Oleh Abdurrahman Wahid*
Sungguh mati, kawan satu ini membuat bingung orang. Ia mengajukan teka-teki aneh: apakah persamaan antara perebutan Piala Dunia 1982 ini dan landreform?
Siapa tidak garuk-garuk kepala mencari hubungan antar dua hal yang begitu berbeda itu. Menurut jenius kampungan ini (dan semua jenius memang kampungan), ada satu watak pertandingan-pertandingan ‘Mundial 1982’ di Spanyol sekarang. Yakni menangnya pola ‘bermain bola negatif’.
Contohnya : bagaimana mungkin kesebelasan Jerman Barat, yang harus main sabun untuk bisa lolos ke putaran kedua, setelah kalah dari kesebelasan tingkat sedang Aljazair, dan hanya mampu mencapai semifinal karena perbedaan selisih gol, kenapa kesebelasan macam itu bisa memiliki peluang sangat besar untuk jadi juara?
Italia juga bermain negatif, dan itu dilakukannya dengan Cattenaccio. Ia cenderung mencari kelemahan lawan, lantas mempertaruhkan serangan balik sebagai kelebihan.
Demikianlah, siapapun yang jadi juara ‘Mundial 1982’ tidak akan mampu mengangkat keharuman sepakbola sebagai seni. Piala Dunia menurun kualitasnya, menjadi industri pertukangan. Yang berlaku adalah sikap negatif: menahan gedoran lawan sambil mengintai kelemahan lawan.
Nah, siapa bilang itu tidak sama dengan keadaaan landreform? Pihak tuan-tanah yang memiliki lahan pertanian luas (apakah itu perorangan, ‘keluarga besar’ maupun perusahaan raksasa multi-nasional), tidak pernah ‘menyerang’ dengan sikap positif, mengajukan gagasan-gagasan berharga untuk menjamin keadilan penguasaan tanah sebagai unit produksi. Yang diambil adalah sikap negatif: tunggu saja gedoran kekuatan politik yang menghendaki penataan kembali pola pemilikan dan penguasaan tanah. Nanti toh akan ada kelemahannya.
Kalau landreform dilakukan secara sentralistis, banyak ‘kemenangan’ dicapai tuan-yanah melalui lubang-lubang peraturan dan cara kerja yang dianut birokrasi pemerintahan yang melaksanakan landreform itu sendiri. Kalau didesentralisasikan, dengan jalan diserahkan kepada lembaga tingkat desa seperti LMD, ‘wakil-wakil rakyat’ di tingkat desa itu akan dibeli dan diteror.
Bukankah lalu mudah sekali dikandaskan cita-cita mulia membagi kembali tanah pertanian, dan dicapai kemenangan di pihak tuan-tanah? Begitulah yang dikatakan kawan sang jenius kampungan: baik perebutan Piala Dunia 1982, maupun perebutan tanah lahan pertanian sepanjang masa, selalu dimenangkan oleh ‘tim negatif’.
Lalu, apa gunanya dibuat kotak pos baru ‘khusus untuk urusan agraria’? Entahlah, yang jelas tidak banyak yang dapat diperbuat para pejabat di bidang agraria, kalaupun masih ingin berebut sesuatu bagi kepentingan masyarakat. Perangkat peraturan tentang tanah belum memungkinkan, karena UU Pokok Agraria dan UU Pokok Bagi Hasil belum ‘diberi gigi’ institusional dan hukum.
Penulis adalah anggota Dewan Pembina Sajogyo Institute. Sebelumnya tulisan ini dimuat ulang dalam Buletin Bina Desa, no. 128/ XXXII Januari – Maret. (2013).