Problematika Keberlanjutan Hidup Orang Rimba: Studi Kasus Kelompok Grip, Meriau, dan Kecinto

Apa yang akan terjadi jika Orang Rimba yang berkarakter berburu dan meramu di Air Hitam kehilangan hutan mereka, lalu dihadapkan pada masuknya industri perkebunan kelapa sawit, program transmigrasi dan HPH serta corak produksi modern, yang sebelumnya tidak pernah mereka kenal? Mula-mulanya, penghidupan Orang Rimba penuh dengan keberlimpahan pangan yang bisa diakses hanya dengan cara berburu dan meramu, menjelajah dari satu hutan ke hutan yang lainnya dan sesekali meraka juga berladang berpindah. Dari dalam hutan, mereka memproduksi dan mereproduksi hidup yang tak pernah putus. Mengulang tahap demi tahap penghidupan yang sama sebagai sebuah proses metabolik sosial yang conform dengan metabolik alam. Setiap anggota kelompok terhubung dan terikat secara positif dengan hak dan kewajiban atas sumberdaya alam yang diatur dalam sistem tenurial mereka. Dari sini lah mereka mengatur ruang produksi lewat tata kelola dan tata kuasanya. Selanjutnya, kehidupan berubah secara drastis saat konsesi perkebunan, program transmigrasi dan HPH masuk, dimana Orang Rimba mulai terlempar dan kehilangan tanah penghidupannya di atas tanah nenek moyang.

Hilangnya sumber penghidupan lahir dari proses eksklusi yang berlangsung lewat pemagaran tanah oleh rezim HPH dan rezim industri perkebunan yang masuk bersamaan dengan program PIR-Transmigrasi. Bentuk-bentuk pemagaran tanah berlangsung melalui labelisasi hak tanah private atas hak tanah komunal dan mengubah status dan sifat kepemilikannya. Di titik ini, kedudukan hak komunal Orang Rimba disingkirkan dan diopresif. Masuknya konsesi perkebunan dan kehutanan mengubah tata kelola dan tata kuasa tanah komunal. Inilah yang menjadi sumber konflik dan eksklusi yang membuat banyak Orang Rimba menderita. Ekslusi menyebabkan hilangnya akses dan kontrol Orang Rimba terhadap sumber-sumber penghidupan. Kehilangan sumber penghidupan menyebabkan Orang Rimba terkunci dalam lumpur kemiskinan yang akut. Guna bertahan hidup, Orang Rimba memanfaatkan brondolan sawit yang terlepas dari tandan di areal konsesi perkebunan dan hidup terlunta-lunta.

Konsekuensi pemagaran tanah yang dilakukan oleh rezim HPH dan perkebunan membuat Orang Rimba kehilangan akses dan kontrol terhadap hutan yang sebelumnya sudah menjadi sumber penghidupan. Penyempitan, penyingkiran dan krisis ekologis yang ditimbulkan oleh rezim diatas mengakibatkan kehidupan Orang Rimba rentan terhadap berbagai hal. Mulai dari konflik yang berkepanjangan dimana sejak tahun 2009 hingga 2022 setidaknya ada 5 (lima) kasus konflik terjadi akibat aktivitas Orang Rimba memberondol sawit.  Hal ini tidak bisa dilepaskan dari hilangnya sumber mata pencaharian Orang Rimba yang pada awalnya berasal dari hutan. Bahkan kehilangan ruang hidup membuat Orang Rimba sangat rentan mengalami kekerasan dari Orang Luar, karena hidup di bawah pohon sawit milik trasmigran. Lebih parah, krisis kesehatan melanda Orang Rimba terlebih bagi kaum perempuan dan anak yang dengan pilihan terakhir, harus mengomsumsi air yang sudah terkontaminasi oleh racun pestisida bekas penyemprotan kelapa sawit.

Working Paper ini dapat diunduh dengan klik tautan ini.

Categories
KABAR TERBARU!