Perempuan Adat Nata Lutur: Hidup Bersama Kekayaan Alam, Tak Menghilangkan Kesulitan

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Shela Herlita*

“Untuk uang sekolah, harus dicari uangnya. Utamanya untuk anak sekolah di kota, pinjam uang dulu atau jual kopra kalau ada,” ucap seorang perempuan adat.

Potret Bentang Alam dan Kehidupan Nata Lutur

Nata Lutur atau Desa Lutur berada di Pulau Trangan, Kecamatan Aru Selatan Utara. Trangan adalah salah satu pulau besar di bagian selatan Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Kabupaten Kepulauan Aru terdiri dari kurang lebih 180 bentang pulau-pulau kecil di perairan Arafura yang dihubungkan dengan sungai atau selat antar pulaunya.[1]

Pintu menuju Kampung Nata Lutur. Nampak kebun kelapa begitu lebat dan kentara. (Foto: Shela Herlita)

Transportasi untuk mencapai Nata Lutur dan Kepulauan Aru bagian selatan lainnya menggunakan kapal feri dan perahu motor. Kapal feri berlayar dua kali seminggu, Rabu dan Sabtu, dengan waktu tempuh 6–7 jam.  Kapal ini berlayar dari Dobo menuju Serwatu. Sedangkan perahu motor tersedia kapan saja dan memakan waktu berlayar lebih singkat, sekitar 3–4 jam.

Seorang anak Nata Lutur sedang menikmati sungai dan bakau di Kampungnya. (Foto: Shela Herlita)

Sepanjang pelayaran dari Dobo menuju Nata Lutur, di pulau-pulau yang terlampaui, pohon kelapa berjajar dalam jumlah sulit untuk dihitung. Di Lutur juga banyak pohon kelapa mulai dari pantai sampai menuju ke pemukiman, bahkan sampai menuju hutan.

Selain kebun kelapa, Nata Lutur memiliki lanskap yang sangat beragam. Pantai dengan pasir putih yang landai berpadu dengan warna biru kehijauan air lautnya yang menampakan keindahan terumbu karang dengan jelas. Memasuki muara sungai, rerimbunan pohon mangrove menjadi tempat burung bertengger dan tempat mencari kerang dan kepiting. Sedangkan lokasi hutan masuk jauh ke arah kampung dari pesisir pantai. Setiap lanskap dan bentang alam menjadi tempat orang Nata Lutur memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidupnya.

“Mau masak, sayur ambil di hutan dekat sini (rumah), ikan, kerang ambil di sungai, su bisa makan. Kalau anak sakit demam, katong ambil daun obat di hutan” tutur perempuan Lutur.

Setiap ruang hidup di Nata Lutur memiliki fungsi dan manfaat. Berikut adalah tabel fungsi ruang hidup yang didapatkan dari hasil Fokus Group Discussion (FGD) bersama perempuan Nata Lutur.

Dari kegunaannya yang sangat beragam tersebut, orang Lutur memanfaatkan ruang hidupnya untuk memenuhi segala kebutuhan, mulai dari kebutuhan pangan, kebutuhan tempat tinggal, juga obat-obatan. Hutan, misalnya, menghasilkan berbagai jenis kayu, baik digunakan untuk membuat rumah, perahu, maupun kayu bakar untuk memasak.

Rumah kebun, tempat sementara untuk menjaga kebun-kebun Keluarga di Nata Lutur (Foto: Shela Herlita)

Juga, hutan berfungsi sebagai sumber pangan karbohidrat seperti sagu dan umbi-umbian, sumber vitamin dan serat seperti sayur-sayuran, dan sumber protein dari hewan. Tak ketinggalan, hutan juga berfungsi sebagai sumber pendapatan untuk dijual hasil-hasil hutannya. Segala bentuk ruang hidup memiliki berbagai fungsi baik secara ekonomi, sosial, dan ekologi serta  saling terhubung antar-ruang satu dengan lainnya.

Nelayan Nata Lutur biasa berkebun tatkala laut sedang ganas-ganasnya. Mereka berkebun menanam dan membudidayakan tanaman pangan seperti ubi (Foto: Shela Herlita)

Masyarakat Lutur memanfaatkan kebun untuk menanam tanaman pangan macam umbi dan sayur, serta untuk membudidayakan kelapa yang diolah jadi kopra.

 “Orang Lutur, asal dia mau bergerak sudah bisa makan, ke sungai, laut, hutan, kebun, jadi tempat cari makan.” tutur perempuan lainnya.

Mata pencaharian masyarakat Nata Lutur sebagian besar adalah petani sekaligus nelayan. Bertani dengan menanam beragam jenis sayuran dan mengolah kelapa menjadi kopra. Melaut umumnya dilakukan oleh laki-laki dengan menggunakan perahu mesin untuk menjaring ikan, memancing, atau menyelam untuk mencari teripang dan lobster. Hasil tangkapan laut memberikan pendapatan uang tunai lebih cepat karena hasilnya bisa langsung dijual dibandingkan dengan pendapatan dari kebun yang harus diolah terlebih dahulu. Ikan kakap, ikan kembung, ikan kakap cina, ikan tenggiri, ikan bulana, udang, lobster, cumi, kepiting, dan teripang adalah jenis-jenis hasil laut yang paling sering ditangkap dan dijual oleh nelayan. Pada musim tangkap, nelayan dapat pergi melaut empat hingga lima kali dalam sehari karena melimpahnya ikan.

“Seng usah pergi jauh ke tengah laut, 7-15 menit pakai perahu su dapa ikan,” cerita salah satu nelayan.

Pada saat musim semacam ini, nelayan tidak perlu pergi ke kota untuk menjual hasil tangkapannya. Para pembeli bandar-bandar dari kota akan datang ke kampung untuk membeli ikan. Ikan lema (kembung), udang banana, adalah jenis hasil laut yang ketika musim tertentu bisa didapatkan dengan sangat mudah bahkan menjaring di pantai pun sudah bisa mendapatkan ikan dan udang. Ini biasa terjadi setelah musim angin barat usai.

Pengeluaran Meningkat, Pendapatan Menurun

Meskipun kekayaan laut melimpah, penghasilan nelayan Lutur tidak menentu. Mereka sangat bergantung pada musim tangkap dan musim angin atau cuaca. Ketika angin barat, nelayan tidak bisa melaut karena cuaca buruk. Begitu juga pada pergantian musim kemarau ke musim hujan, yakni antara Agustus-September, hasil laut tidak menguntungkan nelayan.

Pamalas kalau mencari ikan musim bagini, tidak ada hasil, cuma buang-buang minyak saja,” keluh seorang pemuda nelayan. “Musim-musim bagini air laut dingin, juga banyak ubur-ubur, tidak ada ikan,” lanjutnya.

Seorang Nelayan sedang menyiapkan jala (Foto: Shela Herlita)

Sementara itu, biaya kebutuhan hidup semakin meningkat. Nelayan Lutur misalnya mengeluhkan harga bahan bakar minyak yang terus melonjak. Biaya konsumsi harian juga terus meningkat untuk membeli beras, tepung, minyak goreng sawit, gula, kopi, teh dan bahan pangan lainnya. Pemenuhan biaya untuk konsumsi harian juga akan sulit utamanya di musim angin barat karena segala kebutuhan tersebut hanya dapat diperoleh dari kota dan harus dibeli. Sedangkan pendapatan uang tunai hanya bisa diperoleh dengan menjual hasil laut dan kopra dan harus menjualnya ke kota. Pada musim angin barat, segala aktivitas di laut tidak bisa dilakukan karena angin dan gelombang besar yang sangat berbahaya. Pada masa-masa sulit ini,  rumah tangga masyarakat Lutur biasa akan mengencangkan ikat pinggang.

“Kalau tidak ada uang, makang keladi atau buah raja deng ikan sa su cukup,” tutur perempuan Lutur.

Biaya seremonial juga dirasakan semakin meningkat dan tidak bisa dilewatkan.  Biaya seremonial ini meliputi biaya untuk pernikahan, kelahiran, kematian, pendirian rumah, pembelian perahu baru, kegiatan masjid atau gereja menjadi biaya-biaya tambahan lain yang harus dipenuhi.

Kebutuhan hidup lain yang terhitung tinggi adalah biaya pendidikan anak. Umumnya, orang tua di Lutur akan mengirimkan anak-anaknya ke luar desa atau bahkan ke luar pulau untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dibutuhkan biaya yang cukup besar utamanya jika mereka mengirimkan anaknya ke luar pulau untuk menempuh pendidikan tinggi. Biaya untuk pendidikan ini umumnya yang tidak bisa diganti dengan sarana apapun. Ketika anak-anak masuk usia sekolah, sudah barang tentu kebutuhan uang tunai harus diupayakan dengan cara apapun.

Buah Raja (Foto: Shela Herlita)

Di tengah kelimpahan sumber daya alam yang menganugerahi Nata Lutur, tetap saja bayang-bayang krisis dan kesulitan hidup tetap ada. Orang-orang Lutur akan menghadapi kondisi yang sulit ketika kebutuhan akan uang tunai meningkat, sedangkan akses untuk mendapatkan uang tunai terbatas. Pada saat situasi semacam ini, tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Pekerjaan di kebun akan menjadi satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan saat musim angin barat. Menanam beragam jenis sayuran dan umbi-umbian hanya bisa dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga dan sarana subsistensi. Mengumpulkan kelapa dan mengolahnya menjadi kopra juga hanya bisa dijual di kios kampung dengan harga lebih rendah dari menjualnya ke kota secara langsung. Pekerjaan-pekerjaan ini tidak menghasilkan uang tunai dengan cepat sehingga ketika ada kebutuhan mendesak seperti kebutuhan anak sekolah, tidak bisa teratasi.

Keluarga nelayan sedang menangkap ikan di sungai terdekat di Kampung (Foto: Shela Herlita)

Seringkali kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi terutama pada masa-masa sulit memperoleh uang. Untuk menyiasatinya, banyak masyarakat yang mulai terjerat hutang. Untuk memenuhi biaya produksi, misalnya, nelayan kerapkali berhutang bahan bakar untuk melaut kepada kapal-kapal kontainer besar yang kemudian juga membeli ikan hasil tangkapan nelayan. Berhutang pada kios dan sanak saudara juga jamak dilakukan untuk keperluan konsumsi sehari-hari.

“Kalau ada kebutuhan uang mendadak, harus berhutang. Anak sekolah tiba-tiba minta kirim, kebun belum panen, hasil laut juga tidak banyak, terpaksa harus hutang. Hutang kepada saudara atau siapa saja,” tutur seorang perempuan Lutur.

Inisiatif Mengolah Kelapa Menjadi Virgin Coconut Oil (VCO)

Potensi kelapa sangat melimpah di Nata Lutur. Pohon-pohon kelapa banyak ditanam di sepanjang garis pantai hingga kebun menuju hutan. Kebun-kebun kelapa juga dimiliki oleh orang-orang Lutur, baik sebagai hak milik pribadi, kebun kelapa milik jemaat IsIam maupun Kristen, dan juga kebun kongsi (kebun desa). Seluruh keluarga umumnya memiliki kebun kelapa pribadi dan menyebutnya sebagai tabungan (penghasilan tambahan). Karena mengolah kelapa menjadi kopra bisa disimpan dan kemudian dijual sewaktu memiliki kebutuhan mendesak. Sedangkan untuk kebutuhan harian, bisa didapatkan dari mencari hasil laut atau berburu di hutan.

Gambaran dapur Keluarga Nata Lutur. Kopra di dapur tak hanya untuk kebutuhan subsisten untuk menyediakan minyak kelapa goreng, tetapi juga sebagai tabungan tatkala kebutuhan uang begitu mendesak. (Foto: Shela Herlita)

Ketika musim tangkap ikan sedang baik, para laki-laki akan fokus bekerja di laut untuk memaksimalkan pendapatan. Saat musim itulah pekerjaan di kebun menjadi tanggung jawab perempuan selain juga mengerjakan pekerjaan rumah dan membantu menyiapkan perlengkapan dan perbekalan untuk melaut. Pekerjaan seperti mengolah kelapa menjadi kopra kadang juga akan dilakukan oleh perempuan. Mereka mengumpulkan buah kelapa yang jatuh, kemudian membawanya ke rumah untuk dibelah dan diambil dagingnya, selanjutnya dibakar untuk dijadikan kopra. Tetapi ketika buah kelapa yang akan dijadikan kopra terlalu banyak, maka akan bekerja secara bersama-sama dengan anggota keluarga atau tetangga yang lain dengan sistem kerja masohi (kerja bergantian).

Gudang penyimpanan Kopra (Foto: Shela Herlita)

Harga kopra yang cenderung naik-turun membuat pendapatan Masyarakat Lutur tidak menentu, padahal kopra akan selalu tersedia dan tidak terbatas pada musim tertentu. Kadang harga kopra naik, namun seringkali turun. Pada saat harga turun, biasanya orang-orang tidak menjual kopra, hanya dijadikan simpanan menunggu harga lebih tinggi. Tetapi ketika ada keperluan mendesak dan hanya memiliki kopra, maka tidak ada pilihan selain menjual dengan harga yang rendah.

Selama ini kelapa hanya diolah menjadi kopra, kadang juga dijadikan minyak goreng untuk konsumsi pribadi. Pendapatan dari kopra tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga yang kian meningkat. Maka, pada saat musim melaut tiba adalah kesempatan untuk mendapatkan penghasilan dari laut yang dengan cepat menghasilkan uang tunai. Hasil laut, kopra, dan hewan buruan seperti babi, rusa, dan ayam, adalah jenis-jenis komoditas yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan uang tunai.

Mengolah kelapa menjadi kopra dan minyak goreng memang sudah sejak lama dilakukan oleh perempuan-perempuan Lutur. Tetapi penghasilan yang didapat dari kelapa belum dimanfaatkan secara optimal dan dijadikan sebagai penghasilan tambahan. Maka dari itu, melihat potensi kelapa yang begitu melimpah dan tidak mengenal musim, harus dimanfaatkan secara optimal dan memperoleh keuntungan secara ekonomi. Usaha untuk memproduksi produk turunan kelapa menjadi VCO merupakan inisiatif kelompok perempuan adat sebagai upaya untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Kelompok ini bernama Pengurus Harian Komunitas (PHKom) Nata Lutur yang berada di bawah organisasi nasional PEREMPUAN AMAN.

Virgin Coconut Oil (VCO) hasil produksi mandiri Perempuan Masyarakat Nata Lutur (Foto: Shela Herlita)

Pengembangan produk kelapa ini diharapkan menjadi sumber penghasilan tambahan untuk keluarga maupun komunitas. Inisiatif ini dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah kelapa dan meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga utamanya pada masa-masa sulit. Saat ini, telah terbentuk 4 (empat) kelompok produksi VCO. Tiap kelompok terdiri dari 8-10 orang yang merupakan tim produksi untuk membuat VCO dan memasarkannya baik di kampung maupun di luar kampung. Keterampilan ini selain untuk memperolah keuntungan secara ekonomi, juga sebagai bentuk pengembangan kapasitas individu dalam berorganisasi sehingga diri bagi perempuan. Perempuan adat telah mampu membuat keputusan sendiri untuk mengerjakan dan memulai sesuatu, menyelesaikan masalah, dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Organisasi yang terbentuk menjadi wadah bagi perempuan untuk saling belajar dan membantu satu sama lain.

 

Catatan Kaki:

[1] https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Kepulauan_Aru#:~:text=Di%20dalam%20kepulauannya%2C%20terdapat%20berbagai,berjumlah%20kurang%20lebih%20180%20pulau.

===

*Peneliti Sajogyo Institute. Tulisan ini merupakan refleksi dari Riset Aksi dengan Perempuan AMAN Nata Lutur di Kepulauan Aru, Kepulauan Maluku. 

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 − 7 =

KABAR TERBARU!