Fikih Agraria: Ikhtiar Membumikan Diskursus Agraria kepada Umat Islam Indonesia

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Malam yang tenang itu perlahan pecah. Hujan turun rintik lalu menderas. Para peserta berebut menempati kursi yang tidak terkena tampias hujan. Sebagian lain memindahkan kursi agar tidak terkena derasnya air hujan. Meski saat itu, Rabu (15/2), suasana hujan cukup deras, tidak menyurutkan para peserta untuk menghadiri dan menyimak Bedah dan Diskusi Buku ‘Fikih Agraria: Sebuah Perbincangan’ di Kantor Sajogyo Institute, Malabar 22 Bogor. Diskusi dimoderatori langsung oleh Pahmi Attaptazani (Kader FNKSDA Yogyakarta).

Buku Fikih Agraria yang ditulis oleh Mohamad Shohibuddin dan Mohammad Nashirulhaq ini hadir di tengah kesumukan problem agraria di Indonesia yang tidak ada habisnya. Namun, umat Islam sebagai masyarakat mayoritas di Indonesia amat jarang menengahkan problem dan narasi besar agraria, seperti konflik agraria, gerakan kaum tani, problem penguasaan sumber agraria, benturan penguasaan adat vis a vis negara dan korporat dan sebagainya.

Dari Kiri ke Kanan: Syarif Arifin (Direktur Eksekutif LIPS), Mohamad Shohibuddin (Penulis buku Fikih Agraria), Siti Barokah (Pengasuh Pesantren Ekologis Misykat al-Anwar), Martin Sawyer French (Mahasiswa Ph.D University of Chicago) dan Pahmi Attaptazani (Kader FNKSDA Yogyakarta). (Sumber foto: Afwan/Sajogyo Institute)

Fikih Agraria hadir memberikan energi bagi perjuangan keadilan agraria terhadap masalah ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, melalui perjuangan akses dan perjuangan kontra-eksklusi dalam satu hentakan nafas.

Selain itu, terbitnya buku ini merupakan bentuk ikhtiar mula-mula dialog diskursus masalah agraria melalui perspektif fiqhiyah. Fikih bukan berarti suatu produk semata, tetapi suatu kerja dan proses menanggapi dan merespon secara kreatif situasi dan kondisi sosial yang terjadi pada masanya. Dan fikih tidak berhenti pada masa lalu, tapi akan berjalan dan berproses sepanjang zaman.

Bedah buku dihadiri oleh tiga pembedah buku, seperti Syarif Arifin (Peneliti dan Direktur Eksekutif Lembaga Informasi Perburuhan Sedane [LIPS]), Siti Barokah (Pengasuh Pesantren Ekologis Misykat al-Anwar) dan Sawyer Martin French (Mahasiswa Ph.D University of Chicago).

Tak Cukup Fikih

Mendedah masalah agraria dari perspektif dan pendekatan fikih menjadi sangat penting untuk mendekatkan dalam percakapan umat Islam. Hal ini menjadi concern Syarif Arifin (Direktur Eksekutif LIPS) dalam memandang antara pertautan dan dialog antara fikih dan masalah agraria.

Bagi Arifin, sangat penting untuk mendudukkan masalah agraria dalam perspektif fikih, mengingat agraria merupakan landasan dari kehidupan manusia. Betapa tidak, kita selalu menginjak bumi dan tak mungkin tidak menapak kepada bumi. Perspektif fikih agraria harus diasah melalui pendekatan dan pisau analisis ekonomi politik.

Syarif Arifin tatkala menjawab pertanyaan para peserta bedah buku. (Sumber foto: Afwan/Sajogyo Institute)

Namun, Arifin mengingatkan bahwa perspektif fikih saja tidak cukup dan sangat terbatas untuk menciptakan diskursus agraria secara komprehensif. “Tantangannya adalah, untuk menciptakan agar agraria menjadi percakapan sehari-hari umat, tidak cukup dalam perspektif agraria saja. Harus dilihat dalam perspektif tradisi keilmuan lainnya, seperti ilmu tauhid (teologi) dan tasawuf.”

Tak hanya itu, dalam kedudukan ilmu fikih, fikih agraria masih begitu sempit, yaitu baru sekadar menduduki level fikih muamalah semata. “Bagaimana fikih agraria masuk dalam fikih ibadah, fikih jinayat, dan fikih munakahat?” Bagi Arifin, fikih agraria akan menjadi fikih komprehensif jika masuk dalam tiga aspek fikih lainnya.

Arifin mengingatkan fikih agraria untuk masuk dalam sistem pendidikan pesantren. Baginya, pendidikan pesantren baru terbatas pada fikih ibadah. Fikih agraria, menurutnya, bisa menjadi pendobrak sistem pesantren dalam mengembangkan sistem dan tradisi keilmuan Islam berperspektif ilmu sosial kritis.

Di samping itu, Arifin mempertanyakan masalah agraria seperti apa yang disasar. Apakah masalah agraria yang hanya berfokus di pedesaan atau perkotaan. Menurut Arifin, isu agraria perkotaan menjadi sangat penting terutama mempertautkan dengan masalah buruh di perkotaan. “Masalah agraria perkotaan justru sangat erat hubungannya dengan isu buruh. Para buruh membutuhkan tanah demi jaminan perumahan murah nan terjangkau, akses air yang layak dan sehat, ruang hijau untuk kesehatan fisik dan psikis buruh, hingga ruang publik terbuka yang aman dan nyaman untuk buruh berkumpul”, tegas Arifin.

Tauhid dan Transformasi Sosial

Senada dengan Syamsul Arifin, Siti Barokah (Pengasuh Pesantren Ekologis Misykat al-Anwar) mengatakan bahwa untuk menyentuh masalah agraria dari dimensi fikih cukup terbatas. Meski relevan untuk pendekatan terhadap khalayak umum, tetapi pendekatan fikih semata tidak cukup untuk membahas masalah agraria. Menurut Oka, jika hanya disentuh pada sisi fikih saja, maka itu baru menyentuh dimensi kulit permukaan an sich.

Ia memberikan masukan untuk melihat dari aspek keilmuan teologis atau tauhid. Hal ini senada dengan salah satu hadits yang menegaskan bahwa air, api dan rumput adalah milik Allah dan terbuka untuk publik dalam hal pemanfaatan.

Siti Barokah tengah mengulas buku Fikih Agraria. (Sumber foto: Afwan/Sajogyo Institute)

“Kita semua mengetahui, level tertinggi kepemilikan dan penguasaan segalanya di muka bumi adalah milik Allah. Berefleksi dari hadits tersebut, kita seharusnya belajar dan menanamkan di dalam diri setiap umat bahwa segala hal, khususnya agraria, tidak bisa semena-mena dihak-miliki lalu mengeksklusi yang lain,” tegas Oka, sapaan akrabnya.

Bagi Oka, dengan melihat dimensi teologis terhadap penguasaan dan pemilikan agraria berkonsekuensi pada dimensi sosial dan dimensi ekologis. Karenanya, tauhid adalah dasar penting dalam transformasi sosial. “Konsekuensinya, enclosure atau pemagaran terhadap sumber-sumber agraria berlawanan dengan semangat tauhid, berlawanan terhadap prinsip sumber agraria sebagai milik Allah,” tegasnya.

Sekalipun begitu, Oka mempertanyakan masalah keselarasan fikih agraria dengan UUPA 1960. Baginya, perlu untuk menyentuh masalah agraria dan masyarakat adat yang selama ini kurang diperhatikan khususnya dalam dimensi fikih.

Oka berharap dengan adanya buku Fikih Agraria ini dapat memperluas cakupan ilmu fikih yang tidak hanya berfokus pada masalah ibadah, tetapi meluaskan pandangannya pada masalah-masalah sosial, khususnya masalah-masalah agraria. ”

Transformasi Sosial: Mampukah?

Lebih jauh, pembedah selanjutnya, Martin Sawyer French (Mahasiswa Ph.D University of Chicago) melemparkan pertanyaan yang perlu digarisbawahi. Baginya, pertanyaan ini merupakan rasa penasaran dan merupakan hal yang luput dalam buku Fikih Agraria.

Ia bertanya, sejauhmana fikih agraria dapat menjawab berbagai konsekuensi dari darurat agraria yang kini menimpa masyarakat Indonesia (khususnya kaum tani dan masyarakat yang terlempar dari sumber-sumber agrarianya). Baginya, sebagai konsekuensi dari rezim kapitalisme yang merasuk dalam sistem kehidupan Indonesia, telah melahirkan ragam macam permasalahan, khususnya ketimpangan agraria, praktek perampasan sumber-sumber penghidupan, dan kemiskinan struktural yang akut. ‘Apakah fikih agraria bisa mengubah kondisi dan situasi sosial yang sudah terlanjur tidak adil?’ tanyanya.

Martin Sawyer kala sedang mengulas buku Fikih Agraria. Ia mempertanyakan beberapa hal yang luput di dalam buku tersebut. (Sumber foto: Afwan/Sajogyo Institute)

Lebih jauh, Martin bertanya apakah fikih agraria mampu menghentikan pelanggaran-pelanggaran hukum yang sedang dan telah terjadi. Ia mengambil masalah eksternalitas atau biaya-biaya non-ekonomi tak terhitung yang merupakan dampak dari aktivitas ekonomi. Dalam konteks kapitalisme, eksternalitas seringkali luput sebagai upaya penutupan biaya terselubung agar ongkos produksi tidak membengkak.

Martin sendiri memberi contoh penegakan hukum di masa Khalifah Umar bin Khattab terhadap dampak pemilikan tanah luas oleh Bilal bin Harits yang berdampak terhadap terlantarnya tanah yang dikuasainya. Konsekuensi dari tanah luas yang terlantar tersebut adalah  menyempitnya kesempatan kerja dan sumber penghidupan masyarakat lainnya. Umar melihat itu dan menuntut Bilal untuk melepas tanah miliknya terlantar dan dibagikan kepada masyarakat yang mau menggarapnya. Tentu, itu adalah berada pada konteks zamannya.

Martin juga bertanya apakah fikih dapat menjawab masalah-masalah agraria hari ini yang semakin banyak problem di sekitar eksploitasi pekerja petani melalui skema-skema pertanian yang serba menghisap baik dalam relasi perburuhan maupun relasi bagi hasil.

Lebih mendalam lagi, Martin kembali mempertanyakan apakah fikih agraria dapat menjawab permasalahan ‘kezaliman historis’. Martin menyoroti dimensi sejarah panjang masalah agraria yang begitu panjang sehingga membuat segala praktik perampasan tanah dan eksploitasi kaum tani mengalami ‘normalisasi’ menjadi lumrah. Ia mengingatkan bahaya aspek ideologis yang telah menjangkiti umat Islam, khususnya pada mereka yang berpegang pada prinsip Aswaja yang cenderung pasif terhadap status quo.

Sebagai penutup pamungkas, Martin kembali mempertanyakan apakah fikih berani untuk mengharamkan praktik-praktik akumulasi penguasaan tanah yang menyebabkan ketimpangan agraria dan kemiskinan struktural. Baginya, jika ini bisa dijawab, maka fikih agraria otomatis bisa menjawab permasalahan agraria di Indonesia.

Ikhtiar Dialog Islam dan Agraria

“Buku ini merupakan ikhtiar awal dialog antara Islam dengan pendekatan fikih dan masalah agraria melalui kacamata Ekonomi Politik.” Begitulah Mohamad Shohibuddin (penulis buku Fikih Agraria) menjawab rasa penasaran para peserta terhadap latar belakang penulisan buku.

Selama ini, masalah agraria selalu luput dalam perbincangan keilmuan khususnya dalam tradisi keilmuan Islam di Pesantren. Buku ini ingin menjawab dua hal. Pertama, buku ini ingin membedah diskursus pemilikan dan penguasaan agraria secara kritis melalui kacamata fikih. Bagi Shohib, kerap akrab disapa, konsep dan diskursus pemilikan dan penguasaan agraria perspektif fikih amat penting untuk membandingkan konsep dan diskursus ‘rezim property right‘ yang dibawa oleh Barat. Karenanya, pendekatan fikih menjadi jalan masuk yang baik membawa wacana agraria kritis kepada umat Islam Indonesia.

Mohamad Shohibuddin menanggapi para Pembedah Buku dan memaparkan substansi buku secara singkat. (Sumber foto: Afwan/Sajogyo Institute)

Kedua, buku ini ingin mengetengahkan kembali pentingnya keseimbangan antara fungsi akses dan perlindungan ekologis. Menurut Shohib, kedua hal tersebut penting dalam memberikan arah yang jelas terhadap perjuangan keadilan agraria. Selama ini, gerakan agraria lebih mementingkan perjuangan akses ketimbang keberlanjutan pasca-perjuangan akses meliputi perlindungan ekologis dan kontra-eksklusi. Dengan melihat keduanya (atau ketiganya), perjuangan keadilan agraria menjadi lebih bermakna dan menyeluruh.

Buku ini menjadi ikhtiar awal membumikan masalah agraria Indonesia melalui perspektif fikih. Melalui perspektif fikih, diharapkan Umat Islam Indonesia menyadari pentingnya masalah agraria yang selama ini kerap terlewatkan dan terabaikan. Sehingga, umat Islam tidak boleh merasa tenang seakan surga hanya berada di balik bilik masjid, pesantren dan pendidikan Islam lainnya, tetapi membumi menyelesaikan problem sosial, khususnya problem sosial agraria di Indonesia. [KMI]

 

Rekaman diskusi dapat disimak di bawah ini:

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen + 9 =

KABAR TERBARU!