Oleh: Ganies Oktaviana
Selasa, 29 Maret 2022, saya bangun pagi dengan semangat untuk mengikuti diskusi virtual yang tidak biasanya saya minati. Sebelum tepat pukul 08.00, saya telah siap bergabung ke ruang zoom yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang Indonesia (KADIN Indonesia), Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI), dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (API). Diskusi ini mengenai “Implementasi PP No. 20/2021 Tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar Serta Dampaknya Bagi Pengembang Kawasan Ekonomi”. Saya tekankan, saya bukan pengembang alias developer apalagi pebisnis. Saya Cuma tukang nguping dalam diskusi tersebut.
Setelah meng-klik tautan yang didapat melalui email, saya harus menunggu masuk ruang zoom selama 15 menit lamanya. Terlalu lama menunggu membuat saya berpikir, “ini forumnya jadi diselenggarakan atau hoax aja sih?” Tapi tidak mungkin acara ini hoax, sebab acaranya merupakan diskusi nasional dan untuk para pebisnis dan pengembang. Daripada bingung, saya akhirnya bertanya langsung kepada salah satu narasumber dalam forum tersebut. Jawab beliau ternyata memang acara belum dimulai. Padahal, saat itu jam sudah hampir menuju 08.30 (di poster acara akan dimulai dari pukul 08.00 – 12.00 WIB). Dalam hati saya bersungut karena menyesal terlalu bersemangat bergabung ke acara yang ngaret-nya menyebabkan saya menunda waktu mandi pagi.
Sepuluh menit kemudian, ruang zoom dibuka dan saya berhasil masuk. Saya kira menunggu selama 25 menit untuk masuk ke ruang zoom itu sudah cukup, ternyata peserta diskusi harus dipaksa menunggu lagi. Kali ini lebih menjengkelkan, sebab para peserta dijejali oleh mars sekaligus company profile Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) yang diputar hingga pukul 09.00 lebih. Bisa dibayangkan berapa kali video tersebut diputar hingga merasuk ke otak para peserta diskusi? Hal yang lebih membagongkan adalah ketika saya mengecek daftar peserta, jumlahnya hingga 300 lebih. Seluruh nama peserta terbubuhi label ‘estate’; ‘economic’; ‘investment’; ‘PT.’; ‘Developer’; ‘Power Plant’; ‘Bank’; ‘Industrial’; hingga titel SH., M.Kn. Sungguh, vibe yang tidak biasa bagi saya.
Saya seperti didoktrin dengan mars dan company profile yang diputar entah ke sekian kalinya. Jujur saya sih tidak kuat untuk terus mendengarnya, 15 menit berjalan, saya harus leave room daripada ‘kena mental’. Saya memilih menunggu dan modal bertanya saja kepada kenalan saya terkait dimulainya acara. Sepuluh menit meninggalkan ruang zoom, saya kira sudah cukup lama dan forum mungkin sudah dimulai. Saya me-whatsapp kenalan saya, bertanya apakah acaranya telah dimulai? Belum sempat mendapat jawaban, jari saya sudah gatel untuk klik join dan akhirnya saya masuk kembali ke ruang zoom. Tapi tak lama kemudian saya menyesal. Sebab, video company profile ternyata masih diputar. Ya ampun! Saking kesalnya, saya tinggalkan saja forum diskusi yang belum dimulai itu dengan mengerjakan hal lain yang sebenarnya lebih penting.
Pukul 09.00 lewat acara akhirnya dimulai. Tapi saya tetap lanjut nyambi ngurus kerjaan lainnya. Seperti umumnya acara yang dihadiri orang-orang penting, sambutannya berlapis-lapis. Pertama oleh Sanny Iskandar (WKU Kadin Bidang Agraria, Tata Ruang, Kawasan, Ketum HKI dan Ketua APINDO Bid. Properti & Kawasan Ekonomis) dan sekaligus narasumber. Sambutan kedua oleh Ketua Umum KADIN Indonesia, Arsjad Rasjid. Sambutan ketiga seharusnya dilakukan oleh Menteri ATR/BPN, tapi diwakilkan oleh Dirjen Pengendalian, Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian ATR/BPN, Budi Situmorang yang selanjutnya merangkap menjadi salah satu narasumber acara. Narasumber lainnya adalah Ahmad Doli Kurnia Tandjung (Ketua Komisi II DPR-RI) dan Maria W. Soemardjono (Pakar Hukum Agraria). Acara kemudian dimoderatori Fahmi Shahab dan Hari Ganie.
Selama proses acara berlangsung, dahi saya banyak mengkerut. Sebab, acara diskusi yang diikuti oleh para pebisnis ini sangat bikin sakit kepala. Selain video company profile yang ditampilkan sebelumnya, acara ini semakin bertele-tele dibuka dengan sambutan yang sangat ambisius oleh para pelaku bisnis. Seperti yang disampaikan oleh Arsjad Rasyid:
“…sektor pertanahan adalah salah satu faktor pembangunan yang memerlukan perlakuan lebih serius. Setiap orang atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha atau investasi yang terkait langsung dengan masalah pertanahan memerlukan adanya jaminan kepastian hukum hak atas tanah. Untuk itu diperlukan kerjasama kuat antara pelaku usaha, masyarakat, dan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan kepatuhan hukum pertanahan yang diatur di dalam UUPA 5/1960 dan PP No. 20/2021…Kepastian hukum bagi pengusaha dan investor adalah sarana penting untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, investor juga akan merasa lebih aman dan nyaman berinvestasi apabila ada jaminan kepastian hukum. Kepastian hukum adalah salah satu dari tujuan hukum di samping kemafaatan dan keadilan. Kepastian hukum dimaksudkan agar investasi pemerintah pusat, daerah, dan investor bisa terlindungi dan berjalan secara simultan…”
Para pelaku bisnis seperti Arsjad Rasyid juga yakin sekali dengan investasi mereka, mereka akan mewujudkan apa yang di-gombal-kan “…penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan devisa negara, dan penciptaan kawasan hunian yang laik bagi masyarakat…” atau jamak disebut oleh para investor dan juga pemerintah sebagai ‘efek domino’. Hal ini bagi mereka tentu menjadi peluang besar menuju the so-called ‘Indonesia Emas tahun 2045’ (Kemendikbud, 2017; Oktari, 2021; Adrianto, 2022) atau para ekonom mainstream menyebutnya juga sebagai ‘bonus demografi’[1]. Padahal, kenyataan sesungguhnya tentang ‘bonus demografi’ adalah cadangan tenaga kerja ‘reserve army of labour’[2] (Marx, 2011) yang sengaja diciptakan kapitalis dalam rangka mengantri masuk dalam lingkaran produksi inti kapitalisme. Atau dengan kata lain, sebelum benar-benar menjadi tenaga kerja dalam sistem kapitalisme, para ‘reserve army of labour’ atau penduduk pencipta ‘bonus demografi’ sejatinya adalah pengangguran (Novianto, 2017).
Menjadi Investor Bukan ‘Jalan Ninja’-ku
Sudah saya tekankan sejak awal, saya bukan developer kawasan ekonomi atau pebisnis, saya cuma tukang intip. Beruntung pula setelah saya ikut acara diskusi, mata saya tidak bintitan seperti orang habis lihat yang jorok-jorok. Yang jelas, setelah ikut acara, saya makin yakin bahwa menjadi investor bukanlah ‘jalan ninja-ku’. Mengapa? Pertama, menjadi investor itu ternyata harus tinggi percaya diri dan ber-muka badak. Bagaimana tidak, walaupun sudah ditetapkan sebagai tanah atau kawasan terlantar, pelaku bisnis harus percaya diri kalau lahan tersebut akan tetap mendapat kompensasi jika sudah dijadikan Tanah Cadangan Untuk Negara (TCUN)[3]. Setidaknya, keyakinan itu sempat ditanyakan salah satu pelaku bisnis dalam ruang webinar zoom. Keyakinan dan optimisme yang berlebihan ini seharusnya tidak perlu ditanggapi. Sebab, tidak ada dasar hukumnya pelaku usaha akan mendapatkan kompensasi atas tanah atau kawasan bisnis-nya yang telah jelas ditetapkan sebagai tanah terlantar dan dijadikan TCUN.
Masih senada dengan jenis keyakinan tersebut, pelaku bisnis juga yakin bahwa tanah atau kawasan bisnis mereka yang telah memiliki sertifikat tidak akan dikenai penertiban sekalipun betul diterlantarkan. Padahal, “…dasar hukum penertiban tanah dan kawasan terlantar adalah evidence-based, bukan sekadar kepemilikan sertifikat saja. Sehingga, sekalipun sudah punya sertifikat, tapi melanggar kewajiban ya harus ditertibkan”, jelas Maria W. Soemardjono. Apabila sebuah tanah dengan izin usaha sudah masuk dalam daftar tanah terindikasi terlantar, selanjutnya akan masuk dalam proses evaluasi. Proses evaluasi harus dilakukan oleh tim khusus dari instansi pemerintah daerah terkait. Perusahaan yang tanah dengan izin usahanya sudah masuk dalam daftar terindikasi terlantar, tidak bisa menjadi bagian dari tim evaluasi tersebut (Pokja). Herannya, dalam forum tersebut, ada juga pelaku bisnis yang memohon agar bisa menjadi bagian dari Pokja evaluasi. Rasa percaya diri yang tinggi ternyata membuat para perusahaan pemegang izin usaha ini merasa perlu untuk muhasabah[4] yang sayangnya diniatkan tidak pada tempatnya. Sebagai orang yang pemalu dan tahu diri, saya tentu tidak cocok dengan syarat tersebut.
Syarat lain menjadi investor adalah memiliki daya ramal dan imajinasi yang luar biasa. Bagi pebisnis, percaya diri saja tidak cukup, sebab, kekuatan meramal masa depan adalah poin pelengkapnya. Seperti ramalan yang disampaikan oleh Fahmi Shahab:
“…para pengembang berkeyakinan bahwa pemerintah pasti mendukung usaha yang dilakukan pengembang kawasan. Karena hal tersebut akan memberikan dampak yang sangat positif bagi penerimaan devisa negara, dan lapangan kerja, serta penataan ruang dan lingkungan yang jauh lebih baik…”. Ia kemudian menambahkan, “…dengan cara membeli banyak tanah untuk business land stock mereka (para pengembang dan pebisnis) akan menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bagus…”
Di lain sisi, bagi pebisnis dan pengembang, untuk mendapatkan izin lokasi dan berusaha adalah proses yang sangat panjang, rumit, bahkan dianggap ‘berdarah-darah’. Penggunaan istilah ‘berdarah-darah’ oleh para pebisnis dan pengembang ini diumpamakan untuk menunjukkan rumitnya proses birokrasi dan administrasi yang mereka hadapi di Indonesia. Penggunaan istilah konotatif tersebut tentu sangat sarat dengan daya imajinatif yang tinggi. Saya sebagai tukang nguping bahkan tidak mampu mengimajinasikan para pebisnis dan pengembang ini secara ‘berdarah-darah’ memohon izin lokasi dan usaha kepada instansi terkait seperti yang dilakukan warga di Wadas, NTT, Papua, Pulau Pari, Parigi Moutong, Minahasa, dan lokasi lain yang secara rill berdarah-darah dalam mempertahankan tanah-tanah mereka yang dirampas. Jelas sekali daya imajinasi saya tidak setinggi para pebisnis dan pengembang itu. Mungkin juga karena saya tidak pernah menjadi pebisnis atau pengembang seperti mereka. Sampai hari ini saya masih menjadi rakyat seperti warga Wadas, NTT, Papua, Pulau Pari, Parigi Moutong, Minahasa, dan lokasi lainnya yang harus berdarah-darah (baik makna konotatif atau denotatif) dalam mendapatkan hak-hak dasar hidup sebagai warga negara.
Terakhir, syarat yang sepertinya tidak bisa tidak adalah memiliki sikap superior. Sebagai contoh, pebisnis dan pengembang tidak boleh menunjukkan kelemahan. Dengan memiliki kepercayaan diri, daya ramal, dan daya imajinasi yang tinggi akan menjadi kontradiksi bila pebisnis memiliki sifat inferior. Terlebih, pejabat negeri (Budi Situmorang) telah terang benderang menyatakan bahwa “…pebisnis dan pengembang (sektor swasta) adalah pihak yang paling mungkin mengembangkan ekonomi Indonesia karena memiliki sumberdaya manusia dan modal…”. Oleh karenanya, dalam forum diskusi ini juga ditegaskan, usaha bisnis tidak boleh terhambat hanya karena faktor masalah teknis (misal belum mendapat pasokan air) di tanah atau kawasan bisnis sehingga menyebabkannya menjadi tanah atau kawasan terlantar. Termasuk juga implementasi PP No. 20/2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar tidak boleh memberikan dampak negatif bagi para pengembang dunia usaha. Selain didukung pemerintah, pelaku bisnis yakin sebagai pihak utama yang mampu mewujudkan agenda pembangunan negeri. Sebaliknya, sebagai pet peeve[5] bagi pemerintah, saya tidak cukup modal untuk menjadi bagian kalangan superior seperti pelaku bisnis dan pengembang di dalam forum ini. Jelas ini bukanlah jalan ninja yang saya minati.
Tanah, Kawasan, Atau Nasib Rakyat di-Terlantar-kan
Tidak terasa sudah 3 jam lebih saya nimbrung di forum diskusi ini. Kalau bukan karena perut keroncongan yang mulai meronta, mungkin saya tidak akan ngeh kalau hari telah sangat terik. Seperti baru disadarkan suatu keajaiban dunia, saya baru saja menyaksikan kehadiran negara selama 3 jam lebih di dalam forum tersebut. Namun, sayangnya hadir bukan untuk rakyat-rakyat seperti di Wadas, NTT, Papua, Pulau Pari, Parigi Moutong, Minahasa, dan lokasi lainnya yang menuntut keadilan sesungguhnya.
Dalam forum tersebut, negara mengklaim akan menghilangkan para spekulan melalui melalui PP 20/2021. Namun, bukan berarti kebijakan tanah dan kawasan terlantar PP 20/2021 telah memihak rakyat. Hal ini karena adanya perubahan dalam lama jangka waktu peringatan yang diberikan negara kepada perusahaan yang mengalami penertiban. Pada aturan sebelumnya (PP 11/2011), perusahaan pemegang izin hanya memiliki jangka waktu 1 bulan dari tiap Surat Peringatan (SP) yang mereka dapat. Sekarang, jangka waktunya justru bertambah. Untuk kawasan terindikasi terlantar, waktu tenggang setelah SP I adalah 180 hari, 90 hari untuk SP II, dan 45 hari untuk SP III. Sedangkan untuk tanah terindikasi terlantar adalah 90 hari (SP I), 45 hari (SP II), dan 30 hari (SP III). Artinya, kelonggaran kebijakan melalui PP 20/2021 untuk para pelaku bisnis makin besar.
Di PP 20/2021, sebenarnya ada sedikit peluang masyarakat terkait tanah dan kawasan terlantar. Tapi, ada juga kontradiksinya. Seperti pengusulan kawasan dan tanah terindikasi terlantar kini dapat dilakukan oleh masyarakat. Meskipun juga klaim dari pemerintah, data tersebut akan dilaporkan di kantor desa/kelurahan setempat. Sayangnya, data tanah dan kawasan terindikasi terlantar tersebut kemudian tidak dapat diakses dan dipantau dengan leluasa oleh rakyat. Tanah dan kawasan yang telah ditetapkan dengan status terlantar secara otomatis menjadi aset negara atau TCUN. TCUN ini kemudian dibagi lagi pendayagunaannya utuk reforma agraria, Proyek Strategis Nasional, Bank Tanah, dan Cadangan Negara lainnya (Permen ATR/BPN 20/2021, pasal 74). Akan tetapi, dengan adanya PP 64/2021 tentang Bank Tanah, membuat reforma agraria yang seharusnya memiliki proporsi tersendiri sesuai dengan usulan masyarakat/organisasi masyarakat melalui pemda, justru proporsinya diatur menjadi “…paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari tanah negara yang diperuntukkan Bank Tanah.” (pasal 22 ayat 2). Dengan kata lain, proporsi penyediaan tanah untuk reforma agrarian cenderung akan dibatasi dengan ketat. Ditambah lagi, penyediaan tanah untuk reforma agraria melalui Bank Tanah justru ditempatkan pada urutan paling akhir (pasal 2, ayat 2).
Tak hanya itu, Budi Situmorang menyampaikan bahwa “…investor juga bisa memohon izin pengelolaan tanah untuk bisnis melalui penyediaan tanah oleh Bank Tanah…”. Artinya, Bank Tanah tidak hanya untuk redistribusi reforma agrarian–yang proporsinya sengaja diatur sedemikian rupa—melainkan juga untuk pihak swasta –yang proporsi penyediaan tanahnya jelas lebih besar daripada untuk reforma agraria. Sehingga, antara pejuang tanah untuk reforma agraria atau pejuang kehidupan mendasar dan pejuang tanah untuk bisnis tentunya akan saling beradu kuat untuk mendapatkan proporsi penyediaan tanah melalui Bank Tanah.
Kelonggaran lainnya demi memperlancar iklim investasi yang mana disampaikan oleh Budi Situmorang adalah instansi yang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) HGU untuk perusahaan, tidak akan lagi mencantumkan secara spesifik jenis komoditas yang akan diusahakan perusahaan terkait. Budi menambahkan, bagi pelaku bisnis dan juga pemerintah, kekakuan nama jenis komoditas yang tercantum dalam SK malah akan menghambat usaha bisnis HGU itu sendiri sehingga menjadi riskan bagi pemegang izin untuk menelantarkan tanah. Celakanya, dengan fleksibilitas, aturan ini menjadi jalan superioritas pelaku bisnis untuk melakukan apapun di atas kawasan yang telah mendapatkan SK izin HGU tersebut selama terus diusahakan dengan komoditas atau model usaha apapun. Hal tersebut dianggap pemerintah sebagai tindakan tidak menelantarkan tanah.
Budi mengakui bahwa semua perubahan ini telah disesuaikan dengan UU Cipta Kerja No. 11/2020. Hal lain yang membuat ganjil dari forum diskusi ini kemudian adalah bahwa UU Cipta Kerja No. 11/2020 telah diputuskan oleh MK sejak 25 November 2021 sebagai peraturan yang cacat secara formil atau inkonstitusional bersyarat. Namun, dengan berlangsungnya forum diskusi ini serta atensi yang besar dari pelaku bisnis malah menafikkan Putusan dari MK terkait UU Cipta Kerja.
Saya tersesat dan tersakiti berkali-kali dalam forum diskusi ini. Para pejabat yang mengaku sebagai wakil rakyat malah menunjukkan diri sebagai kawan baik pelaku bisnis dengan rela menyediakan waktu berjam-jam untuk berdiskusi. Sementara itu, pelaku bisnis bertingkah seolah-olah pihak yang paling menderita. Negara, seolah pihak yang mengobati derita para pelaku bisnis ini. Rakyat? Bahkan tidak dibahas nasibnya, selain hanya disinggung oleh pejabat negara dan pebisnis dalam forum tersebut sebagai pihak yang sering melaporkan hoax, lupa diri, beban negara dan swasta, serta tidak tahu di untung.[]
Lebih lanjut silakan tonton rekaman webinar ini melalui: https://www.youtube.com/watch?v=XUHsIBCgis8&t=2602s
Note: Video di YT tersebut sudah mengalami pemotongan durasi dan konten.
Catatan Akhir
[1] Bonus demografi atau ‘Demograpic Dividend’ adalah fenomena munculnya bonus ‘first dividen’ dan ‘second dividend’ dari transisi demografi atau ‘Demographic Transistion’ dari masyarakat agraria pedesaan yang tinggi angka kelahiran dan kematian menuju masyarakat industrial kota yang umumnya rendah angka kelahiran dan kematian. Dalam transisi ini terjadi dua bonus (first dan second dividend). Bonus pertama ‘First Dividend’ didapat karena selama proses transisi ini berlangsung, tenaga kerja tumbuh cepat yang menyebabkan pendapatan per kapita tumbuh cepat, walaupun hanya sementara saja (umumnya selama 5 dekade). Menjelang memasuki transisi industrial kota, angka kelahiran akan menurun dan menyebabkan turunnyaangka pertumbuhan tenaga kerja. Pada tahap inilah ‘Second Dividend’ dapat diperoleh. Pada fase transisi ini, tenaga kerja terkonsentrasi di usia tua. Masa tua pekerja berarti masa untuk mengelola dana pension yang mana menjadi peluang ekonomi sebab penduduk yang pensiun mengakumulasikan uang pensiunnya sebagai aset masa depan. Singkatnya, pada ‘First Dividen’ akan dipanen bonus transisi, sedangkan pada ‘Second Dividen’ mengubah bonus tersebut menjadi asset yang lebih besar lagi. Bonus ini tidak scara otomatis dapat dinikmati oleh negara, kecuali dengan kebijakan yang efektif (Lee & Mason, 2006).
[2] Marx (2011) membagi ‘reserve army of labour’ ke dalam tiga bentuk, yaitu ‘floating’, ‘latent’, dan ‘stagnant’. ‘Floating reserve’ adalah kategori kelompok tenaga kerja yang bekerja tidak penuh, kadang bekerja, kadang juga tidak (pengangguran, kerja kontrak, paruh waktu, freelance). ‘Latent reserve’ adalah kategori kelompok tenaga kerja yang secara tidak langsung menyumbang kerja kepada sirkuit kapital. Fenomena ini didukung oleh kultur masyarakat pedesaan yang umumnya melibatkan anggota keluarga untuk menjadi tenaga kerja tambahan (anak pekerja). Kultur ini bertahan dan kemudian menguntungkan kapitalisme saat ia mengambil alih semua sistem pertanian susbsiten pedesaan menjadi sistem pertanian industri. Karenanya, kelompok penduduk yang ‘mendukung’ kerja pertanian keluarga ini sebenarnya adalah buruh potensial bagi kapitalisme. Sedangkan ‘stagnan’ adalah bentuk tentara kerja cadangan yang aktif terlibat dalam sirkuit kapital dengan standar hidup di bawah rata-rata. Kerja mereka dipaksa semaksimal mungkin dengan upah serendah mungkin. Dengan begini, tingkat ekspoitasi pada kategori ‘stagnant’ sangat lah tinggi (Jonna & Foster, 2016).
[3] TCUN adalah tanah yang sudah ditetapkan sebagai Tanah Telantar dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (PP 20/2021 pasal 1, poin 21).
[4] Secara sederhana, muhasabah diartikan sebagai intropeksi diri atau evaluasi diri. Lebih dalam, muhasabah adalah perihal menghitung perjalanan hidup diri sendiri untuk mengetahui perbandingan antara amal baik dan keburukan yang telah diri sendiri lakukan (Harbani, 2021)
[5] Suatu subjek atau objek yang mengganggu bagi orang lain. Dalam hal ini, saya menyebut diri saya sebagai pet peeve pemerintah. Sebab, pemerintah membenci kemiskinan, kekumuhan, pengangguran, dan sejenisnya. Oleh karenanya pemerintah lebih senang menyingkirkan hal-hal tersebut melalui pembangunan kota-kota hijau seperti di Bandung dalam rangka menggusur pemukiman kumuh. Atau juga membangun infrastruktur lainnya dengan seolah-olah membuka lapangan pekerjaan untuk rakyat miskin. Kenyataannya rakyat hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar yang bekerja hanya sementara saja. Sebaliknya, pemerintah memberikan perhatian luar biasa kepada para pebisnis dan pengembang, setidaknya tercermin dalam webinar ini.
Referensi
Adrianto, M., 2022. https://edukasi.okezone.com/. [Online] Available at: https://edukasi.okezone.com/read/2022/01/09/65/2529549/erick-thohir-ajak-mahasiswa-gotong-royong-wujudkan-visi-indonesia-emas-2045 [Accessed 22 April 2022].
Harbani, R. I., 2021. https://news.detik.com/. [Online] Available at: https://news.detik.com/berita/d-5722461/muhasabah-dan-3-aspeknya-dalam-ajaran-islam [Accessed 23 April 2022].
Jonna, R. J. & Foster, J. B., 2016. Review of The Month. [Online] Available at: https://monthlyreview.org/2016/04/01/marxs-theory-of-working-class-precariousness/ [Accessed 24 April 2022].
Kemendikbud, 2017. https://paska.kemdikbud.go.id/. [Online] Available at: https://paska.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2018/08/170822-V.2-Generasi-Emas-2045-.pdf [Accessed 22 April 2022].
Lee, R. & Mason, A., 2006. What Is the Demographic Dividend?. The Economics of Demographics, September, 43(3).
Marx, K., 2011. Capital Volume I: A Critique of Political Economy. Statement Reprint ed. London, United Kingdom: Penguin Books Ltd.
Novianto, A., 2017. Memperbesar Tentara Cadangan Pekerja: “Bonus Demografi” Dan Ekonomi Politik Negara Neoliberal Di Indonesia. Kawistara, 22 Agustus, VII(2), pp. 1115-206.
Oktari, R., 2021. https://indonesiabaik.id/. [Online] Available at: https://indonesiabaik.id/infografis/siapkah-kamu-jadi-generasi-emas-2045 [Accessed 22 April 2022].