Desember 2021
Penulis: Ahmad Jaetuloh, Moh Ali Rahangiar dan Bambang Tri Daxoko
Pendaftaran tanah merupakan satu tahapan penting dalam proses reforma agraria karena menjadi instrumen yang membantu memastikan subjek dan objek landreform tepat sasaran. Pendaftaran tanah dalam hal ini bukan sekadar perkara legalisasi aset melainkan untuk memastikan sebaran penguasaan tanah, subjek, dan objek landreform tergambar dengan jelas. Meski begitu, disahkanya Perpres No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria nampak belum menjamin pendaftaran tanah yang dapat menopang proses tersebut. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, aturan yang tersedia lebih menekankan proses legalisasi aset untuk meningkatkan nilai jual (tradable) tanah dan mengabaikan begitu saja (atau menghindari?) masalah ketimpangan akut penguasaan tanah. Kedua, masalah sektoralisme administrasi pertanahan antara ‘kawasan hutan’ dan ‘tanah Negara (di luar kawasan hutan)’ yang masih berlanjut sehingga memperumit pendaftaran tanah untuk reforma agraria. Imbasnya, proses inventarisasi justru menjadi ajang perselisihan yang pada akhirnya menutup kesempatan terhadap tanah objek reform usulan masyarakat karena terhalang perbedaan kriteria status dan fungsi tanah. Ketiga, kelembagaan yang tersedia juga masih sektoral dan bekerja untuk memenuhi tugas dan fungsinya masing-masing. Situasi ini memerlukan suatu terobosan kebijakan yang mumpuni yang dapat menyelesaikan persolan tersebut. Dalam kaitan itu, tulisan ini mengusulkan beberapa terobosan seperti penyatuan mekanisme kerja, kriteria, dan perubahan pada tingkat lembaga pelaksana.
Download di sini.