Perluasan Infrastruktur dan Formasi Kelas Agraria di Pedesaan*

Wida Dhelweis Y.**

Proyek Strategis Nasional (PSN) dibangun untuk bisa terintegrasi dengan berbagai proyek lainnya. Yogyakarta International Airport (YIA) yang mulai beroperasi pada 2020 kemudian diikuti oleh pembangunan Jalan Tol Solo-Yogyakarta-YIA Kulon Progo akan terhubung dengan Jalan Tol Yogyakarta-Bawen dan Jalan Tol Trans ruas Semarang-Solo, sehingga diharapkan meningkatkan perekonomian dan konektivitas wilayah Jogja, Solo dan Semarang. Jalan tol untuk mendukung Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Super Prioritas Borobudur. Integrasi pembangunan infrastruktur juga merambah pada pengembangan wisata perbukitan Menoreh yang memperlihatkan kawasan bukit yang menyambungkan Kulon Progo dengan Magelang. Perluasan infrastruktur yang menyasar wilayah-wilayah pinggiran dan pedesaan menyebabkan tergusurnya permukiman, lahan pertanian dan tanah tempat warga tinggal.

Bandara YIA dibangun di atas lahan yang dimanfaatkan oleh warga sebagai permukiman dan pertanian. Luas lahan yang digusur mencapai 645,63 hektar. Warga yang terdiri dari kelompok sosial yang berbeda akan menerima dampak yang tidak seragam. Buku Geger Gedhen mengupas formasi kelas di salah satu desa terdampak pembangunan YIA, yaitu Desa Geger[i], dan bagaimana kehadiran bandara mempengaruhi dinamika kelas di desa tersebut. Kerangka analisis yang digunakan berbasis pada pendekatan kelas Marxian yang memandang relasi sosial adalah bentuk relasi yang eksploitatif. Pembedahan kelas sosial yang dilakukan Bernstein menghasilkan satu penamaan kelas yang berada diantara kelompok yang mengeksploitasi dengan kelompok yang dieksploitasi, yaitu petty commodity producer atau produsen komoditas kecil (PKK).[ii]

Anggapan bahwa pedesaan Jawa merupakan sebuah masyarakat pedesaan yang relatif tidak terdiferensiasi sudah ada sejak lama. Cara memandang pedesaan Jawa sebagai masyarakat yang egaliter dan stagnan mendominasi pemikiran para peneliti dan pemerintah kolonial bahkan dapat dilacak hingga awal abad ke-19. Raffles mendeskripsikan kondisi pada waktu itu sebagai, “Hampir tak ada rangsangan untuk memupuk modal di bidang pertanian, dan banyak tenaga kerja terbuang sia sia. Kepemilikan (tanah) tidak terjamin, maka tidak ada hasrat untuk akumulasi; karena makanan mudah diperoleh, maka tidak ada keperluan untuk menjadi pekeria keras.  Terdapat hanya sedikit contoh tentang kemakmuran yang berlimpah atau pun kemiskinan yang papa di antara kaum petani; tidak ada orang kaya, dan tidak ada pengemis”.[iii]

Clifford Geertz melalui risetnya Involusi Pertanian yang melanggengkan pandangan tersebut. Karya Geertz mencerminkan kesamaan ide tentang masyarakat pedesaan “paska tradisional” yang homogen, stagnan, membagi kemiskinan bersama (poverty-sharing), berpola hidup subsisten, yang tidak mampu mencapai pertumbuhan ekonomi dan modernisasi.[iv] Bukti-bukti bahwa terdapat diferensiasi yang membentuk kelas-kelas sosial di pedesaan menunjukkan perlunya kajian sifat, implikasi dan dinamika proses diferensiasi agraria pada berbagai periode.[v]

Upaya pemetaan kelas-kelas di pedesaan di Jawa Barat bisa dilacak dari riset PKI dan BTI tahun 1964 yang menghasilkan pengkategorian 7 setan desa. Para setan desa ini merupakan kelompok yang melakukan penghisapan pada orang-orang di desa, mereka adalah tuan tanah, lintah darat, tukang idjon, tengkulak, kapitalis birokrat dan tani kaya.[vi] Penghisapan yang setan desa lakukan di desa berbentuk seperti sewa tanah, sistem bagi hasil, utang, kemudian perburuhan hingga jual beli yang ditengahi oleh para tengkulak. Kapitalis dan tani kaya yang memiliki modal lebih besar biasanya yang melakukan pengaturan terhadap sumber daya di desa. Ketimpangan itu terus direproduksi hingga kini.

Formasi Kelas di Desa Geger

Bagaimana kondisi pedesaan Jawa masa kini yang semakin banyak digempur pembangunan dan proyek-proyek strategis nasional? Riset dalam buku ini menawarkan tambahan terhadap literatur yang membahas diferensiasi kelas di pedesaan. Pembahasan mengenai diferensiasi kelas bukanlah hal yang baru, namun dalam konteks Indonesia, terutama Jawa, informasi terkait “kelas-kelas” di desa sudah lama. Bab 1 dan 2 memberikan latar belakang konteks pembangunan bandara di pedesaan. Pada Bab 3 dan 4, disajikan narasi topologi kelas sebelum adanya proyek bandara dan setelah proyek masuk ke desa.

Konflik dan pertarungan yang dialami warga pedesaan adalah konflik vertikal (warga versus pemerintah/pemodal) dan konflik horizontal (antar sesama warga) menghasilkan konflik yang sifatnya diagonal. Warga dihujam konflik dari berbagai arah. Konflik dari atas adalah gencetan kapitalisme berupa tekanan pasar, proyek pembangunan, PSN dan kebijakan yang destruktif terhadap sumber penghidupan di akar rumput. Berbagai proyek strategis nasional dibangun agar terintegrasi dan melempangkan perputaran dan akumulasi kapital. Sementara itu, terdapat kelompok sosial warga yang akan merasakan dampak paling merugikan, yaitu mereka yang tidak memiliki modal cukup untuk bertahan dari goncangan dan ketidakpastian.

Pengelompokan kelas dilakukan dengan kerangka analisis Marxian. Perspektif kelas dalam rumpun Marxian berbeda dengan perspektif kelas yang lain. Analisis kelas ala Weberian menggambarkan kesempatan hidup atau gradasi hidup berdasarkan pada pendapatan sehingga formasi kelasnya kerap disebut dengan ‘kelas atas’, ‘kelas menengah’, dan ‘kelas bawah’. Dalam menentukan posisi kelas di Desa Geger, beberapa variabel yang digunakan adalah kepemilikan properti, relasi properti atau penguasaan terhadap properti, relasi tenaga kerja, relasi output, alat produksi dan aktivitas non-pertanian. Berdasarkan pengamatan, terdapat tiga kelas besar di Desa Geger, yaitu kelas penguasa atau elit, kelas produsen komoditas kecil dan kelas-kelas pekerja.

Kelas penguasa adalah mereka yang menguasai dan mengatur sebagian besar kekayaan di desa. Kelas petani penguasa memiliki dan/mengontrol lahan dengan luas minimum 0.8 hektar sampai dengan1 hektar. Mereka mempekerjakan orang lain dalam aktivitas produksinya, seperti mempersiapkan lahan, masa tanam, menyiangi, memupuk dan memanen.

“Sukardi adalah representasi dari tipikal ‘petani kapitalis’. Lelaki berusia 55 tahun yang memiliki tegalan seluas 0.5 ha dan sawah seluas 0.3 ha dari warisan ini mempekerjakan buruh untuk mengelola kedua lahannya. Sesekali ia ikut merawat garapan namun hanya untuk melakukan kegiatan yang ringan seperti mencabuti rumput, menyiram obat di tegalan, dan memastikan pengairan berjalan lancar. Ia juga mempunyai usaha toko kelontong dan toko tani yang menjual bibit dan pupuk. Istrinya lebih banyak mengelola usaha di rumah dan hanya sesekali ikut mengurus pertanian. Ketiga anaknya masih sekolah, anak pertamanya kuliah di universitas swasta dan dua lainnya berada di SMA dan pesantren. Ia juga merupakan ketua kelompok tani dan selama menjabat meraih beberapa penghargaan untuk kelompok tani dan dukuhnya, serta dana hibah untuk pengembangan pertanian.”

Kemudian kelas PKK adalah mereka yang kerap disebut sebagai kelas tengah, karena kelas PKK berkembang dari asumsi rumah tangga dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan cara mempekerjakan anggota keluarganya. Asumsi tersebut sejalan dengan bayangan peasant sebagai rumah tangga tani yang subsisten. Namun, di Desa Geger sudah sangat sulit untuk menemukan kelas PKK yang hidup benar-benar subsisten—tidak menjual tenaganya di pasar tenaga kerja dan memenuhi kebutuhan dari lahan pertanian saja. Hal itu sejalan dengan ‘komodifikasi penghidupan’ yang menyebabkan produsen pertanian bertahan hidup dengan cara terlibat dengan pertukaran pasar[vii] termasuk soal urusan reproduksi sosial. Meski tidak semua aktivitas selalu melibatkan pasar, namun sebagian besar alat dan modal produksi didapatkan lewat pasar.

“Sebagai contoh adalah Murtijo, lelaki yang kini berusia 52 tahun. Bersama istrinya, ia menggarap lahan tegalan dan sawah seluas 0.4 ha secara bagi hasil. Pada tahun 2010 ia memutuskan untuk membuat KK baru bersama keluarganya, setelah sebelumnya masih menjadi satu dengan ayahnya. Hal itu ia lakukan untuk bisa mengikuti undian bergilir menggarap sawah bengkok dari kalurahan. Selain di ladang, istrinya juga bekerja di warung makan. Anaknya yang pertama sudah bekerja dan yang kedua masih SMK.”

Sementara itu, kelas-kelas pekerja memenuhi kebutuhan hariannya dengan bekerja kepada orang lain. Terdapat dua kelompok kelas-kelas pekerja yang dapat ditemui di Desa Geger, yaitu ‘semi-proletar’ dan ‘fully-fledged proletar’. ‘Semi-proletar’ adalah rumah tangga yang masih memiliki akses tanah sehingga bisa bertani. Selain bertani, rumah tangga ini juga bekerja pada orang lain sepanjang tahun. Kemudian rumah tangga ‘fully-fledged proletar’, atau dalam kata lain adalah buruh, merupakan mereka yang sepanjang tahun bekerja untuk dapat memenuhi minimal standar kebutuhan harian.

“Karakteristik dari buruh dapat dilihat pada rumah tangga Marsinah, perempuan berusia 51 tahun. Pada tahun 1987 ia pergi ke Kalimantan Selatan, dan setahun kemudian pindah ke Kalimantan Timur untuk bekerja sebagai buruh di pabrik triplek. Ia bekerja selama 12 jam per hari dan tinggal di kamar berisi enam orang. Pada tahun 1998 ia kembali ke Geger dan tahun 2000 mulai menjadi buruh tani. Pada saat itu upah masih sebesar Rp15.000,00 per hari dan secara perlahan naik hingga Rp60.000,00 per hari. Suaminya meninggal beberapa tahun lalu. Kini Marsinah mendapat pemasukan dari kiriman kedua anaknya yang sudah bekerja.”

Perluasan Pembangunan Infrastruktur: Siapa yang Paling Dirugikan

Pembangunan infrastruktur dibangun di atas relasi sosial-ekonomi yang timpang. Sejak sebelum proyek pembangunan itu datang, warga sudah bertarung dengan permasalahan sehari-hari dalam aspek produksi dan reproduksi. Kesulitan yang dialami para produsen pertanian dirasakan saat mengakses pupuk, obat dan pestisida yang harganya pun tidak murah.

Aktivitas reproduksi yang mencakup tugas-tugas sehari-hari yang terkait dengan pemeliharaan rumah tangga dan perawatan anggota keluarga, sering kali dibebankan pada kelas pekerja, terutama perempuan. Pekerjaan reproduktif ini, meskipun tidak menghasilkan nilai lebih langsung, tetap penting untuk keberlangsungan kapitalisme karena memastikan keberlanjutan tenaga kerja. Dengan demikian, sebelum proyek pembangunan tersebut, warga sudah harus menghadapi permasalahan kelas, di mana mereka terperangkap dalam siklus ketidakadilan ekonomi dan sosial yang diatur oleh logika kapitalis, yang terus-menerus menuntut kerja keras tanpa imbalan yang adil.

Penggunaan analisis kelas tidak bertujuan untuk “memecah belah” warga, namun untuk memperjelas adanya lapisan sosial di masyarakat.  Klasifikasi petani ke dalam kelompok-kelompok tertentu dibuat berdasarkan konteks yang spesifik dan disesuaikan untuk tujuan analisis. Pembuatan tipologi petani dalam analisis formasi kelas pedesaan dan perkembangan akumulasi bukanlah tujuan akhir dari analisis. Dalam kasus Desa Geger, formasi kelas menjadi semakin jelas ketika proyek pembangunan itu masuk.

Warga desa yang sehari-hari menghadapi himpitan dari berbagai arah semakin terpuruk. Kelompok kelas-kelas penguasa juga menerima dampaknya, namun derajat yang mereka terima berbeda dengan kelompok PKK dan kelas-kelas pekerja. Petani dari kelas penguasa juga cenderung dapat bertahan di lokasi kelasnya. Pasca penggusuran dan pembagian ganti rugi, tidak sedikit dari kelas penguasa yang kemudian membangun kos-kosan dan membeli tanah, baik untuk pertanian maupun sebagai “investasi”. Posisi petani kelas penguasa yang memiliki keuntungan berupa sarana produksi membuat mereka dapat bangkit lebih cepat dibanding petani dari kelas pekerja dan PKK.

Pasca pembangunan bandara, petani PKK mengalami diversifikasi pekerjaan di luar pertanian. Ketika sebelumnya sebagian besar pemasukan adalah dari pertanian, kini para petani perlu mencari pekerjaan di luar pertanian seperti buruh bangunan. Kondisi ini menyebabkan pergeseran struktur kelas, dari rumah tangga yang sebelumnya merupakan petani PKK, kini menjadi petani semi-proletar. Sama halnya dengan petani kelas pekerja semakin termarjinalkan. Petani semi-proletar semakin tidak bisa menggantungkan sumber penghidupan dari pertanian. Sementara itu, buruh tani banyak yang kehilangan pekerjaannya di lahan pertanian. Ada sebagian dari mereka yang kemudian menganggur, dan ada pula yang masih meneruskan menjadi buruh tani dengan sambilan di luar pertanian.

Sementara kelas penguasa desa tetap memilki banyak keuntungan Hasil ganti rugi kini banyak diubah menjadi kos-kosan dan bagi mereka yang mau melanjutkan bertani, maka digunakan untuk membeli atau menyewa lahan pertanian lainnya. Selain lahan yang digusur, para kelas penguasa inipun masih memiliki aset atau modal lain. Hal ini menunjukkan bahwa kelas penguasa memiliki lebih banyak pilihan dan kebebasan untuk melanjutkan hidup pasca ekspansi kapital di Desa Geger. Ada ‘petani kapitalis’ yang melanjutkan bertani dengan tetap mempekerjakan orang lain, sembari mengelola kos-kosan. Kemudian tuan tanah tetap menghisap keuntungan melalui lahan yang disewakan baik untuk pertanian maupun kos-kosan yang mereka bangun. Pasca Pembangunan bandara, mereka melanjutkan kekuasaannya terhadap kelas PKK dan kelas-kelas pekerja. Sehingga, selama kelas kapitalis dan tuan tanah masih menguasai sarana produksi, mereka akan tetap mampu mengeksploitasi kelas-kelas lain yang lebih tidak berdaya.

*Tulisan ini merupakan ringkasan dan tinjauan umum terhadap Buku yang saya tulis, Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa: Pembangunan Bandara dan Dinamika Kelas Petani di Jawa [2024]

**Penulis merupakan peneliti dan pegiat Sajogyo Institute dan penulis buku Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa: Pembangunan Bandara dan Dinamika Kelas Petani di Jawa (2024)

***

[i] Bukan nama desa sebenarnya

[ii] Bernstein, H. 2010. Class Dynamics of Agrarian Change. Sterling, VA: Kumarian Press

[iii] T.S. Raffles. 1817. The History of Java, London (Reprint: Kuala Lumpur, Oxford in Asia Historical Reprints, 1378), hlm. 147.

[iv] Geertz, C.1963. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia, Berkeley, University of California Press

[v] Husken, F. & White, Ben. 1989. Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa. Bulletin of Indonesian Economic Studies

[vi] Aidit, D.N. 1964. Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa. Yayasan Pembaruan. Jakarta

[vii] Bernstein, 2010

Share:

More Posts

Stay Connected with Us!

Jalan Malabar No.22 Bogor, Indonesia, 16151
Telp/Fax (0251) 8374048
Email: eksekutif@sajogyo-institute.org

© 2021 Sajogyo institute

KABAR TERBARU!