Profesor dengan Imajinasi Kaum Tani

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Oleh M. Nashih Luthfi

“Saya mempunyai kesan bahwa generasi sekarang tidak mengenal pertanian, bahkan pedesaan. Mereka mengenal dusun, dukuh, desa, dan kecamatan dari buku saja, tidak dari pengalaman langsung dengan mengunjunginya. Padahal dengan menetap di desa, mahasiswa dapat menghayati kehidupan tani: apa saja yang mereka keluhkan; jalan pikirannya; adat istiadatnya; masalah apa saja di sana; dan kebahagiaan macam apa yang mereka rasakan. Ini tidak bisa didapatkan dari laporan lurah atau camat” (Hlm. 123). Demikian, dengan nada lirih Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro, Guru Besar Sosiologi Pedesaan IPB, menutup tulisan otobiografinya dalam Mencari Ilmu di Tiga Zaman Tiga Benua.

Dalam buku itu tersaji gambaran pergulatan sosok ilmuwan yang dimatangkan melalui berbagai perjuangan, mulai dari pertempuran fisik bersenjata, bergerak di “bawah tanah”, studi di luar negeri, bertahan hidup di negeri orang, berdiplomasi, berdemonstrasi, sampai dengan perjuangan keilmuan seperti mengajar, meneliti, merumuskan kebijakan dan pendampingan masyarakat. Meminjam istilah Gramsci, agaknya tepat menyebut sosok ini sebagai intelektual organik, yakni mereka yang menggulatkan diri pada problem-problem kerakyatan.

Buku otobiografi guru besar yang pernah menjabat berbagai posisi lembaga dalam maupun luar negeri ini dilengkapi dengan daftar tulisannya selama sekitar setengah abad. Di usianya yang ke-80 tahun ini beliau telah menghasilkan 458 judul tulisan dalam bahasa Belanda, Inggris, dan yang terbanyak Indonesia. Daftar yang disusun secara kronologis itu akan membantu kita menjelajahi pemikiran beliau dan memudahkan mengikuti isu-isu pertanian, agraria, energi, dan ekologi dalam beberapa dekade zaman.

Pentingya Imajinasi Sosiologis

Prof. Tjondro memfokuskan tulisannya ini pada pengalaman mencari ilmu. Ia membandingkan pendidikan Eropa yang sifatnya elit dengan pendidikan di Amerika yang masif. Dua gaya itu memberi pengaruh berbeda pada sistem belajar, misalnya dalam hal ujian serta adanya credit points. Eropa menekankan ujian yang bergaya uraian (kualitatif) sementara Amerika bergaya multiple choice.

Pergeseran orientasi sistem pendidikan di Indonesia juga diamati secara apik. Di kampusnya, ia merasakan perubahan itu dalam bentuk penghilangan beberapa jenis matakuliah serta dihapusnya beberapa kuliah lapang yang memberi cukup waktu berhadapan langsung dengan masyarakat tani. Fenomena itu bukanlah gejala parsial.

Dibaca secara lebih luas, penghilangan di atas patut disesalkan. Sebab dapat menghilangkan imajinasi sosiologis akan massa, satu paradigma penting yang dipelajari dalam sosiologi pedesaan. Dijelaskan oleh Wertheim (1984) salah satu fallacies yang dilakukan oleh ilmuwan sosial adalah tindakan represi atas kesadaran seseorang sehingga hanya memperhitungan beberapa aspek saja dari realitas sosial. Sesat pikir itu terjadi sebab keengganan untuk mengetahui aspek-aspek dan subyek yang lebih luas, atau bisa juga karena menyembunyikan pengetahun untuk diri sendiri. Tiadanya pengetahuan tersebut, menurut guru besar Universitas Amsterdam itu harus dibongkar akan sociology of ignorance-nya. Ignoransi yang dilakukan oleh ilmuwan sosial pada masa Orde Baru adalah membicarakan masalah kemiskinan yang identik dengan petani lapis bawah dan persoalan agraria (landreform). Dua hal ini tidak dapat ditangkap bila hanya mengandalkan data makro dan ignorant terhadap data mikro. Membaca otobiografi ini, jauh dari yang dikesankan Wertheim.

Laporan Interim Masalah Pertanahan

Noer Fauzi (2008) menyebut bahwa Prof. Tjondronegoro adalah ideological brokers of agrarian reform. Ia salah satu ilmuwan sosial Indonesia yang berperan besar dalam menghidupkan kembali isu Reforma Agraria. Bersama dua koleganya (Sajogyo dan Gunawan Wiradi) mereka adalah jembatan penyambung aspirasi reforma agraria di masa kebangsaan dahulu dengan sekarang.

Salah satu tugas penting yang pernah diembannya adalah sebagai sekretaris eksekutif dalam penyusunan Laporan Interim (1978) tentang “masalah pertanahan”. Saat itu pemerintahan presiden Soeharto merasa perlu menengok kembali isu pertanahan setelah didera berbagai protes dalam peristiwa Malari. Tujuannya tentu saja adalah stabilisasi. Ketika diserahkan kepada presiden, laporan tersebut merekomendasikan dilakukannya pembaruan Reforma Agraria (RA). Namun sebagaimana dijelaskan, “pada hemat penulis pelaksanaan RA tak kunjung dilaksanakan di Indonesia. Bahkan pemerintah Orde Baru sebenarnya tidak ada niat ….” (hlm. 48). Meski tidak dijalankan oleh pemerintah Orba, menurut Gunawan Wiradi (2008) laporan itu memberi efek manfaat. Pertama, Reforma Agraria tidak lagi identik dengan agenda komunis. Kedua, ilmuwan-ilmuwan sosial yang sebelumnya “tiarap” mulai berani muncul berbicara tentang Reforma Agraria.

Penyerahan Irian Barat

Tahun-tahun sebelum penyerahan Irian Barat ke RI, Tjondronegoro dan kawan-kawan diserahi tugas mengumpulkan informasi tentang Irian Barat, keberadaan Belanda di wilayah itu, serta mempengaruhi mahasiswa Irian Barat yang belajar di Belanda. Status mereka sebagai mahasiswa memudahkan pencarian informasi di perpustakaan, kedutaan, dan pihak-pihak terkait. Tentang keberadaan pasukan, penempatan senjata, jumlah dan jenis senjata apa saja yang dipunyai pihak Belanda, serta penguasaan wilayah, mereka mendekati serdadu-serdadu Belanda yang baru pulang dari Irian Barat. Mereka mengajak makan-makan di restoran bahkan sambil minum-minum bir. Dengan cara semacam itulah mereka mengorek informasi rahasia.

Pada tahun 1962, upaya RI merebut kembali Irian Barat membuahkan hasil. Pertemuan Frits Kirihio dengan Bung Karno di Jakarta disertai beberapa mahasiswa Irian Barat yang menyatakan berdiri di belakang RI merupakan peristiwa bersejarah. Cerita tentang upaya mahasiswa di Belanda itu tak banyak diketahui. Cerita mozaik semacam di atas jarang dijumpai dalam otobiografi ini. Salah satu yang dikisahkan dengan nada sungkan oleh profesor yang terhitung ganteng di masa mudanya ini adalah tentang terkena pecahan mortir pada masa menjadi BKR Pelajar. Di sinilah pentingnya otobiografi, bukan pada penonjolan tokohnya secara subyektif, namun pada fakta-fakta sejarah yang terselip, yang abai ditulis dalam narasi besar.

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 3 =

KABAR TERBARU!