Bogor (24/10/2017) Pemerintah diharapkan dapat menghentikan perluasan perkebunan skala besar dan sebaliknya harus memperkuat perkebunan rakyat skala kecil. Langkah tersebut dianggapnya realistis untuk mengatasi ketimpangan struktur agraria di Indonesia.
Hal itu disampaikan Direktur Pusat Studi Agraria Institute Pertanian Bogor, Satyawan Sunito dalam seminar “Reforma Agraria di Luar Kawasan Hutan: Peluang dan Tantangan” di IPB International Convention Center, 23 Oktober 2017. Dalam seminar yang dihadiri 80an peneliti dan akademisi itu, Satyawan menyajikan makalahnya berjudul Perkebunan Post-Kolonial versus Perkebunan Rakyat.
Menurut Satyawan, selain menghentikan perluasan perkebunan, pemerintah seharusnya tidak lagi mengeluarkan perbaruan hak guna usaha (HGU) yang telah habis. Tanah-tanah eks-HGU tersebut kemudian bisa dimanfaatkan untuk tanah pertanian pangan skala besar di bawah koperasi tani dan sebagai perkebunan rakyat.
Namun dalam kebijakan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) seluas 9 juta hektar, pemerintah Jokowi-JK hanya mengalokasikan 0,4 juta ha tanah redistribusi dari bekas HGU perkebunan.
“Sangat ironi, di Pulau Jawa misalnya yang penduduknya padat, masih banyak perkebunan-perkebunan besar. Pemerintah seharusnya berani melepaskan perkebunan-perkebunan besar itu,” kata Satyawan.
Pemilik perkebunan besar, Satyawan mengatakan, sebaiknya didorong untuk membuka usaha di bagian hilir seperti industri pengolahan. Sedangkan di bagian hulu, diserahkan kepada petani dan pekebun rakyat kecil. Dia meyakinkan bahwa perkebunan rakyat justru memiliki ketahanan lebih tinggi dan proses yang terbuka dibandingkan perkebunan besar. Sebab dalam perkebunan rakyat mengandalkan tenaga kerja rumah tangga yang lebih fleksibel, biaya supervisi rendah, berbasis pengetahuan lokal dan memiliki keragaman sistem produksi pertanian.
Faktanya, kata dia, peningkatan pekebun rakyat 11,12 persen lebih tinggi dibandingkan perkebunan negara yang hanya 0,36 persen dan perkebunan swasta 5,45 persen. Salah satu contoh, perkebunan sawit rakyat di Riau meningkat dari 52 persen di tahun 2010 menjadi 60 persen di tahun 2013.
“Ternyata di bawah tekanan kebijakan pemerintah yang pro-perusahaan besar, pekebun rakyat dapat berekspansi,” kata dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB ini.
Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, menurut Satyawan, bisa menjadi rujukan bagaimana menguatnya perkebunan rakyat. Di Malasyia, perkebunan karet rakyat berskala kecil justri meningkat dari 40 persen ke 71 persen di tahun 1980, ketika perkebunan besar turun dari 60 persen ke 29 persen. Sedangkan produksi perkebunan di Thailand telah dilakukan seluruhnya oleh petani kecil.
Sebaliknya, sistem perkebunan besar lebih tertutup dan eksploitatif sebagai lanjutan dari era kolonial sejak 4 abad lalu. Saat itu, untuk mendapatkan tenaga kerja murah, perkebunan besar mendatangkan buruh dari Tiongkok dan Pulau Jawa dengan ikatan kerja yang sangat mengikat dan menyerupai perbudakan.
Ironisnya, kata Satyawan, perkebunan besar yang menjadi sistem ekonomi kolonial tersebut, ternyata tetap bertahan setelah Indonesia merdeka. Bahkan menjadi salah satu tiang penyanggah ekonomi Indonesia sampai saat ini. Bertahannya sistem perkebunan besar tersebut, dimulai sejak pemerintah Orde Baru yang tak melaksanakan UU Pembaruan Agraria No 5 Tahun 1960.
Sebaliknya, rezim Orba yang otoriter justru menerapkan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan dan UU Perkebunan yang ujungnya membuka pintu lebar bagi masuknya investasi modal dalam negeri dan asing untuk membuka perkebunan skala besar.
“Antara penguasa politik dengan pengusaha besar saling berkelindan dengan mengabaikan hak-hak penduduk lokal atau adat,” kata dia.
Secara terpisah, Mohammad Shohibuddin dalam presentasinya berjudul “Reforma Agraria Sebagai Upaya Demokratisasi Desa”, menyebutkan, banyak tanah dalam perkebunan besar yang justru tak dimanfaatkan secara optimal atau terbengkalai.
Merujuk hasil inventarisasi Badan Pertanahan Nasional RI hingga Januari 2010, tanah terlantar di perkebunan besar milik korporasi mencapai 7.386.290 ha. Kenyataan ini sangat timpang dibandingkan dengan banyaknya petani yang hanya memiliki tanah antara 0,3 – 0,5 ha per keluarga (Tim Media/16).
Sumber: PSA-IPB