Logika sektoral dan pasar menjadi masalah utama dalam pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Kiagus M. Iqbal (Sajogyo Institute)
Moh. Ali Rahangiar (Sajogyo Institute)

Reforma Agraria di Indonesia selalu mendatangkan konflik.

Sejak pertama kali dicetuskan semasa pemerintahan Soekarno hingga saat ini, cita-cita Reforma Agraria untuk merombak struktur penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia kepada warga negara yang berhak, khususnya kepada petani penggarap, petani gurem, dan buruh tani masih jauh dari harapan.

Upaya baru setelah Reformasi pun masih menyisakan masalah.

Catatan Sajogyo Institute yang meneliti masalah agraria di Indonesia menunjukkan struktur penguasaan tanah di Indonesia masih tidak adil hingga tahun 2013.

Hampir 90% petani tunakisma (petani tanpa tanah), gurem, dan kecil hanya menguasai 45,71% lahan dengan rata-rata luas lahan 0,45 hektar per orang.

Idealnya luas pemilikan tanah di Jawa Tengah, Yogyakarta, beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali, sebaiknya berkisar antara 0,5 hingga 1 hektar per orang.

Sementara, 12.04% petani golongan lebih mampu menguasai tanah rata-rata 3,87 hektar per orang.

Konflik agraria pun masih sering terjadi.

Lembaga swadaya masyarakat Konsorium Pembaruan Agraria mencatat telah terjadi 2.047 konflik agraria dalam kurun 2015-2019, naik dari 1.308 konflik pada periode lima tahun sebelumnya (2010-2014).

Masalah-masalah dalam implementasi kebijakan Reforma Agraria bermuara dari masih dominannya kuasa negara atas tanah yang mendorong kepemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan lewat kebijakan-kebijakan sektoral yang menghambat distribusi kepemilikan tanah yang adil.

Logika sektoral yang kuat

Asas domein dan kebijakan sektoral adalah dua masalah utama dari upaya Reforma Agraria sejak masa Soekarno hingga pasca reformasi.

Lewat asas domein, negara bisa mengklaim sebidang tanah apabila satu pihak tidak memiliki bukti-bukti kepemilikan secara hukum.

Asas ini berlaku sejak disahkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet dan aturan pelaksanaannya Agrarische Besluit) pada 1870 di masa kolonial Belanda.

Pemerintahan Soekarno sempat berusaha melakukan menafsirkan ulang asas domein untuk membagikan tanah kepada para petani penggarap, petani gurem, dan buruh tani.

Namun, rezim Orde Baru di bawah Soeharto kembali menggunakan kuasa negara atas tanah untuk mendukung kepemilikan lahan oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan.

Sejak saat itu, kebijakan agraria mengutamakan sektor-sektor tertentu untuk dapat menguasai tanah secara cepat dan besar-besaran.

Kebijakan agraria pun dibuat selaras dengan aturan pengembangan sektor tertentu seperti Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri, UU Pertambangan, UU Sumber Daya Air dan lain-lain.

Kebijakan Reforma Agraria pada era Reformasi pun masih mengutamakan sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan, dan kehutanan.

Di sektor perkebunan, tercatat tanah yang dikuasai korporasi mencapai 15 juta hektar; sedangkan di sektor pertambangan, korporasi memegang kuasa lahan seluas 13,75 juta hektar.

Logika sektoral ini mengakibatkan ketimpangan alokasi lahan antara pihak korporasi dan masyarakat tercatat cukup tinggi pada 2019.

Untuk kawasan hutan, hingga tahun 2018, pemerintah telah memberikan izin Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Penguasaan Hutan (HPH), dan Izin Pinjam Pakai untuk Usaha Pertambangan seluas 40,46 juta hektar kepada korporasi.

Ini berbanding terbalik dengan luasan alokasi tanah untuk masyarakat yang hanya berjumlah 1,46 juta hektar.

Tanah untuk swasta

Pendekatan sektoral di atas menunjukkan bahwa kebijakan Reforma Agraria di Indonesia masih mengutamakan kepentingan swasta.

Ini bisa dilihat lewat program sertifikasi tanah pemerintah.

Melalui program ini, pemerintah membagikan 4,5 juta sertifikat tanah sebagai tanda kepemilikan. Tapi kebijakan ini memiliki beberapa masalah.

Pertama, legalisasi aset tidak menciptakan hak baru untuk rakyat, justru sebaliknya memperkuat konsentrasi penguasaan lahan oleh korporasi dan petani kaya.

Hal ini terjadi karena tanah terbuka untuk berpindah tangan, dan karena tidak adanya aturan tegas yang melarang penjualan dan pengalihan pemilikan lahan kepada pihak lain.

Sebuah penelitian pada 2019, misalnya, menemukan adanya transfer tanah di desa penelitian Pasawahan, Ciamis, Jawa Barat, melalui mekanisme jual beli, gadai, maupun waris.

Akibatnya, hanya sekitar setengah penggarap di sana yang masih memiliki tanah.

Kedua, tidak adanya aturan tegas tentang pembatasan luas lahan untuk memastikan semua orang memiliki akses kepemilikan tanah yang adil.

Indonesia sebenarnya telah memiliki UU Pembatasan Lahan Pertanian yang dikeluarkan pada masa Soekarno.

Aturan ini mengatur luas lahan pertanian minimal dan maksimal yang bisa dimiliki petani dan keluarganya, tergantung jenis tanah dan kepadatan penduduk.

UU tersebut masih berlaku, namun tidak berjalan efektif. Lemah dan kurangnya mekanisme pengawasan membuat peraturan pembatasan luas maksimum tanah tidak efektif.

Akibatnya program sertifikasi tanah hanya mendorong penguasaan tanah berskala besar di tangan segelintir orang yang berkuasa saja.

Lagi-lagi, kebijakan agraria pemerintah hanya mendukung kepentingan pasar dan penguasaan tanah di tangan pemodal.

Keempat, data tentang kepemilikan tanah yang masih belum transparan.

Saat ini, publik sulit mengakses data tentang Hak Guna Usaha (HGU). HGU adalah hak khusus untuk mengelola tanah negara yang diberikan pada perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.

Pemerintah menutup akses data ini meskipun putusan Mahkamah Agung pada 2017 menyebutkan bahwa data dan informasi HGU adalah bagian dari informasi publik sehingga aksesnya harus terbuka untuk umum.

Yang harus dilakukan

Pelaksanaan Reforma Agraria bisa berhasil jika menyentuh beberapa hal.

Pertama, memperkuat kedudukan dan hak masyarakat adat terhadap tanah adatnya.

Untuk itu, pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan UU Masyarakat Adat, dan memperkuat posisi masyarakat hukum adat sesuai putusan Mahkamah Konstitusi bahwa hutan adat bukanlah hutan negara.

Kedua, sertifikasi tanah wajib memperhatikan fungsi sosial tanah untuk mata pencaharian berkelanjutan masyarakat, kesatuan ekologi, hingga pelestarian dan pengembangan budaya. Hal tersebut bisa diatur dalam regulasi pembatasan luas tanah dan pembatasan alih fungsi lahan (khususnya tanah pertanian dan sumber air).

Program pemberian sertifikat juga perlu diprioritaskan bagi petani gurem dan buruh tani.

Ketiga, pemerintah harus membuka informasi HGU untuk kepentingan Reforma Agraria.

Baik Mahkamah Agung maupun gerakan masyarakat sipil perlu mendorong pemerintah untuk membuka informasi HGU sesuai dengan keputusan hukum yang telah dikeluarkan.

Lewat data yang transparan, pemerintah bisa memberi jalan awal untuk mengakhiri konflik agraria yang berkepanjangan dan berlarut.

========

*Tulisan ini telah dimuat di kanal The Conversation Indonesia pada Rabu, 15 Juli 2020. Sumber tulisan di tautan berikut ini.

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 + 7 =

KABAR TERBARU!