Tidak Ada Keadilan dalam Ruang Pengadilan: Masyarakat Adat Marafenfen Aru tidak akan Lelah Mencari Keadilan!

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Setelah tanah ulayatnya diambilalih dengan cara-cara manipulatif melalui pemalsuan dokumen musyawarah pelepasan dan ganti rugi hak atas tanah (cacat administrasi), tepat pada hari ini, 17 November 2021 perjuangan konstitusional masyarakat adat Marafenfen lewat gugatan di Pengadilan Negeri Dobo, Kepulauan Aru (Maluku) pun dikalahkan oleh hukum. Keadilan yang sejatinya untuk masyarakat adat justru dibunuh oleh argumentasi hukum Majelis Hakim yang hanya mengejar kebenaran formal semata (kepastian hukum). Hakim tidak berupaya menggali kebenaran yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat marafenfen (Living law). Keadilan seharusnya digali sedalam-dalamnya melalui signifikansi sosial-budaya masyarakat adat. Namun nyatanya majelis hakim lebih memilih menggali kebenaran formal, yakni kebenaran yang hanya bersumber pada dokumen-dokumen formal yang dijadikan alat utama untuk menilai perkara.

Pertama, dalam konteks perampasan tanah ulayat masyarakat adat Marafenfen, hakim jelas sekali tidak mengakui keabsahan bukti-bukti penguasaan hak atas sumber-sumber agraria dari masyarakat adat, misalnya hakim menyatakan bahwa penggugat (masyarakat adat) tidak bisa menyertakan bukti kepemilikan hak atas tanah permulaan berupa surat pembayaran pajak seperti girik sebagaimana dalam konteks masyarakat Jawa. Parahnya hakim juga menilai semua hasil musyawarah majelis adat Ursia-Urlima sebagai bentuk dukungan penguatan hak ulayat yang sah masyarakat adat Marafenfen tidak dianggap sebagai pranata hukum adat yang mengatur eksistensi masyarakat adat Marafenfen. Hakim dalam hal ini jelas bernalar dengan hukum yang dijiwai oleh kebutaan aspek antropologis masyarakat adat.

Kedua, nalar formalis hakim jelas sekali tidak mengindahkan fakta-fakta historis yang mendasari kasus perampasan tanah ini terjadi. Konteks historis ini diawali oleh pengadaan tanah yang objeknya adalah tanah ulayat masyarakat adat Marafenfen tahun 1991-1992. Proses-proses manipulasi musyawarah pelepasan dan ganti rugi hak atas tanah (cacat administrasi), hilangnya hak ekosob-nya serta kekerasan dan intimidasi yang dialami masyarakat adat berpuluh tahun lamanya tidak dipertimbangkan sebagai alasan-alasan konstitusional yang seharunya jadi landasan hakim memutus perkara. Hakim justru hanya berlindung dibalik nalar formalitas yakni menyatakan proses-proses tersebut tetap diakui keabsahannya selama sertifikat hak pakai (SHP) atas nama TNI AL tidak digugat ke PTUN dan dinyatakan batal demi hukum.

Ketiga, poin pertama dan kedua menjadi argumentasi hukum majelis hakim yang memukul hati nurani masyarakat adat dan semakin memperjelas praktik kuasa peradilan yang masih jauh dari penegakan hukum berperspektif antropologis. Padahal pada dasarnya UUD 1945 sebenarnya dapat dibaca sebagai dokumen konstitusi antropologis yang hidup guna menjadi penerang penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus perampasan hak ulayat masyarakat adat. Hal ini pula semakin memperjelas pentingnya segera RUU Masyarakat Adat disahkan agar menjadi perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan sumberdaya alamnya.

Terhadap hal tersebut kami seluruh elemen masyarakat sipil menyayangkan kebutaan antropologis hakim dalam memutus perkara perampasan tanah masyarakat adat Marafenfen. Kami menganggap putusan Hakim tersebut tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia masyarakat adat yang sebenarnya sangat jelas diatur dalam UUD 1945, Putusan MK 35 dan instrument hukum internasional. Selain itu kami menilai hakim melalui putusannya juga menambah panjang konflik agraria yang selama ini masih banyak terjadi dan berlangsung hingga kini.

Narahubung: 0813-8431-1471

***

Press Release dapat diunduh di sini.

 

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 1 =

KABAR TERBARU!