“Ya, tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan. Tanah untuk kaum tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk-gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanah itu!”- Soekarno
Agraria, seperti yang pernah dikatakan Mochammad Tauchid, adalah soal hidup dan penghidupan manusia. Artinya, “perebutan tanah berarti makanan, perebutan tiang hidup manusia”. Oleh karenanya, permasalahan agraria bukanlah masalah yang remeh-temeh.
Permasalahan yang pokok dan berakar itu telah disadari para pendiri Bangsa, begitu pelik dan kompleksnya permasalahan agraria di Indonesia. Kemerdekaan Indonesia, dengan kata lain, tidak pernah lepas dari rencana besar mengatasi masalah agraria menuju keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Hatta telah mewanti-wanti dalam tulisannya, Ekonomi Indonesia di Masa Datang dengan penekanan mengatasi masalah agraria di Indonesia. Bahkan, Hatta menekankan maju-mundurnya perekonomian Indonesia yang pertama dan pokok adalah kekayaan tanahnya. Namun sayangnya, hal itu justru menjadi sangat kontradiktif dengan kenyataan (ironisnya, terdengar relevan hingga kini).
“Indonesia tanahnya kaya, menghasilkan harta bagi dunia luar beratus juta saban tahun. Tetapi, Rakyat Indonesia hidup miskin dan sengsara di tengah-tengah kekayaan yang melimpah.”
Bila masalah agraria yang hingga kini masih menjadi masalah pokok bagi kedaulatan dan kemerdekaan segenap bangsa Indonesia, mengapa hingga kini ketidakadilan agraria masih tetap terjadi? Apakah elite dan rakyatnya masih mengingat akan gagasan pemikiran para Pendiri Bangsa mengenai masalah agraria di Indonesia?
Maka, relevan untuk bertanya kembali, siapa saja yang yang menggagas dan mempreteli sistem agraria yang, seperti dikatakan Soekarno, menjadi alat penghisapan? Seperti apa latar belakangnya? Gagasan apa yang mereka bawa? Lalu, dibawa kemana pemikiran-pemikiran dan gagasan agraria tersebut?
Lalu, seperti apakah perjalanan sejarah perombakan sistem agraria Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan pra-UUPA? Seperti apa perjalanan sejarah terbentuknya Hukum Agraria Nasional dari 1948 hingga diundangkannya UU No. 5/1960 (UUPA).
Sajogyo Institute dan Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (PSA-IPB) memanggil dan mengajak kawan-kawan mahasiswa maupun alumni IPB untuk belajar, memahami dan berdiskusi dalam Sekolah Pemikiran Agraria bertema Kelas Pemikiran Agraria Indonesia. Sekolah akan diselenggarakan pada 1-8 Agustus 2019.
Sekolah ini diselenggarakan sebagai bentuk usaha kita untuk menggali dan memahami kembali idealisme, gagasan, pemikiran para Pendiri Bangsa terhadap masalah agraria di Indonesia.
Adapun fasilitas-fasilitas dalam menunjang kegiatan belajar dalam Sekolah Pemikiran Agraria sebagai berikut.
- Memperoleh teks-teks yang ditulis oleh para Pendiri Bangsa dan pemikir agraria Indonesia sebagai bahan belajar;
- Asrama penginapan sebagai tempat pengintensifan belajar selama 7 (tujuh) hari;
- Makan dan minum;
- Sertifikat, dan;
- Buku
Diharapkan juga, alumni Sekolah Pemikiran Agraria SaIns-PSA memiliki kesempatan baik memperoleh penawaran untuk magang di SaIns dan PSA, maupun berkesempatan menjadi asisten praktikum Kajian Agraria di KPM-IPB.
Waktu pendaftaran, syarat-syarat dan ketentuan tertera di poster.
Untuk seleksi pendaftaran akan diadakan sebanyak 4 (empat) tahap.
- Tahap Pendaftaran (17-30 Juni 2019)
- Tahap Seleksi Berkas (1-5 Juli 2019)
- Seleksi Wawancara (8-12 Juli 2019)
- Pengumuman Peserta (15 Juli 2019)
Untuk form Surat Pernyataan Bersedia Mengikuti Kegiatan dan Tinggal di Asrama, dan Surat Pernyataan Sehat Jasmani dan Rohani, bisa diunduh di sini: Form Surat-surat Pernyataan rev 1.
Kami tunggu teman-teman sekalian di Sekolah Pemikiran Agraria!
Narahubung:
- Roy Murtadho (0822-3344-9177)
- Adi D. Bahri (0812-8311-6640)