Bogor (11/02/2016). Pada hari Kamis 11 Februari 2016, Sajogyo Institute mengadakan diskusi “Naskah Orasi Ilmiah Guru Besar Prof. Hariadi Kartodihardjo”. Prof. Hariadi Kartodihardjo atau sering dipanggil dengan sapaan Pak Haka memaparkan naskahnya yang berjudul “Diskursus dan Kebijakan Institusi-Politik Kawasan Hutan: Menelusuri Studi Kebijakan dan Gerakan Sosial Sumberdaya Alam di Indonesia”. Naskah tersebut dibahas oleh tiga pembahas, Emil Kleden (Yayasan PUSAKA); Suraya A. Afiff, PhD (Universitas Indonesia); dan Sulistyanto, SH (Litbang KPK).

Dalam naskahnya, Hariadi menyebutkan bahwa kebijakan mempunyai nilai-nilai yang mampu menyelesaikan permasalahan yang di dalamnya yang dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat minoritas dan masyarakat yang miskin dan termiskinkan. Topik kawasan hutan diambil dalam naskah orasi tersebut bukan tanpa alasan, perjalanan panjang dalam dunia akademis/penelitian, birokrat, dan gerakan sosial bersama Civil Society Organization (CSOs/LSM) dalam ranah gerak kebijakan sumberdaya alam (khususnya hutan), membawa Hariadi pada simpulan bahwa kawasan hutan mempunyai pekerjaan rumah yang cukup besar. Hal ini di sampaikan dalam diskusi.

“Kawasan hutan, jika dilihat dari penguasaan daratan di Indonesia mempunyai porsi yang sangat dominan, tetapi di dalam praktik lapangannya telah terbukti bahwa ranah legal-formal kawasan hutan tidak cukup untuk menjawab persoalan yang ada. Permasalahan konflik, korupsi, dan kerusakan sumberdaya alam bermula pada ketidak-jelasan status lahan/hutan,” tutur Hariadi Kartodihardjo.

Selanjutnya Hariadi menyampaikan bahwa diskursu yang dianut oleh pemerintah adalah sangat positivistik-legal formal sekali. Kawasan hutan yang clear didefinisikan melalui selember kertas izin dan dokumen tata batas belaka. Padahal di dalamnya harusnya mengandung komponen legal yang legitimate. Yaitu sebuah kondisi kawasan yang sah menurut hukum formal (legal) dan diakui oleh para pihak di dalamnya (legitimate), dalam hal ini adalah masyarakat lokal/adat.

Di dalam naskah orasinya, Hariadi juga menyinggung posisi para akademisi yang harusnya mempunyai posisi “khusunya keberpihakan”. Melalui naskah tersebut Hariadi melakukan autokritik terhadap institusi pendidikan tinggi serta akademisi sebagai perorangan dan lembaga. Hal ini senada disampaikan oleh Suraya Afiff:

“Naskah ini tidak lain adalah sebuah posisi bagaimana seorang rimbawan atau forester melakukan kritik pada paradigma keilmuan kehutanannya. Hal ini sangat penting mengingat keberadaan sumberdaya hutan yang sangat besar, tetapi belum mampu mengentaskan kemiskinan, bahkan hingga saat ini cenderung lebih memiskinkan masyarakat dan merusak lingkungan. Belum tentu kami sebagai antropolog, mampu memberikan dan melakukan kritik pada kami sendiri sebagai akademisi yang bergelut di bidang antropologi.”

Sedangkan Emil Kleden menyebutkan bahwa Hariadi mengajak kita semua untuk dapat lebih jeli dalam kerja-kerja penelitian dan gerakan sosial.

“Yang saat ini kita mencoba untuk menjawab pertanyaan, di dalam naskah ini kita dicoba untuk menggesernya lebih pada apa sebenarnya permasalahan yang ada.”

“Sebagai praktisi yang bergerak di gerakan sosial CSO, saya berfikir, jangan-jangan kita sebagai CSO yang selama ini melakukan pendampinganlah yang telah merubah struktur sosial masyarakat, kita mengintervensi dan mengintroduksi pengetahuan-pengetahuan luar ke dalam masyarakat, yang sebenarnya masyarakat memang tidak memerlukan akan hal itu.” Tutur Emil.

Sulistyanto, Litbang KPK memaparkan bahwa persoalan konflik hutan/tambang/perkebunan yang menghadapkan masyarakat lokal/adat, pemerintah dan perusahaan mempunyai kecenderungan tindakan korupsi. Penguasaan sumberdaya alam di Indonesia yang didominasi oleh segelintir pihak perlu untuk dipertanyakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 − one =