Pernyataan Sikap Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) atas Kasus Semen Rembang, Jawa Tengah

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Perjuangan para petani Kendeng, 9 Kartini Kendeng, telah sampai pada pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo (2/8/2016). Dalam pertemuan ini tercapai kesepakatan, yang intinya perlu segera dibuat analisa daya dukung dan daya tampung pegunungan Kendeng melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yang dikoordinir oleh Kantor Staf Presiden (KSP). Disepakati pula, selama proses 1 (satu) tahun proses KLHS semua izin dihentikan. Artinya terhitung semenjak dikeluarkan pernyataan tersebut maka segala bentuk operasi di wilayah pabrik Semen Rembang harus dihentikan.

Kesepakatan ini diperkuat lagi dengan putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor Register 99/PK/TUN 2016 pada 5 Oktober 2016, yang memenangkan gugatan warga Rembang dan para pihak pengguggat lainnya (termasuk Walhi), yang dalam amar putusannya tertulis:

  1. Mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan batal, Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan kegiatan penambangan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang Jateng,
  3. Mewajibkan kepada tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang Jawa Tengah.

Sangat disayangkan, kesepakatan dan putusan hukum di atas, tidak berlaku bagi Ganjar Pranowo selaku Gubenur Jawa Tengah, sang pemberi izin lingkungan. Bukannya menghentikan operasi pabrik semen, secara diam-diam Gubernur malah mengeluarkan izin baru. Keluarnya SK Izin lingkungan No. 660.1/30 pada 9 November 2016 tentang Kegiatan Penambangan Bahan Baku Semen dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen merupakan perbuatan melawan hukum. Kekuatan hukum ternyata masih saja dikangkangi oleh pejabat di Negeri ini, petani dan rakyat kecil terus dipermainkan di meja hijau.

Pertengahan November lalu, Kantor Staf Presiden (KSP) bertemu para pihak di Provinsi Jateng, menegaskan kembali bahwa selama proses pembuatan KLHS semua izin dihentikan. Pemerintah juga menjamin terjadinya proses dialog atau rembug yang sehat selama penyusunan KLHS berlangsung.”

Ironis mengingat Gubernur Jateng mengeluarkan izin baru dengan dalil “hanya berupa amandemen bukan ijin baru” dengan alasan perusahaan telah berganti nama dari PT. Semen Gresik ke PT. Semen Indonesia, termasuk perubahan luasan tambang dari 520 hektar menjadi 293 hektar, di atas lokasi dan kegiatan yang masih sama dengan izin sebelumnya.

Padahal, pembatalan izin berdasarkan putusan PK MA, seyogyanya telah diatur dalam pasal 40 ayat (2) UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahwa “Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan Dibatalkan”. Artinya seluruh kegiatan yang dilakukan PT Semen Gresik dibatalkan. Tak ada dasar hukum pengecualian apabila perusahaan telah berganti nama. Dengan demikian, maka hukuman pembatalan izin tetap melekat. Jelaslah Ganjar Pranowo telah melakukan perbuatan melawan hukum karena mengingkari kekuatan hukum tetap dan final.

Kegiatan tambang semen, selain akan menggusur lahan, area eksploitasi operasi pabrik juga akan merusak daerah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih di Pegunungan Kendeng yang menopang kebutuhan air bagi sekitar 153.402 petani Rembang. Padahal Watuputi telah ditetapkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden RI nomor 26/2011 sebagai salah satu CAT yang seharusnya dilindungi.

Mengacu konstitusi agraria kita, bahwa bumi, termasuk tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan sumber kekayaan agraria yang harus dilindungi oleh Negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960. Hak petani atas tanah juga telah dijamin oleh UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) dalam bentuk kepastian hak atas tanah dan lahan pertaniannya. Hak agraria petani Rembang juga dilindungi UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dimana aktivitas pembangunan lainnya harus menjamin perlindungan fungsi lahan pertanian yang ada.

Penerbitan izin untuk pembangunan pabrik semen oleh pemerintah Jawa Tengah di wilayah pegunungan Kendeng, Rembang tanpa memperhatikan dampak sosial, budaya, ekonomi din ekologis yang lebih utuh dan luas, merupakan tindakan yang telah merampas hak-hak dasar warga Rembang. Para Sedulur Sikep menggantungkan hidupnya sebagai petani. Dalam kesehariannya warga Kendeng membutuhkan tanah, sekaligus air sebagai tiang penopang keberlangsungan hidup. Petani Kendeng dan warga Rembang, haruslah ditempatkan sebagai warga negara yang memiliki hak dasar sebagai pemilik, pengolah, sekaligus penjaga keberlanjutan kekayaan agrarianya; bumi, tanah-airnya.

Kami memandang bahwa perbuatan pemberian ijin baru merupakan pengingkaran terhadap putusan MA, yang sudah bersifat final dan mengikat. Baik atas nama perbaikan ijin lingkungan sebelumnya maupun penerbitan ijin baru, keputusan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, berimplikasi pada upaya Gubernur (tetap) merestui berlanjutnya operasi pabrik Semen Indonesia. Hal ini tidak bisa dilihat hanya sebagai penyataan hukum tapi juga pernyataan politis dari seorang gubernur. Dengan demikian jelas Ganjar lebih berpihak ke pabrik semen daripada rakytnya sendiri.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah jelas telah merampas hak-hak agraria warga Rembang. Sejak awal kebijakan pembangunan pabrik semen di Rembang memang telah dipaksakan dan sarat kepentingan ekonomi semata. Sehingga berbagai cara dilakukan pemerintah daerah agar ekspansi tambang dan pembangunan pabrik semen di Rembang maupun di Jawa Tengat umumnya terus dilakukan. Di banyak tempat, kebijakan ini menimbulkan konflik agraria baru di lokasi-lokasi lainnya, yang menjadi area target perusahaan semen, yakni Rembang, Pati, Blora, Grobogan, Kebumen, Wonogiri dan Kendal.

Pembangunan pabrik semen di wilayah pegunungan kars Kendeng dikatakan oleh pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat (mendapat keuntungan dari operasi tambang din pabrik), namun di sisi lain mengabaikan prinsip keadilan sosial, pemerataan, dan pemenuhan hak masyarakat atas tanah airnya. Langkah ini sungguh ironis, di saat Pemerintah Jokowi menjanjikan pelaksanaan Reforma Agraria seluas 9 juta hektar tanah untuk memenuhi hak petani atas tanah dan pengusahaan pertanian yang lebih produktif din berkelanjutan. Sekaligus menjanjikan pula pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Namun faktanya di lapangan, sistem pembangunan ekonomi politik agraria (SDA) yang dijalankan justru kerapkali mengancam dan menggusur petani serta tanah garapannya akibat kebijakan eksplorasi, eksploitasi dan monopoli perusahaan atas kekayaan agraria.

Atas dasar itu, kami dari aliansi KNPA bersama Jaringan Masyrakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menuntut kepada:

  1. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sebagai pihak pemberi izin untuk mematuhi putusan PK MA, dengan segera mencabut SK Gubernur Jawa Tengah No 660.1/17 Tahun 2012 terkait Izin Lingkungan atas PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Dengan sendirinya menghentikan operasi perusahaan dan pembangunan pabrik semen tersebut.
  2. Presiden Joko Widodo, sebagai pimpinan pemerintahan yang tertinggi, menjamin dan memastikan aparatnya di bawah (Gubernur) untuk mematuhi putusan hukum yang telah ditetapkan MA, melindungi hak-hak dasar warga Rembang atas kekayaan agrarianya, sekaligus memberikan teguran serta sanksi kepada Gubernur atas upaya pengingkaran hukum dan kesepakatan politik Presiden atas kasus Rembang ini.
  3. Presiden atau Menteri Dalam Negeri segera mencabut SK Gubernur tentang izin lingkungan (baru) No. 660.1/30 tertanggal 9 November 2016, yang memberikan legitimasi hukum maupun politik terhadap operasi perusahaan semen di Rembang.
  4. Presiden Jokowi, Gubernur dan Bupati harus menjamin prioritas pemenuhan dan penghormatan hak-hak dasar warga Rembang atas kekayaan agraria (bumi; tanah, air, udara dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya), sebagai sumber keberlangsungan dan keberlanjutan hidupnya, baik sebagai petani maupun warga sedulur Sikep.
  5. Segala bentuk pembangunan (sektor tambang dan sektor lainnya), yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi haruslah selaras, bahkan tidak bersifat mengingkari, dengan rencana pembangunan lainnya yang memegang prinsip keadilan, kesejahteraan dan keberlanjutan, yakni kebijakan reforma agraria, kedaulatan pangan dan perlindungan hak-hak petani.
  6. Mengajak seluruh elemen bangsa, publik secara luas untuk bersama-sama mengawal dan menjadi bagian dari perjuangan Petani Kendeng, memastikan keadilan agraria di Kendeng dapat dipenuhi.

Demikian pernyataan ini kami sampaikan. Mari terus kita kawal perjuangan warga Rembang agar keadilan agraria bisa ditegakkan di bumi sedulur-sedulur kita di Kendeng.

Jakarta, 23 Desember 2016

Hormat kami

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)

(KPA, KontraS, WALHI, SPI, API, SAINS, IHCS, SP, YLBHI, AMAN, Pusaka, Bindes, JKPP)

Wakil KNPA:

Dewi Kartika-KPA (081 394 475 484)

Khalisah Halid-WALHI (0813 111 87498)

Henri Saragih-SPI (0811 655 668)

Wakil Warga Rembang, Kendeng:

Gun Retno – JMPPK (081391285242)

Lampiran Rilis KNPA

Selama rencana proses pembangunan, kami mencatat banyak pelanggaran hukum dan manipulasi yang telah dilakukan PT. Semen Indonesia Di Rembang, diantaranya:

  1. Melanggar Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 2011 tentang penetapan Cekungan Air Tanah Indonesia, Menyatakan bahwa batu gamping tersebut di tetapkan sebagai “Cekungan Air Tanah” (CAT) Watuputih. Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Semen Indonesia berada di kawasan CAT Watuputih.
  2. Melanggar Perda Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jateng No.6 Tahun 2010 pasal 63 yang menyatakan Watuputih “Kawasan Imbuhan Air”.
  3. Melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 pasal 19 bahwa kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai “Kawasan Lindung Geologi”.
  4. Bahwa sesuai Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 27, kawasan hutan di Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang tidak diperuntukan sebagai kawasan industri besar.
  5. Bahwa PT Semen Indonesia secara sepihak menetapkan Kawasan Pabrik sebagai Objek Vital Nasional, namun kenyataannya  tidak sesuai dengan Kepmen Perindustrian No. 620/M-IND/KEP/12/2012 tahun 2012 tentang obyek vital nasional sektor industri.
  6. Bahwa Pemerintah Provinsi Jawa tengah dan pemerintah Kabupaten Rembang tidak memiliki Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 200 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  7. AMDAL PT. Semen Indonesia cacat hukum karena mengandung kekeliruan, ketidakbenaran bahkan pemalsuan data dan informasi dan masih memakai AMDAL bermasalah PT Semen Gresik.
  8. Izin Lingkungan, Usaha dan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh PT Semen Gresik atau PT Semen Indonesia batal seutuhnya karena diputus bersalah pada Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor Register 99/PK/TUN 2016.
  9. Argumen penolakan masyarakat terhadap semen yang merujuk kepada AMDAL dan kebijakan-kebijakan yang telah melanggar peratran. Dalam konteks ini, proses pembangunan Semen Indonesia di Rembang juga tidak menempatkan suara masyarakat sebagai dasar pertimbangan dan cenderung mengabaikan aspek sosial, ekonomi, dan ekologis yang mengancam ruang hidup masyarakat.

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − four =

KABAR TERBARU!