Penulis: Fathur (Pegiat Sajogyo Institute)*
“…Katanya menyerap banyak tenaga kerja lokal, faktanya, untuk Desa Menganti, Lingkungan V, hanya ada dua orang yang kerja di PLTU, padahal yang melamar banyak. Di dusun lain juga jumlahnya tidak jauh berbeda, bahkan di RT 6 yang berbatasan dengan PLTU, cuma satu orang saja yang bisa kerja di PLTU.” – YN, Warga Desa Menganti, Kecamatan Kesugihan Kabupaten Cilacap.
Kalimat di atas adalah ungkapan kecewa dari salah satu warga desa Menganti, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap. Kekecewaannya muncul saat ia mengingat-ingat cerita yang beredar di kampungnya sekira duabelas tahun silam. Ketika pemerintah kabupaten Cilacap sedang getol melakukan pembebasan lahan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di kampungnya. Di pesisir selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Cerita PLTU akan mendatangkan kesejahteraan penduduk desa ternyata hanya cerita pemanis dari bujuk rayu pemerintah untuk menggusur warga dari tanahnya. Alih-alih mengatasi pengangguran dan kemiskinan, faktanya warga yang bekerja sebagai petani dan nelayan malah kehilangan pekerjaan di sana-sini karena ruang hidupnya digusur dan dirusak. Akibatnya ekonomi warga makin tersungkur perkerjaan pun kabur.
Fakta yang sama juga terjadi di dusun Winong. Salah satu dusun di Desa Slarang tempat dibangunnya PLTU. Dari 800 lebih penduduk di dusun tersebut, tak lebih dari hitungan jari, warga sekitar PLTU yang dipekerjakan.
PLTU Cilacap dibangun di lahan yang berada di tiga desa. Desa Menganti, Slarang dan Karangkandri. Dari tiga desa tersebut, warga desa Karangkandri yang paling banyak bekerja di PLTU. Jumlahnya ratusan orang. Rata-rata hanya bekerja di perusahaan subkontraktor atau vendor dari perusahaan pengelola utama PLTU Cilacap, PT Sumber Segara Primadaya (PT S2P). Dengan status kontrak dan outsourcing yang bisa dipecat kapan saja. Terlebih kondisi kerjanya, sudah tentu bekerja di PLTU bukan lah tempat kerja yang aman. Resiko kesehatan dan kecelakaan kerja pun jadi taruhan.
Lebih jauh, berapapun penduduk yang bekerja di PLTU, tak akan pernah sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktivitas PLTU.
Tulisan ini akan mendiskusikan tiga hal. Pertama, bagaimana PLTU Cilacap menggunakan narasi penciptaan lapangan kerja sebagai alasan untuk pembebasan lahan? Kedua, perubahan apa saja yang terjadi di desa-desa sekitar lokasi PLTU setelah beroperasinya PLTU? dan ketiga, bagaimana dinamika perburuhan di PLTU Cilacap, mulai dari perekrutan, kondisi kerja di PLTU hingga kebebasan berserikat?
PLTU Cilacap dan Cerita Pembongkaran Jawa Selatan
PLTU Cilacap dibangun dan dikelola oleh PT Sumber Segara Primadaya. Perusahaan patungan antara PT Sumber Sakti Prima dengan anak perusahaan PLN, PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB). Komposisi kepemilikan sahamnya, 51 persen dimiliki oleh PT Sumber Sakti Prima dan 49 persen sisanya dimiliki PT PJB. Setelah berhasil membangun pembangkit listrik berkapasitas 2 x 300 MW pada 2006 di Desa Karangkandri, PT Sumber Segara Primadaya melakukan ekspansi dengan membangun dua PLTU anyar di lokasi yang berdekatan. Kebutuhan lahan pembangkit ini mencapai 120 hektar, yang terdiri 67 hektar tanah yang diklaim milik TNI AD, 20 hektar milik Pemerintah Daerah, sisanya milik warga di tiga desa. Desa Karangkandri, Menganti dan Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Proyek ekspansi pertama selesai pada September 2019, dengan kapasitas PLTU sebesar 2 x 660 MW. Menyusul setahun kemudian, PLTU berkapasitas 1×1000 MW dan mulai diujicoba. Pengadaan mesin, pemasangan hingga pembangunan konstruksi kedua proyek tersebut dikerjakan perusahaan asal Tiongkok, China National Engineering Co.Ltd.
Dari sisi pembiayaan investasi, 80% didanai dari pinjaman luar negeri yaitu dari China Development Bank dan Bank of China, sebesar US$ 1 miliar. Dan dari dalam negeri dari PT BRI dengan kredit investasi US$ 300 juta pada 2016.
Pembangunan PLTU Cilacap berkaitan dengan perluasan kawasan industri, baik di Cilacap mapun wilayah sekitarnya, di Jawa Tengah bagian selatan. Diantaranya adalah: Kawasan Peruntukan Investasi (KPI) Karangkandri yang memiliki luasan 125 ha dan akan diperluas menjadi 500 ha; perluasan KPI Bunton yang semula 450 ha menjadi 550 ha; KPI Cilacap seluas 550 ha. Sementara Kawasan Industri Cilacap (KIC) yang sudah ada telah habis terjual. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cilacap pun berupaya menambah KPI baru. KPI Bengawan Donan di Kutawaru sekitar 4.000 ha, KPI Bulupayung seluas 1,625 ha, dan KPI Cilacap Timur seluas 1.810 ha yang sebagian besar untuk industri perikanan terpadu.[1]
Semua kawasan industri Cilacap tersebut di atas dilegitimasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13/2017 tentang Perubahan atas PP No. 26/2008 tentang RTRW yang menetapkan Perkotaan Cilacap sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Alasan pun dicari-cari dengan membuat argumen bahwa Cilacap sebagai salah satu tulang punggung energi nasional, yang menyuplai kebutuhan BBM dan listrik untuk Indonesia, terutama di pulau Jawa.
Selain KPI, Cilacap juga memiliki Proyek Strategis Nasional (PSN) yang bersifat vital karena memiliki kilang minyak yang kemudian menjadi Refinery Development Master Plan (RDMP) dan lima PLTU. Upaya untuk menarik investasi ini membuat Cilacap mulai ramai didatangi investor. Pada 2019, Sejumlah perusahaan telah menandatangani Letter of Intent (LOI) untuk menanamkan investasi di Cilacap dengan nilai investasi mencapai Rp17,7 tiriliun. Investasi terbesar adalah industri pengolahan logam yang akan ditempatkan di kawasan Industri Cilacap Timur[2].
Dapat dipastikan, energi listrik yang dihasilkan oleh PLTU Cilacap utamanya bukan untuk menerangi perkampungan rakyat, melainkan untuk mensuplai listrik kawasan industri yang sedang dan akan dibangun di wilayah Selatan Jawa Tengah.
Tanah Digusur, Ekonomi Warga Hancur Lebur
Berdasarkan tuturan dari beberapa warga, lahan tempat dibangunnya PLTU merupakan tanah milik dengan bukti sertifikat maupun SPPT-PBB (Surat Perintah Pajak Terutang-Pajak Bumi dan Bangunan), tanah yang diklaim milik TNI-AD dan tanah pengairan yang berada di bantaran sungai, selatan pemukiman dusun Winong. Secara hukum, tanah perairan tersebut tanah negara yang dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai Kabupaten Cilacap. Sebelum berdiri PLTU, tanah-tanah tersebut dimanfaatkan warga sebagai areal pertanian, penggembalaan ternak, tempat menebar jala bagi nelayan darat dan tambatan kapal.
Pada 2003, sebelum proyek PLTU dimulai, beberapa tokoh desa Karangkandri dipanggil oleh tim dari pemerintah daerah (Pemda) untuk dimintai persetujuan terkait proyek besar di lingkungannya, dalam rangka pembuatan AMDAL. Mereka menjanjikan lapangan kerja dan menebar cerita ketiadaan dampak lingkungan. Detail rencana proyek besar itupun tidak dijelaskan. Sementara warga lain, tidak sama sekali diberitahukan. Informasi yang diberikan hanya sebatas bahwa lahan yang dimiliki warga dibutuhkan oleh negara dan harus dibebaskan untuk kepentingan publik.
Pembangunan konstruksi pertama PLTU dimulai di lahan yang diklaim sebagai lahan milik TNI AD. tentu saja negosiasi pembebasan lahannya pun gampang, karena lahannya jarang dimanfaatkan. Berbeda dengan warga yang memanfaatkan lahan itu untuk penghidupan mereka. Segera, setelah lahan milik TNI AD selesai dibebaskan, pembangunan pun dimulai. Pertama-tama dengan menimbun dan meratakan lahan. Akibatnya, petani tidak dapat menanam di lahan tersebut.
Sosialisasi baru dilakukan setelah warga yang tanamannya tergusur mempertanyakan kepada pihak pemerintah daerah. Kemudian warga baru mengetahui bahwa pembebasan lahan masif tersebut untuk membangun PLTU. Dalam sosialisasinya narasi tentang penciptaan lapangan kerja bagi warga desa menjadi iming-iming sekaligus doktrin tentang kerja upahan.
Hal yang sama berulang pada 2006, pasca PLTU Karangkandri 1 diresmikan pembebasan lahan untuk PLTU Karangkandri 2 dan 3 di mulai tanpa sosialisasi kepada warga. Parahnya, pihak PLTU mengelabuhi persetujuan warga dengan mengambil tandatangan warga ketika pengajuan pembangunan lapangan bola kepada pihak PLTU. Sehingga, ketika pembebasan lahan berlangsung, pihak PLTU memiliki surat persetujuan yang seolah sudah disetujui warga dan seluruh lahan pertanian warga tergusur.
Bagi warga yang memiliki bukti kepemilikan lahan diberikan uang penggantian sebesar 1,6 juta per 14 m2. Sementara petani yang menggarap lahan TNI AD hanya mendapat uang tali asih sebesar 300 ribu per 0,175 hektar. Lebih parah di Dusun Kuwasen, Desa Karangkandri, lahan mereka ditimbun sebelum andanya kesepakatan ganti rugi. Menurut salah satu warga, besaran ganti rugi pembebasan lahan berbeda-beda, makin dekat dengan proses pembangunan PLTU, harganya makin tinggi.
Periode 2006 hingga 2009 adalah periode pembebasaan lahan secara massif kedua (setelah pembebasan lahan pada tahun 2003) untuk perluasan/ekspansi PLTU Cilacap. Kebanyakan petani terpaksa menjual tanahnya karena terkena dampak dari pembangunan PLTU 1. Lahan makin sulit ditanami karena air laut masuk ke sawah petani. Debu dari beroperasinya PLTU pun turut menghambat perkembangan tanaman. Hal tersebut membuat banyak petani yang mengalami gagal panen dan terpaksa menjual lahannya ke PLTU.
Sejak 2014, wilayah PLTU mulai dipagari dengan beton. Praktis para petani yang belum melepas tanahnya di areal PLTU sudah tidak dapat mengakses tanahnya. Tahun tersebut menjadi tahun terakhir panen atas tanaman apapun yang biasa ditanam petani. Sama sialnya dengan warga yang bekerja sebagai nelayan. Ketika proyek ekspansi PLTU dimulai, penghasilan mereka mulai menurun drastis. Wilayah tangkapan mereka menjadi terbatas karena diapit muara dan PLTU.
Keberadaan PLTU bukan saja menghilangkan warga dari pekerjaan sebelumnya, tetapi juga berdampak pada berkurangnya garis pantai lebih cepat. Abrasi ini mulai terasa hebat pada medio 2011-2014. Pihak perusahaan baru mulai membangun pemecah obak di dusun Winong pada 2019. Itu pun karena lahan yang telah mereka kuasai mulai terendam air laut, bukan karena rumah warga mulai terkena air laut. Beberapa warga menceritakan air laut nyaris masuk lewat pintu belakang rumah mereka. Ketakutan rumahnya akan tenggelam mendorong warga Winong menjual tanahnya ke PLTU dan pindah ke tempat lain.
Pada 2015, warga yang tak bisa menanam di areal pertanian yang kini dibangun PLTU atau nelayan yang mulai krisis tangkapan mulai mencari alternatif ekonomi. Yaitu dengan penambangan pasir di muara sungai Serayu. Kapal nelayan mendadak berubah menjadi kapal pengangkut pasir. Pasca pembebasan lahan dan dimulainya pembangunan PLTU ekonomi warga di desa-desa sekitar PLTU menyisakan penambangan pasir. Mayoritas warga bergantung pada pekerjaan menambang dan mengangkut pasir.
Alternatif lain selain bekerja di penambangan pasir secara diam-diam memanjat tembok pagar PLTU untuk memungut barang bekas seperti besi, seng, plastic dan lain-lain. Beberapa nelayan pun secara diam-diam memasang perangkap di pinggiran benteng laut untuk mendapatkan ikan. Mereka terpaksa melakukan pekerjaan tersebut untuk makan. Meskipun mereka dilarang untuk memasuki area PLTU dan tentu saja akan berhadapan dengan petugas keamanan PLTU. Apalagi status PLTU merupakan Objek Vital Nasional yang melarang masuk atau memanfaatkan hal yang berkaitan dengan aset PLTU tanpa izin.
Warga yang mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan juga tak berarti bisa membeli lahan baru. Sebagian besar malah memilih bekerja menjadi di luar daerah. Karena kehidupan buruh dimanapun sama sialnya, yaitu upah murah tak bisa mencukupi kebutuhan, mereka pun menggunakan uang ganti rugi lahan untuk kebutuhan harian yang setiap harinya pasti berkurang dan akan habis.
Bagaimana Janji PLTU akan mendatangkan Lapangan Pekerjaan?
Janji pemerintah akan mempekerjakan warga terdampak PLTU hanyalah janji. Setelah ekonomi warga hancur lebur, pilihan untuk bekerja di PLTU pun tak semudah dan sebaik yang dijanjikan. MW, salah satu pemuda Desa Karangkandri menceritakan bagaimana sengkarut proses rekrutmen tenaga kerja dan perebutan pekerjaan proyek ketika pembangunan dan saat PLTU mulai beroperasi:
“Perekrutan tenaga kerja masih kebanyakan dari luar ring…. Banyak orang luar ring yang masuk karena titipan orang dalam…… Seperti titipan orang Pemda dan lain-lain. Ini baru perekrutan pekerja yang sifatnya temporer, belum pekerja kontrak. … Itu yang banyak dikeluhkan warga khususnya yang masih mengaggur.”
MW, Pemuda Desa Karangkandri
Para warga mengeluhkan sulitnya masuk kerja karena banyak praktik nepotisme dan percaloan tenaga kerja di PLTU. Baik di perusahaan rekanan atau vendor maupun di perusahaan utamanya. Mayoritas penyedia tenaga kerja adalah di perusahaan vendor. Untuk menyiasati praktik nepotisme dan percaloan perusahaan vendor mendirikan kantor yang jauh dari desa Karangkandri agar menghindari warga setempat yang memburu kerja. Beberapa warga pernah mendatangi kantor tersebut dan menemukan ada banyak pekerja dari luar daerah. Setelah melakukan protes, barulah setiap desa sekitar PLTU diberikan jatah untuk memasukkan pekerja melalui berbagai wadah dalam kelompok kerja (pokja) untuk perekrutan dari warga sekitar PLTU.
Jenis pekerjaan yang ditawarkan kebanyakan pekerjaan kasar seperti cleaning service, pengerjaan drainase, pasang fondasi, penyiraman batubara, dan pekerjaan yang kasar lainnya.
Di Desa Karangkandri, penyalur tenaga kerja adalah aparat desa. Pendukung kepala desa selalu mendapatkan jatah untuk menjadi penyalur tenaga kerja, utamanya di bagian jasa kebersihan dan perawatan mesin di beberapa unit. Orang-orang yang menjadi penyalur tenaga kerja tersebut biasanya juga tampil sebagai ‘partner’ PLTU yang melindungi PLTU dari gerakan protes warga. Perusahaan-perusahaan subkontraktor lokal pada umumnya merupakan pendukung kepala desa.
Praktik percaloan tenaga kerja terjadi setelah setiap desa mendapatkan jatah untuk mensuplai tenaga kerja. Besaran uang yang dibayarkan tergantung pada jenis pekerjaannya. Menurut salah seorang warga, besarannya berkisar antara Rp 2 juta hingga Rp 8 juta. Karena sarat dengan permainan uang, kasus korupsi pun terjadi pada proses prekrutan. Salah ketua pokja membawa kabur uang sebesar Rp 950 juta yang dipungut dari para pencari kerja.
Bukan hanya penyaluran tenaga kerja yang penuh kasus. Tender-tender pekerjaan dalam PLTU juga kadang harus diperebutkan oleh sesama warga atau organisasi lokal, semacam OKP (Organisasi Kepemudaan). Sebelum PLTU beroperasi, OKP tersebut tidak aktif. OKP ini selain sebagai agen perekrutan juga digunakan untuk mengawal PLTU dari gerakan protes, sebagai imbalan jasanya mereka diberikan proyek pekerjaan di PLTU. Karena kebutuhan tersebut, OKP yang sebelumnya mati suri kemudian kembali akif dan melakukan reorganisasi. Mereka banyak terlibat dalam perekrutan di Kecamatan Kesugihan. Mereka juga memiliki perusahaan untuk menangani alat berat. Pada 2021, Perusahaan milik salah satu OKP mendapatkan tender di PLTU melalui rekanan S2P yang mensubkontrakkan pekerjaan ke PT Adikarya untuk menyetak boulder. PT Adikarya kemudian mensubkontrakkan lagi pekerjaan tersebut kepada PT milik salah satu OKP tersebut.
Ada banyak perusahaan subkontraktor atau vendor di PLTU Cilacap. Salah satu warga mengatakan ada sekitar 150 perusahaan vendor di PLTU Cilacap. Biasanya, untuk memenangkan tender mereka harus adu kekuatan dan backing-an. Beberapa OKP memiliki paguyuban sila. Konflik perebutan tender pekerjaan pun sempat meledak.
Situasi ini yang kemudian mempengaruhi bagaimana rekrutmen tenaga kerja di PLTU lebih banyak diisi oleh orang luar desa. Selain mudah dikontrol karena statusnya sebagai pendatang juga untuk kepentingan bisnis perekrutan. Sementara kesempatan warga setempat untuk bekerja di PLTU ditentukan oleh kaki-tangan dan para pendukung kepala desa. Hal ini yang kemudian menjadi faktor mengapa penduduk sekitar PLTU masih banyak yang tidak dipekerjakan di PLTU. Namun apapun itu, yang diuntungkan dari pola perekrutan semacam ini adalah perusahaan PLTU. Dengan menggunakan kekuatan-kekuatan lokal perusahaan mendapatkan dua hal. Buruh murah sekaligus patuh yang dikontrol secara langsung oleh agen-agen perekrutan yang merupakan orang kuat lokal.
Kondisi Kerja Buruh di PLTU Cilacap
Terlepas dari kekacauan masalah rekruitmen tenaga kerja, warga yang akhirnya terserap masuk bekerja di dalam PLTU harus menerima kenyataan kondisi kerja yang buruk. Seorang anggota serikat buruh yang bekerja di PLTU Cilacap, memberikan gambaran awal tentang situasi yang dirasakan atau selama bekerja di PLTU. Menurutnya, sebelum ada Omnibus Law Cipta kerja, praktik omnibus law telah diterapkan oleh PLTU. Sebagai misal, kontrak berkepanjangan hingga 10 tahun, mudah memecat dan penempatan buruh outsourcing yang tidak memperhatikan jenis dan sifat pekerjaannya. Dari sisi pelanggaran ketenagakerjaan lainnya pun banyak terjadi, seperti ketiadaan kontrak kerja, slip gaji dan BPJS Ketenagakerjaan dan lain sebagainya.
Upah buruh di PLTU beragam, tergantung dari perusahaan. Meskipun kategori pekerjaan sama, tetapi jika seorang buruh bekerja di perusahaan yang berbeda, maka mereka akan menerima gaji yang berbeda. Beberapa dari perusahaan membayarkan gaji sesuai UMK Cilacap, beberapa membayarkan lebih rendah dari UMK dengan alasan Pandemi. Dalam beberapa kasus, ada perusahaan yang memotong atau menyicil upah pada saat pandemi. Sisa kekurangan upah hanya diberikan oleh perusahaan setelah buruh atau serikat buruh melakukan aksi protes. Beberapa pekerja meyakini bahwa upah mereka sebenarnya lebih tinggi dari yang mereka dapatkan sekarang. Hanya saja upah mereka menjadi lebih rendah karena ada pemotongan gaji dari perusahaan subkontraktor. Banyaknya perusahaan subkontraktor kadangkala membuat buruh dan serikat buruh kesulitan untuk menuntut hak-haknya. Seorang buruh menyoroti beberapa perusahaan outsourcing yang berlaku curang terkait upah:
“Ada juga perusahaan outsourcing yang nakal. Gaji pekerjanya tidak diberikan selama 5 bulan. Pekerja kemudian protes ke perusahaan induk. Mereka bilang, bahwa gaji sudah dibayarkan ke perusahaan outsourcing per tiga bulan. Buruh diminta untuk menuntut langsung saja ke perusahaan tersebut. Ada juga perusahaan maintenance. Misalnya kalau telat gaji 2 bulan, bayarnya cuma 1 bulan, yang 1 bulan lagi menggantung. Kalau mereka protes, atau mogok, maka perusahaan outosurcing akan melakukan PHK. Ada juga perusahaan cleaning service, ada juga yang kerja 50 hari tapi dihitung gaji satu bulan”.
DN, Buruh PLTU Cilacap.
Buruh juga mengeluhkan persoalan diskriminasi upah antara buruh Indonesia dengan buruh asal Cina. Pekerja asal Cina, misalnya, digaji 16 ribu yuan atau sekitar 32 juta per bulan. Sementara buruh lokal hanya upahnya hanya sekitar 3 juta. Pada hari raya atau hari-hari tertentu, semua buruh China biasanya mendapatkan bonus dalam bentuk US Dollar. Menurut penuturan pekerja, suatu kali, para buruh China mendapatkan sebanyak 800 US Dollar atau sekitar Rp11,2 juta, sementara para buruh lokal hanya mendapatkan bonus sebesar Rp.1 juta. Sejauh ini pekerja lokal tidak ada yang protes soal ketimpangan upah tersebut karena ditutupi dengan upah dari jam kerja lembur, meskipun mereka harus bekerja lebih lama yang penuh resiko atas kesehatan dan keselamatannya.
Selain masalah upah, para buruh juga menyoroti soal tunjangan makan. Beberapa unit kerja mendapatkan tunjangan makan siang, sementara beberapa unit yang lain tidak. Setelah buruh memprotes, barulah perusahaan berupaya untuk memberikan tunjangan makan. Kasus yang lain berkaitan dengan ketentuan lembur dan upah lembur. Melalui perjuangan serikat buruh, tuntutan para buruh untuk mendapatkan uang lembur yang sesuai ketentuan akhirnya dipenuhi. Seorang buruh menuturkan soal hal ini:
“Serikat pernah memperjuangkan soal kerja di tanggal merah agar dihitung lembur. Kan tanggal merah itu tetap ada yang kerja. Itu yang jadwalnya shift. Kalau yang kerja harian mereka libur. Kalau lembur itu dihitung 2x lipat dari gaji yang biasa. Kalau 12 jam malah 4x lipat. Misalnya, 7 jam pertama dikali dua, 4 jam dikali empat. Perjuangan lembur itu berhasil. Yang dapat tidak cuma PT yang ada serikatnya, tapi semua”.
WH, Buruh PLTU Cilacap
Cerita soal larangan berserikat, juga pernah terjadi di perusahaan yang mempekerjakan cleaning service. Para mandor mengancam akan melakukan PHK pada buruh yang terlibat dalam serikat buruh. Serikat kemudian mengadvokasi kasus ini dan berhasil.
Selain kasus larangan berserikat, buruh juga menyoroti soal kasus cuti hamil. Seorang buruh menuturkan:
“Pernah ada yang hamil terus tetap kerja, shift malam lagi. Anaknya meninggal dan keguguran. Tidak tahu, apakah itu faktor kerja atau bukan. Kalau di perusahaanku bisa izin tidak masuk kerja. Tapi, kalau izin tidak dibayarkan gajinya. Yang dibayarkan itu kalau sakit dan ada surat dokter. Kalau tidak ada surat dokter, tidak dibayar”
WH, Buruh di PLTU Cilacap
Cerita-cerita di atas merupakan gambaran awal yang menggambarkan kondisi perburuhan di dalam PLTU Cilacap. Cerita situasi kerja tersebut didapatkan dari buruh PLTU yang bukan merupakan warga dari tiga desa yang terdekat dari PLTU. Cukup sulit mendapatkan keterangan secara lengkap terkait PLTU dari buruh yang juga merupakan orang lokal. Kemungkinan besar, mereka berhati-hati. Takut apabila kehilangan pekerjaan yang sudah susah payah mereka dapatkan.[]
Catatan Akhir:
[1] Retrieved from https://cilacapkab.go.id/v3/begini-prospek-pengembangan-kawasan-industri-di-cilacap/
[2] Retrieved from https://www.gatra.com/detail/news/466218/ekonomi/pemkab-cilacap-terus-kembangkan-kawasan-industri
===========
*Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Kajian di tapak maya Majalah Sedane, 1 Juli 2022.