Dengan makna serupa itu saya ingin menarik hikmah substansi buku ini dengan amatan tertentu. Dalam hal ini, tentu akan semakin menarik apabila kita memperhadapkan pertanyaan tersebut dengan fakta lain yaitu hingar bingarnya para pemimpin negeri ini ketika mereka berulangkali menyatakan bahwa bangsa ini secara dashyat telah berhasil mengubah dirinya dari negara-bangsa yang semula terkungkung dengan politik otoritarian (masa Soekarno sesudah Dekrit Presiden tahun 1959, dan masa Soeharto di era Orde Baru) namun pada gilirannya ia berhasil membalikkan keadaan untuk menjelma sebagai negara-bangsa yang demokratis (era reformasi, pasca 1998) dan kini dikenal sebagai terbesar no 3 (tiga) di dunia. Apalagi jika diingat demokratisasi tersebut berhasil mekar di tengah lingkungan kehidupan sosio-kultural yang begitu heterogen multi-etnik dan tersebar dalam bentang geografis negara kepulauan terbesar di dunia. Mereka pun mengklaim bangsa-negara ini nyata-nyata mampu untuk terus ‘membangun dan merawat persatuan dan kesatuan sosial-politik’ dalam rumah negara Republik Indonesia.
Dengan kata lain apa yang menarik darinya adalah, seperti juga diisyaratkan dalam buku ini, agenda landreform memiliki perjalanan yang panjang, berjalinan erat dengan semangat para bapak bangsa untuk membentuk negara bangsa-modern (modern nation-state). Elan kebangsaan yang dahulu tumbuh dan ditumbuhkan dari alas pengalaman penderitaan kolektif di bawah imperialisme dan kolonialisme, telah menjadi dasar dijalankannya program-program landreform di awal masa dekolonisasi. Singkatnya, landreform adalah obat pemulih luka-luka sosial-politik dalam hal ini bagi para petani pengusung masyarakat agraris di pedesaan. Bahkan lebih dari itu dengan landreform bak kita sedang mengobati tubuh masyarakat dan bangsa ini secara keseluruhan dari penyakit ketimpangan dan ketidakadilan sosial warisan masa lalu yang dipertajam oleh keadaan masa kini.
Download di sini.