Penulis: Mohamad Shohibuddin
ABSTRAK
Dua masalah berikut ini sering dihadapi oleh pemerintah desa: (1) keberadaan lahan-lahan tidur milik perorangan di wilayah desa; dan (2) penguasaan lahan pertanian skala kecil dan gurem (kurang dari 2 ha) yang secara skala keekonomian tidak optimal untuk diusahakan. Di tengah rendahnya kemauan politik negara untuk menjawab dua masalah agraria tersebut, agenda “pembaruan tenurial skala desa” menjadi penting untuk dijalankan. Dalam kaitan ini, wakaf berjangka merupakan solusi menjanjikan yang dapat digunakan oleh pemerintah desa untuk menjalankan agenda ini.
Kata kunci: pendayagunaan lahan tidur, konsolidasi lahan skala kecil dan gurem, wakaf berjangka, pembaruan tenurial, pembaruan desa
Wakaf Berjangka
Banyak orang belum mengetahui bahwa konsep wakaf juga mengenal bentuk “wakaf berjangka”, yaitu pewakafan harta benda yang dibatasi selama periode waktu tertentu saja. Inilah yang disebut dengan waqf muaqqat. Bentuk lain yang lebih dikenal luas adalah pewakafan harta benda untuk waktu yang tidak terbatas (atau selama-lamanya), yakni apa yang disebut dengan waqf muabbad (wakaf abadi).
Meskipun wakaf dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, namun periodenya haruslah cukup panjang sehingga memungkinkan pendayagunaan harta benda wakaf secara produktif dan berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan hakikat wakaf itu sendiri yang pada dasarnya berkenaan dengan:
“… harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah” … untuk dapat “… dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah” (Pasal 1 butir 5 dan 1, UU No. 41/2004 tentang Wakaf).
Ditempatkan dalam kerangka “wakaf agraria” (Shohibuddin 2019), yaitu pelaksanaan wakaf untuk penanganan berbagai masalah agraria, bentuk pewakafan berjangka ini sangat relevan untuk diterapkan pada dua konteks sebagai berikut: (1) keberadaan lahan-lahan tidur milik perorangan di wilayah desa; dan (2) penguasaan lahan pertanian skala kecil dan gurem (kurang dari 2 ha) yang secara skala keekonomian tidak optimal untuk diusahakan.
Di tengah rendahnya kemauan politik negara untuk menjawab dua masalah agraria tersebut, “pembaruan tenurial skala desa” menjadi penting untuk dijalankan oleh pemerintah desa. Wakaf berjangka dapat menjadi skema wakaf yang sangat mendukung untuk menjalankan agenda ini.
Penanganan Lahan Tidur
Dari sisi regulasi, sebenarnya sudah ada peraturan pemerintah yang mengatur masalah lahan tidur ini, yaitu PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Namun, regulasi ini “mandul” ketika dihadapkan pada keberadaan lahan tidur di wilayah desa yang dimiliki perorangan dan biasanya sekaligus juga merupakan tanah guntai (absentee). Sebab, regulasi tersebut secara eksplisit justru mengecualikan tanah terlantar milik perorangan ini dari tindakan hukum penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
Untuk mengatasi kebuntuan hukum ini, wakaf berjangka dapat menjadi solusi alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah desa. Caranya: pemerintah desa dapat melakukan pendekatan kepada para pemilik lahan tidur dengan menggunakan argumen keagamaan agar yang bersangkutan bersedia mewakafkan tanahnya dalam jangka waktu tertentu (syukur-syukur jika selamanya) supaya bisa didayagunakan untuk pemberdayaan masyarakat miskin di desa.
Dengan pendekatan personal dan melalui dorongan keagamaan semacam ini, maka diharapkan para pemilik lahan tidur tersebut akan tergerak hatinya untuk bersedia mewakafkan tanahnya. Pewakafan ini bisa dilakukannya untuk jangka panjang tertentu, misalnya saja 15 tahun. Jika ini dilakukan, maka dampak pembaruannya adalah voluntary tenancy reform. Bahkan, pemilik lahan tidur tersebut bisa saja mewakafkan lahan tidurnya itu untuk selama-lamanya. Jika hal terakhir ini yang terjadi, maka dampak pembaruannya adalah voluntary land reform.
Dengan pewakafan lahan tidur untuk periode yang cukup lama (bahkan bisa saja untuk selama-lamanya), maka akan terwujud “sumber daya bersama” (the commons) yang cukup luas di bawah pengelolaan desa yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya dalam jangka panjang. Tanah wakaf itu bisa saja digunakan sebagai mekanisme jaminan sosial bagi warga miskin desa, misalnya dengan memberikan hak garap kepada petani miskin dan buruh tani (untuk kasus lahan sawah). Atau, bisa juga tanah wakaf tersebut dikelola langsung oleh pemerintah desa (untuk kasus lahan perkebunan), lantas hasilnya digunakan sebagai dana sosial untuk santunan warga miskin, beasiswa pelajar dari keluarga tidak mampu, dan sebagainya. Atau, dalam kedua kasus tersebut, tanah wakaf juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan regenerasi petani melalui program pembinaan petani muda.
Mengingat tanah tersebut adalah tanah wakaf, maka pembiayaannya dapat diperoleh dengan menggalang aksi wakaf atas harta benda lainnya. Sebagai misal, memanfaatkan wakaf tunai yang dapat digunakan sebagai modal usaha melalui skema kerja sama syariah. Atau, menggalang wakaf harta benda bergerak seperti traktor, mesin pengolahan pasca panen, dan sebagainya untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan nilai tambah hasil panen.
Selain itu, untuk pembiayaan juga bisa digalang dana zakat, infak dan sedekah melalui kerja sama dengan berbagai badan amil seperti Dompet Dhuafa, Lazisnu, Lazismu, dan lain-lain. Tentu saja, dana desa sendiri atau program pemerintah pusat dan daerah juga bisa menjadi sumber pembiayaan. Akhirnya, bantuan pihak-pihak lain yang halal dan tidak mengikat (asalkan bukan dari korporasi jahat dan perusak lingkungan) juga bisa ditangkap untuk kemudian diarahkan ke tanah wakaf tersebut.
Konsolidasi Lahan Skala Kecil dan Gurem
Skema wakaf berjangka seperti di atas juga sangat relevan untuk dimanfaatkan pemerintah desa dalam rangka menangani masalah kedua, yaitu semakin banyaknya lahan kecil dan gurem (yakni, di bawah 2 ha) yang ada di desa karena terus berlangsungnya proses fragmentasi penguasaan lahan. Caranya adalah: pemerintah desa meyakinkan para petani pemilik lahan kecil dan gurem yang tanahnya saling berdekatan dalam satu hamparan untuk bersedia mewakafkan lahan-lahan tersebut selama periode waktu tertentu agar bisa dikonsolidasikan menjadi satu unit usaha bersama yang lebih luas (misal, 5-10 ha). Lalu, pembiayaannya juga bisa diperoleh dari berbagai sumber seperti yang telah diilustrasikan di atas. Dengan cara demikian, maka lahan-lahan itu dapat diusahakan dan dikelola secara lebih efisien dan produktif.
Penentuan jangka waktu pewakafan ini, tentu saja, tergantung kepada kesepakatan para petani pemilik lahan kecil dan gurem itu sendiri. Untuk meyakinkan mereka, pemerintah desa bisa menawarkan pewakafan berjangka selama 5 tahun dulu, misalnya. Jika mereka sudah memperoleh manfaat dari konsolidasi lahan berbasis wakaf ini, dan merasa yakin bahwa skema wakaf ternyata sangat menguntungkan, maka pada tahap berikutnya jangka waktu wakaf bisa ditambah lebih lama lagi, umpamanya menjadi 10 tahun. Atau, bahkan bisa saja diwakafkan untuk selama-lamanya. Dalam kasus terakhir ini, ikrar wakaf harus menyatakan secara tegas bahwa para penerima manfaatnya (mawquf ‘alayh) adalah tetap para pemilik semula lahan tersebut dan para keturunannya.
Penutup
Dua catatan tambahan perlu ditambahkan sebagai ulasan penutup. Pertama, ketika periode pewakafan berjangka telah habis dan tidak dilakukan pewakafan berjangka untuk tahap berikutnya, maka tanah kembali kepada pemiliknya semula. Pada tahap ini, harta benda bergerak (misal, traktor, mesin pengolah pasca-panen dan alsitan lainnya) yang telah diwakafkan tidak lantas jatuh ke para pemilik tanah tersebut. Hal ini karena pewakafan tanah dilakukan secara terpisah dari pewakafan harta benda bergerak yang ditujukan untuk mengoptimalkan pengelolaan tanah tersebut. Dengan demikian, harta benda wakaf yang terakhir ini akan terus dikelola oleh pemerintah desa dan dapat digunakan untuk kepentingan pemberdayaan petani di lokasi dan lahan yang berbeda.
Catatan kedua, perlu ditegaskan bahwa seluruh uraian di atas berdasarkan asumsi bahwa pemerintah desa merupakan pengelola (nazhir) harta benda wakaf dalam rangka menjalankan pembaruan tenurial skala desa. Namun, nazhir dengan peran semacam ini sebenarnya juga dapat dijalankan oleh serikat tani, badan usaha milik petani atau lembaga lain sesuai dengan keputusan yang disepakati di desa dan/atau di antara para petani skala kecil dan gurem. []
Saran Bacaan
- Mengenai gagasan “wakaf agraria”, formulasi utuhnya dapat dipelajari dari buku Mohamad Shohibuddin (2019) Wakaf Agraria: Signifikansi Wakaf bagi Agenda Reforma Agraria. Yogyakarta dan Bogor: Baitul Hikmah, Magnum Pustaka Utama dan Sajogyo Institute.
- Signifikansi wakaf untuk pembaruan tenurial dalam versi yang lebih ringkas bisa dibaca artikel Mohamad Shohibuddin (forthcoming) “Mempertimbangkan Wakaf sebagai Skema Alternatif Pembaruan Tenurial” dalam Mohamad Shohibuddin dan Adi Dzikrullah Bahri (eds) Perjuangan Keadilan Agraria. Buku akan diterbitkan dalam rangka ulang tahun Gunawan Wiradi ke-87 (28 Agustus 2019). Draft artikel ini bisa diunduh melalui tautan berikut: https://bit.ly/2YboXyF.
- Penggunaan skema wakaf berjangka untuk penanganan dua masalah agraria di atas sebenarnya hanyalah sebagian contoh saja dari banyak kemungkinan kontekstualisasi “wakaf agraria” untuk penyelesaian masalah-masalah agraria. Untuk contoh-contoh lain kontekstualisasi “wakaf agraria” ini, silahkan dilihat presentasi Mohamad Shohibuddin (2019) “Korporasi Petani Berbasis Wakaf” yang mengidentifikasi empat model dan delapan skema pelaksanaan wakaf dalam rangka pengembangan korporasi petani. Dalam kaitan ini, pewakafan berjangka atas lahan tidur termasuk ke dalam skema 3.2, sementara pewakafan berjangka untuk konsolidasi lahan kecil dan gurem termasuk ke dalam skema 1.2. Presentasi tersebut bisa diunduh melalui tautan sebagai berikut: https://bit.ly/2Y7L89J.