populisme “pada dasarnya adalah ideologi rakyat kecil pedesaan yang terancam oleh serbuan kapitalisme industri dan finansial” (Peter Worsely, 1967).
    • Populisme “pada dasarnya adalah … gerakan rakyat pedesaan yang berusaha mewujudkan nilai-nilai tradisional dalam masyarakat yang sedang berubah” (Peter Calvert, 1967-LSE).
    • Populisme adalah “Kepercayaan bahwa mayoritas opini rakyat dikontrol atau dicek oleh minoritas elit” (Harry Lazer, 1967).
    • Populisme adalah “Kredo atau gerakan yang didasarkan atas premis utama bahwa ‘nilai moral’ yang paling baik itu terletak pada rakyat sederhana yang merupakan mayoritas besar, dan pada tradisi kolektif mereka” (Peter Wiles, 1967).
    • Populisme menyatakan bahwa kehendak rakyat itu sendiri merupakan yang tertinggi di atas semua standar yang lain” (Edward Shils, 1956).
    • Populisme adalah sebuah gerakan politik yang menikmati dukungan masa kaum buruh kota maupun kaum petani desa, tetapi tak berasal dari kekuatan organisasi yang otonom mereka sendiri, buruh maupun petani” (Torcuato S. di Tella, 1965).
  5. Dari berbagai definisi tersebut di atas dapat dilihat adanya beberapa persamaan (kedekatan gagasan), tapi ada juga yang sulit dicari kemiripannya. Bahkan mungkin menjadi “bertentangan”. Margaret Canovan misalnya, mencoba mengelompokkan tujuh definisi tersebut di atas menjadi tiga, yaitu tiga yang pertama (a,b, c) satu kelompok, tiga yang kedua (d,e,f) satu kelompok, dan terakhir (g), tersendiri. Tapi diakuinya bahwa cara inipun masih mengandung banyak masalah. Memang ini hanya suatu cara/alat analisa, mengingat tumpang tindihnya pengertian. Misalnya, jika salah satu definisi (tersebut di atas) menyatakan “populisme ideologi”, tapi ada ilmuwan yang secara tegas menyatakan: “populisme hanya suatu ‘syndrome’, bukan ideologi!” (Peter Wiles, 1969).
  6. Gambaran ringkas tersebut di atas adalah wacana intelektual yang dimulai pada pertengahan abad ke-20. Tetapi menurut Gavin Kitching (1982), kalau kita ingin memahami perkembangan dan asal-usul gagasan “populisme” secara intelektual, ada baiknya untuk melacaknya dari pemikiran tiga tokoh di pertengahan abad ke-19, yaitu Sismondi (1815), Ricardo (1817), dan Proudhon (1840). Tetapi untuk kepentingan tulisan sekarang ini, hal itu akan dilewatkan dulu karena akan berkepanjangan mencakup isu-isu lain yang luas.

II. POPULISME AGRARIA dan POPULISME POLITIK

  1. Karena begitu beragamnya cara mendefinisikan, maka ada upaya (sekadar sebagai ‘alat analisa’) untuk mengelompokkan “gambaran” populisme itu menjadi dua, yaitu “Agrarian Populisme” dan “Political Populism”.
  2. Masing-masing kelompok itu kemudian dibeda-bedakan lagi menjadi beberapa tipe, ata dasar ciri-ciri yang diamati dari pengalaman empiris.
  3. POPULISME AGRARIA
    • Radikalisme Petani (misalnya Partai Rakyat Amerika Serikat)
    • Gerakan Petani (Misalnya Eropa Timur)
    • Sosialisme Agraria Intelektual (misalnya Narodniki di Rusia)
  4. POPULISME POLITIK
    • Diktator Populis (misalnya Peron)
    • Demokrasi Populis
    • Populisme Reaksiner
    • Populisme nya para politisi
  5. Untuk memahami semuanya itu tentu perlu uraian yang lebih rinci. Namun pada tahap pendahuluan ini, kita cukupkan sekian dulu.

More to explorer

One Response

  1. Selamat siang pak, saya adalah orang yang tertarik mendalami populisme ini. Ingin meminta pendapat, bagaimana sebenarnya korelasi penguasa-penguasa di era modernisasi ini dengan etos kerja mereka yang semakin baik dan dapat merauk simpati masyarakat; disamping itu saya menemukan keselarasan dari salah satu pernyataan populis diatas terkait ‘mayotitas opini rakyat dikontorol oleh minoritas elit’ yang pada saat ini saya rasakan hadir di dalam sosok para pemimpin sepertihalnya Ridwan Kamil yang mampu mengontrol masyarakat dan melakukan transparansi pekerjaannya melalui platform digital. Apakah hal tersebut bisa dikatakan sebagai cara yang populis dan memiliki kaitannya dengan populisme?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + eleven =

KABAR TERBARU!