Bogor | Sajogyo Institute – Isu perempuan dan agraria menjadi hal yang penting diangkat mengingat perjuangan mempertahankan tanah air tak terpisahkan dengan peran-peran perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan bernegara. Pada Rabu (6/1) bertempat di Jalan Malabar No. 22 Bogor, Sajogyo Institute meluncurkan program beasiswa Studi Agraria dan Pemberdayaan Perempuan (SAPP) bertajuk “Visibilitas Perempuan Pejuang Tanah Air”.
Program yang bekerjasama dengan The Asia Foundation ini bertujuan untuk memudahkan proses menumbuh-kembangkan kepemimpinan perempuan dalam upaya pemulihan situasi krisis sosial ekologis melalui Lingkar Belajar Perempuan (LBP), yang berlokasi di 13 Desa di 8 Provinsi di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur. Acara yang dikemas dalam bentuk Talkshow ini dihadiri oleh berbagai kalangan dari akademisi, praktisi, dan aktivis LSM seperti Institute Pertanian Bogor (IPB), The Samdhana Institute, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Epistema Institute, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Selain itu, pada kesempatan ini diperkenalkan juga para fasilitator perempuan yang akan bergiat bersama para perempuan di LBP selama 1 tahun.
“Program ini (merupakan) cita-cita sejak awal berdirinya Sajogyo Institute (yang) terinspirasi oleh keinginan melanjutkan dan menggali serta mengembangkan warisan dari pemikiran dari Pak Sajogyo juga ibu Pudjiwati Sajogyo (menjadikan) Sajogyo Institute ini sebagai rumah belajar” ujar Eko Cahyono, M.Si. selaku Direktur Eksekutif Sajogyo Institute dalam pidato pembukaan.
Rasa syukur disampaikan oleh Dr. Tri Chandra Apriyanto selaku Ketua Pengurus Yayasan Sajogyo Inti Utama saat meresmikan program SAPP, “Diskusi soal perempuan dan sumber daya alam ini juga dikalangan kawan pergerakan agrariamulai meningkat satu dekade ini. Diskusi soal perempuan menjadi satu bagian tema didalam pergerakan reforma agraria, saya sangat bersyukur akhirnya Sajogyo Institute bisa menjalankan program ini”.
Tak lupa Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro juga menyampaikan rasa bahagianya. “Kita bergembira sekarang banyak perempuan hadir disini, bahkan perempuan yang muda-muda tertarik untuk mempelajari peranan dan kedudukan perempuan di daerah pedesaan, itu tidak salah.”
Menumbuh-kembangkan Kepemimpinan Perempuan
“Ada dua hal yang menginspirasi program ini 1) Kenapa perempuan (?) karena dalam pembelajaran kami selama ini, sebenarnya perempuan-perempuan diam maka disitulah pembesaran ruang-ruang kapital itu terjadi. Air (dan) tanah, air itu (merupakan) ruang perempuan (dalam) peran-peran domestiknya, peran reproduktif dan juga ini (air) sangat mendesak perempuan (menjadi) bagian dari perjuangan. 2) Kami belajar dari proses, ada ibu Aleta Baun, ada Opung Putra dari Sumatera Utara melawan brimob. Aleta Baun memimpin perjuangan melawan tambang batu marmer, dan banyak lagi perempuan-perempuan yang mengalami proses yang berbeda. Tetapi laki-laki kalau mau jadi pemimpin ya jadi pemimpin saja, tetapi kalau perempuan mau jadi pemimpin harus melalui proses itu,” ujar Siti Maimunah selaku Team Leader program SAPP.
Sebelum para fasilitator turun lapang mereka akan dimampukan dengan serangkaian pengetahuan dan keterampilan yang memadukan pendidikan kelas, kelompok diskusi dan praktek lapang melalui lokalatih fasilitator. “Program ini dikemas, ada satu proses namanya lokatih selama sebulan (bersama) mereka (para fasilitator) di kelas dan dilapang.
Di lapang dari Halimun, Ciamis, Tasikmalaya dan Garut. Ada (kegiatan) selama 7 hari di kelas (diisi) oleh Pak Wiradi, Pak Noer fuazi Rachman, Dian Yanuardy, Rachmi Diyah Larasati, Pak Roem Topatimasang dll. Kami akan bekali kawan-kawan ini. Tentu Akan tidak selsai bekal itu karena sebenarnya proses kita belajar.Tetapi kawan-kawan kami sengaja membuat tatap muka, bahwa kami ingin menyampaikan kepada kawan-kawan fasilitator tidak belajar sendiri di lapang kita ini rombongan besar,” lanjut Siti Maimunah.
Pada sesi talkshow yang dipandu oleh Siti Maimunah dan Lies Marcoes (Konsultan The Asia Foundation), para fasilitator juga diminta untuk menyampaikan pandangan dan pengalamannya terlibat dalam pemberdayaan perempuan di masing-masing wilayahnya dan motivasi mengikuti program SAPP ini.
“Saya berharap kegiatan bukan menjadi kegiatan hanya berhenti pada kegiatan karena ini problem sumberdaya alam, reforma agrarian di Indonesia masih berada situasi yang susah dikatakan dari rezim berganti dari situasi sumberdaya alam kita semakin lama semakin parah,” ujar Dr. Tri Chandra Apriyanto.
Eko Cahyono M.Si. menambahkan, “Mudah mudahan program ini bukan hanya kewajiban kelembagan tetapi juga bisa mengubah keadaan dan bisa berkontribusi atas perubahan sosial itu sendiri”.