Wida Dhelweis Yistiarani*
Apa yang pertama kali terlintas di pikiran kita saat mendengar jenis pekerjaan nelayan? Laki-laki dengan kulit berwarna cokelat, kapal-kapal dan perahu yang mengarungi laut–biasanya kita bisa melihat mereka dari bibir pantai, ikan dan hasil tangkapan laut yang dijual di berbagai tempat pelelangan ikan (TPI) dan pasar. Asumsi bahwa nelayan adalah laki-laki didukung oleh jenis kegiatan di bidang perikanan yang paling nampak, yaitu dilakukan oleh laki-laki. Misalnya, pergi melaut dengan kapal atau menjaring ikan. Sementara itu, perempuan kerap dianggap hanya membantu pekerjaan suaminya yang nelayan. Misalnya, dengan menyiapkan bekal, membelikan BBM atau solar, dan memilah hasil tangkapan suami. Namun, benarkah perempuan hanya terlibat dalam kegiatan itu saja? Siapa yang mengolah, menjual dan memutarkan hasil tangkapan para nelayan laki-laki? Selain ikan, adakah hasil tangkapan yang ada di pesisir?
Tulisan ini berisi temuan-temuan awal dari “Pendokumentasian Wilayah Pendokumentasian Wilayah Kelola Perempuan Pesisir, Kekerasan Berbasis Gender dan Krisis Iklim di 17 Kabupaten/Kota di Indonesia” yang dilakukan oleh Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) dan Sajogyo Institute. Pendokumentasian yang dijalankan selama bulan Agustus 2024–Januari 2025 ini mencatat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh perempuan nelayan. Pendokumentasian ini menggunakan metode feminist participatory action research (FPAR) atau riset aksi partisipatif berperspektif feminis. Dalam riset dokumentasi ini perempuan diposisikan sebagai subjek peneliti atau pelaku riset dengan pengetahuan lokal dan pengalaman yang spesifik. Para perempuan periset tersebut sebagian besar merupakan perempuan nelayan dan beberapa lainnya adalah perempuan pesisir yang meski tidak terlibat langsung dalam kegiatan nelayan, memiliki kepedulian pada isu yang sedang dihadapi perempuan nelayan.
Siapa itu perempuan nelayan?
Nilawati adalah seorang perempuan nelayan yang tergabung ke dalam KPPI untuk daerah perwakilan Medan. Nila mengawali persinggungannya dengan pesisir saat ia menjadi buruh nelayan pada tahun 2019 silam. Selain melaut, ia juga aktif terlibat dalam kegiatan advokasi hak-hak perempuan nelayan di desanya, misalnya melalui pendaftaran kartu KUSUKA. Sementara itu Jihan Nafisah, KPPI Surabaya, bersama para perempuan nelayan lainnya mengelola koperasi yang menaungi puluhan anggota. Dua perempuan ini adalah bagian dari perempuan nelayan yang secara aktif terlibat dalam riset dokumentasi ini. Perempuan nelayan lainnya juga berperan aktif dalam komunitasnya, sembari melakukan pekerjaan di sektor perikanan dan kerja perawatan di sektor domestik.
UU No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam menyebutkan definisi nelayan sebagai tiap orang yang mata pencahariannya adalah penangkapan ikan. Sementara itu, UU ini mengartikan penangkan ikan sebagai, “…kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat dan cara yang mengedepankan asas keberlanjutan dan kelestarian, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya” (Pasal 1). Definisi nelayan dan kegiatan penangkapan ikan itu masih sempit karena peran, kerja dan keterlibatan perempuan dalam siklus produksi nelayan tidak hanya pada penangkapan. Lebih dari itu, perempuan nelayan terlibat dalam proses praproduksi, produksi, dan pemasaran.
Siklus produksi berkaitan dengan kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Dalam hal ini, barang dan jasa yang dihasilkan berasal dari hasil tangkap dan budidaya para pelaku usaha di pesisir, yang berdasarkan UU No. 7 Tahun 2016 adalah nelayan, petambak dan pembudidaya. Dalam undang-undang tersebut, nelayan tradisional dimaknai sebagai nelayan yang menangkap ikan dari perairan tradisional. Definisi itu seakan mengabaikan fakta bahwa hasil tangkapan perairan di pesisir tidak hanya ikan, namun juga kerang, kepiting, siput dan hasil tangkapan lainnya. Hal itu berimplikasi pada pandangan terhadap keberadaan perempuan nelayan, yaitu subyek nelayan yang wilayah tangkap dan wilayah kelolanya sebagian besar berada di perairan dangkal dan pantai.
Perempuan nelayan mengalami eksklusi dari pasar kerja karena profesinya tidak diakui secara sosial dan dianggap tidak melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan perempuan. Peminggiran yang dialami perempuan nelayan membuat kerja-kerja yang mereka lakukan tidak terlihat/tersembunyi. Padahal para perempuan ini melakukan kegiatan menangkap, memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan mengawetkan tanpa menggunakan kapal. Jenis pekerjaan lain yang dilakukan perempuan nelayan antara lain adalah fillet, jemur ikan, dan meteli (mengambil ikan dari jaring).
Ada pula sebagian perempuan nelayan yang pergi dari darat menuju laut menggunakan perahu untuk menjangkau area kerang seperti yang dilakukan di Deli Serdang. Alat tangkap yang dipakai oleh para perempuan pencari kerang antara lain adalah jaring, tangguk yang terbuat dari ban bekas, sarung tangan dan topi. Berbagai alat tangkap memiliki karakter yang khas untuk menangkap jenis hasil tangkap tertentu. Alat tangkap bubu digunakan untuk menangkap udang dan rajungan, petorosan untuk menjebak udang rebon, jaring dan jala untuk mencari ikan, lalu arat dan alat sederhana seperti centong nasi bisa dipakai untuk menangkap kerang. Implikasi dari ragam alat tangkap adalah pada siapa yang selanjutnya memproses tangkapan tersebut.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka ada beberapa hal yang bisa disoroti sebagai “kelemahan” kebijakan dan peraturan mengenai perlindungan nelayan saat ini. Pertama, penyebutan perempuan sebagai nelayan seperti dengan memakai “perempuan nelayan” merupakan upaya afrirmasi bagi eksistensinya dalam pekerjaan nelayan. Kedua, kegiatan “penangkapan ikan” tak hanya mencakup jenis ikan (spesies) namun juga spesies lain seperti moluska dan reptil. Kegiatan penangkapan ikan yang disebutkan dalam UU tersebut adalah suatu proses dengan kegiatan yang jamak dan bertahap. Penangkapan bukan merupakan kegiatan yang tunggal, namun dalam prosesnya melibatkan kegiatan perawatan dan pendanaan untuk membekali penangkapan, juga pengolahan hasil dan pemasaran.
Sistem tenurial pesisir: produksi dan reproduksinya
Sistem tenurial terbentuk dari jenis-jenis alat tangkap yang beragam, karena setiap alat tangkap merepresentasikan jenis tangkapan yang diambil. Alat tangkap tertentu digunakan untuk menangkap jenis (spesies) tertentu atau beberapa jenis tangkapan pada musim tertentu dan kondisi laut tertentu (pasang surut). Misalnya jaring bisa digunakan untuk menangkap jenis apapun tergantung besarnya mata jaring. Bagian ini akan menjelaskan bagaimana terbentuknya sistem tenurial berkaitan dengan lokasi, keragaman hayati yang ditangkap, dan alat tangkapnya, salah satunya adalah petorosan.

Petorosan hanyalah satu contoh dari sekian banyak alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Penjelasan tentang petorosan menggambarkan bagaimana sistem tenurial–yang mengatur hak-hak atas ruang di pesisir dan laut serta hak akses dan kontrol sumber-sumber agraria pesisir itu dipraktikkan secara turun temurun. Selain alat tangkap tanam, seperti petorosan dan rumpon, ada pula alat yang dipakai selagi berpindah-pindah seperti jaring dan jala. Ragam alat tangkap itu dibentuk pula oleh keragaman jenis tangkapan di laut, maupun yang dibudidayakan di tambak.
Sistem tenurial juga dibentuk oleh musim dan kondisi pasang surut laut. Para nelayan mengenal kalender musim untuk menandai jenis keragaman hayati apa saja yang bisa ditangkap pada musim tertentu, bahkan ada waktu dimana kondisi laut tak memungkinkan untuk melaut karena bisa mengancam jiwa. Kalender musim menunjukkan bahwa tiap jenis tangkapan memiliki waktu. Dalam salah satu kalender musim yang dicatat dalam riset ini misalnya, ikan bulu ayam cenderung sulit ditemui pada bulan Mei hingga Agustus, sementara pada periode yang sama, ikan bulu mentok justru lebih melimpah. Pola ini menunjukkan bahwa setiap jenis ikan memiliki musim kemunculan yang berbeda, yang kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu air, arus laut, dan siklus reproduksi ikan. Ketika jenis ikan tertentu sedang tidak musim, maka nelayan biasanya akan beralih ke jenis tangkapan lain yang melimpah pada periode tersebut.
Namun ada masa saat nelayan tidak melaut sama sekali. Kondisi alam yang semakin sulit diprediksi membuat nelayan tak bisa lagi menggantungkan pemasukan sepenuhnya dari hasil tangkapan. Jika 10 tahun lalu hasil nelayan melaut satu hari bisa mencukupi kebutuhan selama beberapa hari, maka kini dalam sehari belum tentu nelayan membawa hasil yang cukup. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah kerusakan lingkungan. Rusaknya lingkungan akibat polusi di laut, penangkapan ikan yang tidak dibatasi dan pembangunan infrastruktur yang menggerus wilayah tangkap punya implikasi panjang pada kehidupan nelayan. Sejauh ini, nelayan beradaptasi dengan cara melakukan diversifikasi nafkah–mencari pekerjaan sementara dan mengolah hasil tangkap agar memiliki nilai lebih–namun ada pula sebagian yang kemudian menganggur.
Hasil tangkapan laut memiliki ritme yang sifatnya harian dan karakter laut menciptakan model mata pencaharian yang spesifik. Namun karena kebijakan selama ini cenderung memiliki bias terhadap daratan, maka ritme laut itu sulit diterapkan. Kondisi itu berpengaruh pada pendapatan rumah tangga nelayan. Ketika hasil melimpah, maka nelayan bisa mendapatkan hasil yang mencukupi. Namun ketika masa paceklik tiba, sulit untuk memenuhi kebutuhan yang beragam. Akhirnya, utang selalu menjadi alternatif pilihan. Opsi lain yang dilakukan rumah tangga nelayan adalah melakukan diversifikasi pekerjaan, misalnya menjadi buruh serabutan. Namun, modal sarana dan prasarana penangkapan yang tidak sedikit, gaya hidup yang relatif konsumtif dan pendapatan yang tidak menentu, mendorong nelayan cenderung memilih utang.
Pergantian musim tangkap dapat pula mempengaruhi hubungan rumah tangga nelayan dengan lembaga utang. Ketika hasil tangkapan menurun dan nelayan tidak mendapatkan akses pada jenis ikan/tangkapan lain sementara kebutuhan rumah tangga harus dipenuhi, maka utang menjadi salah satu alternatif yang bisa dijangkau. Kelembagaan utang tidak hanya berupa bank formal, namun juga bank nonformal serta perorangan (tengkulak, rentenir, dll). Ketergantungan pada utang dalam jangka Panjang dapat memperburuk tekanan ekonomi. Implikasi lain yang mungkin muncul adalah konflik, meningkatnya beban kerja anggota keluarga (terutama perempuan), serta kekerasan dalam rumah tangga. Dengan begitu, kalender musim juga bisa menunjukkan dinamika sosial dan ekonomi dalam komunitas nelayan.
Ancaman terhadap wilayah kelola nelayan
Pesisir adalah ruang yang dinamis. Dalam rentang waktu 5-10 tahun, garis pesisir berubah karena adanya abrasi, akresi dan alih fungsi lahan. Wajah pesisir Batubara diubah oleh adanya pembangunan industri. Tak berbeda jauh dengan pesisir Semarang dan Surabaya berubah setelah adanya pelabuhan, reklamasi dan PSN. Krisis iklim yang mengancam juga mulai dilihat dampaknya di pesisir Kendal setelah Pulau Tiban tenggelam karena banjir rob dan 30 hektar wilayah Desa Kartika Jaya (termasuk tambak bandeng) hilang akibat abrasi. Perubahan itu tidak hanya mengubah lansekap atau kondisi fisik dari pesisir, namun juga menggeser fungsi-fungsi pesisir yang lain.


Perubahan itu menunjukkan juga bahwa sistem tenurial juga bukan sesuatu yang statis. Apabila wilayah tangkap menghilang atau terganggu, maka jenis alat tangkap dan hasil tangkap juga akan hilang atau berkurang. Misalnya, alat tangkap bundes di Semarang dan othok di Demak yang dulunya dipakai menangkap ikan kembung dan udang kini penggunaanya sudah sangat jarang. Tak jauh berbeda, dalam 5-10 tahun terakhir jumlah nelayan petorosan di Surabaya menyusut dari ratusan orang hingga sekarang hanya belasan. Para nelayan petorosan itu banyak yang beralih menjadi nelayan penjaring akibat tidak ada regenerasi dan kondisi laut yang semakin tidak menguntungkan bagi nelayan.

Wilayah kelola nelayan rentan terhadap perubahan yang penyebabnya datang dari berbagai arah. Bentuk “gangguan” yang bisa diidentifikasi di beberapa wilayah adalah kebijakan yang tidak sepenuhnya melindungi wilayah kelola dan wilayah tangkap nelayan secara adil, seperti pada kasus-kasus privatisasi wilayah perairan dan pemagaran laut. Proyek pembangunan nasional maupun pembangunan infrastruktur skala besar yang mengubah lansekap pesisir, seperti pembangunan atau perluasan pelabuhan. Proyek-proyek itu bisa mempersempit jangkauan tangkap para nelayan. Misalnya, PGN SAKA di Gresik membatasi nelayan dalam mencari tangkapan di sekitar blok-blok pengeboran lepas pantainya. Padahal sebelumnya di area-area itu merupakan wilayah yang banyak terdapat ikan seperti gulama dan belanak.
Gangguan terhadap wilayah kelola nelayan juga dipengaruhi kerusakan lingkungan. Pesisir menjadi area hilir yang yang menerima limpahan “dampak pembangunan” dan konsumsi berlebih (overconsumption) di darat. Misalnya adalah limpahan sampah yang mengalir ke sungai dan berakhir di pesisir, kemudian terbawa ombak dan terparkir di sisi pesisir yang lain. Sampah-sampah yang menumpuk itu di pinggir pantai dan permukiman, sehingga masyarakat pesisir dipaksa hidup berdampingan dengan sampah. Tak jarang, mereka tidak punya pilihan lain untuk menjemur ikan-ikan dan baju di dekat tumpukan sampah.


Krisis lingkungan yang mengancam pesisir
Krisis iklim mengancam pesisir di berbagai penjuru dunia, tak terkecuali pesisir Indonesia. Perubahan iklim tidak hanya ditunjukkan dengan adanya percepatan kenaikan muka air laut, tetapi juga diperparah oleh penurunan tanah, intrusi air laut, abrasi, dan ancaman badai tropis. Ancaman nyata yang dihadapi adalah kehilangan tempat tinggal akibat air laut yang merendam daratan di pesisir. Daerah-daerah tropis dan subtropis seperti Indonesia lebih berisiko menerima dampak kenaikan muka air laut. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah yang paling terancam karena aktivitas peningkatan permukaan air. Dampak perubahan iklim secara perlahan tapi pasti yang sedang terjadi di kampung-kampung pesisir adalah (1) meningkatnya kasus penyakit tertentu seperti demam berdarah dan penyakit kulit, (2) kerusakan infrastruktur (jalan dan rumah) akibat cuaca ekstrim dan banjir rob, (3) musim yang semakin sulit diprediksi, (4) perubahan suhu muka laut yang berimplikasi pada perubahan lokasi tangkap ikan, dan (5) naiknya intensitas banjir rob.



Bagan di bawah ini merangkum bagaimana dampak krisis iklim dan krisis lingkungan berdampak pada kehidupan nelayan, khususnya perempuan nelayan. Terdapat 3 bencana iklim yang intensitas kejadiannya meningkat selama 10 tahun terakhir di 15 wilayah riset dokumentasi, yaitu banjir rob, abrasi dan kenaikan suhu. Dampak dari bencana banjir rob pada lingkungan cenderung lebih mudah dilihat, seperti jalan rusak, rumah tenggelam dan tambak-tambak yang tenggelam. Sementara itu ada implikasi yang secara kasat mata tak terlihat. Misalnya, pada beberapa kasus bahkan rumah tangga nelayan mengesampingkan kebutuhan sekolah untuk meninggikan bangunan rumah agar tidak tenggelam. Ketika terjadi banjir rob, beban kerja perempuan bertambah 2-3 jam untuk membersihkan lumpur dan air rob.

Kerusakan ekologis dan perubahan iklim memiliki dampak pada setiap jenis kelamin dan gender. Namun, konstruksi sosial tentang gender menyebabkan dampak yang diterima oleh kelompok itu berbeda, sehingga perubahan iklim perlu dilihat dengan kacamata dan sensitif gender.[1] Biasanya, perempuan bertanggung jawab atas kecukupan air, nutrisi dan pangan, serta keberlangsungan rumah tangga. Ketika terjadi perubahan terhadap kondisi alam yang menyebabkan hambatan dalam mengakses ketersediaan sumber pangan misalnya, pola konsumsi dan produksi rumah tangga juga terganggu.
Naiknya suhu perairan akan bisa mempengaruhi keberadaan biota laut yang menjadi tangkapan nelayan. Apabila hasil tangkapan berkurang, maka rentetan panjang dampaknya akan dirasakan dari mulai proses pra-produksi, produksi, hingga urusan domestik atau reproduksi sosial. Temuan pendokumentasian ini menguatkan fakta bahwa perempuan memiliki posisi yang vital dalam siklus produksi. Ketika kondisi lingkungan tak lagi memungkinkan nelayan di laut mendapatkan hasil seperti sebelumnya, hal itu bisa mempengaruhi jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan perempuan nelayan di darat.
Krisis iklim bukan persoalan yang “alamiah” apalagi netral terhadap perbedaan gender. Intensitas rob yang bertambah di salah satu desa di Batubara berdampak pada infiltrasi air laut ke dalam sumur. Akibatnya sumur-sumur air tawar menjadi asin atau payau dan tidak layak dikonsumsi. Air payau itu tetap digunakan untuk mandi dan mencuci, meski menimbulkan alergi dan kulit gatal. Sementara itu, kebutuhan memasak dan minum didapatkan dari membeli air galon isi ulang. Hal itu punya dampak tersendiri pada pengeluaran konsumsi yang bertambah.
Penutup
Kebijakan pembangunan yang berfokus pada daratan menyebabkan lemahnya keberpihakan negara terhadap nelayan, khususnya nelayan perempuan. Regulasi terkait pengelolaan wilayah dan perlindungan nelayan belum secara jelas mengakui keberadaan perempuan nelayan yang turut serta dalam penangkapan ikan serta terlibat dalam keseharian proses perikanan, yang menjadi sumber penghidupan utama keluarga nelayan. Akibatnya, pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan nelayan sering kali tidak terlihat dan tidak diakui oleh negara serta komunitas sosialnya. UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam hanya menempatkan perempuan sebagai penerima manfaat program pemberdayaan, bukan sebagai aktor utama dalam sektor perikanan dan kelautan. Dampaknya, kerja perempuan, baik yang bersifat tidak berbayar dalam ranah domestik dan perawatan maupun yang bersifat produktif dalam pengolahan hasil tangkapan nelayan tradisional, menjadi tidak diakui dan terabaikan.
Perempuan nelayan menanggung beban kerja yang berlipat serta peran ganda membuat perempuan nelayan harus bekerja antara 14 hingga 20 jam per hari, bahkan saat hasil tangkapan melimpah, pekerjaan dapat berlangsung selama lebih dari 20 jam. Waktu kerja yang panjang ini menciptakan kekerasan struktural serta relasi yang menindas antara laki-laki dan perempuan. Bentuk eksploitasi dan kekerasan yang dialami perempuan nelayan tidak hanya berdampak secara fisik, tetapi juga secara mental. Namun, kekerasan ini sering kali tidak terlihat, sehingga baik perempuan, laki-laki, maupun masyarakat secara luas cenderung menormalisasinya. Kurangnya pendidikan dan pemahaman mengenai gender serta bentuk-bentuk kekerasan dalam kerja perikanan, termasuk terhadap buruh perempuan nelayan, semakin memperkuat normalisasi kekerasan dalam kehidupan sehari-hari.
Tanpa pengakuan yang tegas atas peran perempuan dalam sektor perikanan dan kelautan, ketimpangan gender dalam kerja perikanan akan terus berlanjut, dan memperkuat siklus eksploitasi serta invisibilitas kerja perempuan nelayan. Oleh karena itu, perlu ada perubahan kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak, yang tidak hanya menempatkan perempuan sebagai penerima manfaat dalam program pemberdayaan, tetapi juga sebagai subjek utama dalam pembangunan di pesisir. Pengakuan terhadap kerja perempuan nelayan, baik di ranah domestik maupun produktif, harus diiringi dengan perlindungan hukum yang kuat serta pendidikan berbasis kesetaraan gender untuk menghapus normalisasi kekerasan. Dengan demikian, kebijakan perikanan yang adil gender dapat menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh komunitas nelayan.
Catatan Kaki
[1] Andi Misbahul Pratiwi,
Bagaimana perubahan iklim memperparah ketimpangan gender di kawasan pesisir?” The Conversation, dipublikasi pada 17 November 2023, diakses pada 1 Februari 2025 https://theconversation.com/bagaimana-perubahan-iklim-memperparah-ketimpangan-gender-di-kawasan-pesisir-217923
===
*Peneliti Sajogyo Institute. Tulisan ini merupakan refleksi dari Riset Kaji Tindak Partisipatoris Feminis berkolaborasi dengan Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI).