Pemikiran Sajogyo, bagi sebagian kalangan, masih dipahami secara samar, bahkan terkadang dianggap rumit. Kerumitan Pemikiran Prof. Sajogyo agaknya beralasan. Dibanding rumit, pemikiran Sajogyo lebih condong untuk mencoba menjawab setuntas mungkin permasalahan masyarakat desa dan lapisan golongan paling lemah di pedesaan.
Hal inilah yang tergambar dari Seri Diskusi Online Tematik (SINEMATIK) #12 dengan tema yang diangkat “Membedah Pemikiran Sajogyo” yang berlangsung Selasa (25/8). SINEMATIK #12 yang dimoderatori Kiagus M. Iqbal (Pegiat Sajogyo Institute) menghadirkan dua pembicara, Prof. Endriatmo Soetarto (Guru Besar Kebijakan Politik Agraria FEMA IPB) dan Eko Cahyono (Peneliti Sajogyo Institute).
Endriatmo Soetarto, yang akrab disapa Pak Amo, Sajogyo merupakan pribadi intelektual nan asketis, tetapi seorang ilmuwan dan akademisi yang membawa keilmuan yang berciri khas. “Pak Sajogyo menjadi suatu potensi yang sangat baik menjadi sebuah proyek pribumisasi dan ilmu-ilmu sosial dengan keberpihakan dan religiositasnya”, tegas Endriatmo.
Selain itu, Sajogyo, yang mengawal karir keilmuannya sebagai antropolog dan sosiolog, juga seorang yang akrab bergelut dengan angka-angka statistik. Selain menguasai corak keilmuan kualitatif, Sajogyo dikenal sangat teliti terhadap angka-angka statistik keluaran BPS. Dengan penguasaan terhadap dua corak keilmuan itu, Sajogyo dapat menguasai secara komprehensif dari setiap aras makro, meso, dan mikro.
Pak Amo menekankan bahwa apa yang perlu diambil dari sikap keilmuan Sajogyo adalah tidak perlu risih terhadap berbagai perbenturan dan dialektika pemikiran dan konsep keilmuan yang sedang berkembang dan tak pernah terganggu dengan terhadap kebijakan-kebijakan apa yang ada.
Fenomena ketimpangan lahan di masa sekarang seakan masih dianggap remeh dan mengutamakan krisis energi. Kebijakan penanggulangan krisis energi justru merangsang penguasaan lahan besar-besaran yang berdampak pada kebijakan politik yang berpihak pada penguasa lahan besar, didukung oleh rekayasa teknologi dan kebijakan ekonomi. Hal ini juga menjadi keresahan dari Pak Amo.
Ketimpangan penguasaan agraria, jika mengacu kepada gagasan Sajogyo, berdampak pada mutu hidup rumah tangga, khususnya di pedesaan. Artinya ketimpangan penguasaan tanah tidak dihubungkan secara sempit, namun secara luas terhadap kesejahteraan rumah tangga, baik pemenuhan gizi dasar, pendidikan, dan pendapatan.
Eko Cahyono juga menekankan bahwa pemikiran Sajogyo tidak pernah lepas dari ciri khasnya sebagai pembela dan berpihak pada golongan paling lemah dan paling miskin. Baginya, sedikit sekali akademisi yang mengkritik kebijakan pengentasan kemiskinan dan melempar gagasan landrefom di masa Orde Baru selain Sajogyo.
Menurut Eko, ada dua hal yang ciri khas yang membentuk keilmuan dan keberpihakan Sajogyo. Pertama, prinsip ‘Dari Praktek ke Teori dan ke Praktek yang Ber-Teori’. “Ini suatu dinamika terus-menerus, proses dialektik keilmuan yang terus menerus dan yang menarik adalah ada sikap penegasan bahwa ilmu itu bukanlah privilese atau prestise sosial, tetapi ilmu harus diabdikan untuk membela dan berpihak kepada kelompok yang paling lemah di pedesaan”, tegas Eko.
Kedua, Objektif berada pada ranah metodologi dan tidak pada sikap moral. “Sikap moral sulit diajak objektif dan harus berpihak kepada siapa. Oleh karena itu, pak Sajogyo memberi pandu, yaitu pandu utamanya adalah keilmuannya adalah kelompok paling lemah di pedesaan,” jelas Eko.
Keberpihakan Sajogyo tergambar dari banyak gagasannya. Pak Amo menekankan pada gagasan Sajogyo mengenai pembentuk Badan Usaha Buruh Tani (BUBT) sebagai penguatan dan pengangkatan martabat masyarakat buruh tani dengan menyatukan mereka dalam satu organisasi BUBT. Sedangkan Eko menekankan pada gagasan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) sebagai bentuk perbaikan gizi dasar bagi masyarakat golongan paling lemah yang rentan terhadap gizi buruk, utamanya bayi, ibu si bayi dan ibu yang sedang mengandung.
Relevansi pemikiran Sajogyo semakin menguat di masa kini terutama masalah penguasaan sumber agraria yang semakin timpang. Eko Cahyono menyoroti ketimpangan penguasaan agraria untuk kebutuhan pertambangan, perkebunan sawit besar, infrastruktur, kawasan ekonomi dan kawasan industri. Baginya, kebutuhan-kebutuhan tanah tersebut justru mengekslusi dan meminggirkan masyarakat desa dan masyarakat adat. Akibatnya, kemiskinan struktural semakin menggejala akibat kebijakan agraria yang bias modal besar.
“Wajah masyarakat pedesaan kita belum seperti yang diperjuangkan pak Sajogyo dulu untuk memiliki kedaulatan pada sosial ekonomi dan ekologi, justru makin hari ekspansi penghancuran di pedesaan makin massive”, tegas Eko
Baginya, penyebab masifnya penghancuran desa secara massif adalah munculnya bentuk-bentuk baru kapitalisme bekerja yang mengakibatkan bukan hanya sumber pangan yang hilang ketika tambang, sawit dan industri kehutanan masuk, tetapi hilangnya identitas, budaya, peradaban masyarakat lokal dan pengetahuannya.
Menekankan kembali amanat UUPA, Reforma Agraria dan kebijakan politik agraria yang berpihak pada golongan masyarakat lema di pedesaan menjadi penting dalam menghadang semakin masifnya penghancuran desa dan sumber-sumber penghidupannya serta menghalau berkembang pesatnya kemiskinan struktural di pedesaan.
Namun dalam mendudukkan kembali gagasan Sajogyo dalam kebijakan politik agraria Indonesia perlu membutuhkan tenaga dan daya yang besar: berhadapan dengan satu proses ekspansi capital yang bekerja dengan cara-cara baru dan canggih (reorganisasi ruang kapital global), melihat ulang batas maksimum dan minimum penguasaan tanah, alternative pertanian seperti apa yang berpihak kepada petani gurem dan buruh tani sebagai jawaban lain dari pertanian korporat, melihat ulang dan meletakkan petani sebagai subjek pembangunan pedesaan yang mandiri dan berdaulat, mengembalikan reforma agraria sebagai fondasi pembangunan bangsa, pengembangan keilmuan transdispliner yang berpihak kepada golongan paling lemah, hingga pengembangan strategi kultural dan kebudayaan dalam pembangunan peradaban desa berbasis kesadaran sebagai negara tropis.
Unduh Bahan Materi: