Oleh Surya Saluang
Program INKAPA, atau Industrialisasi Kakao Pedesaan dan Pemberdayaan Petani Perempuan, berakhir sudah memasuki penghujung tahun 2013 ini. Untuk mengkompilasi semua catatan belajar dalam satu fokus, INKAPA menggelar diskusi bersama seluruh pelaku program menyangkut tema paling mendasar yang selalu digelisahkan selama ini, yakni “Masa Depan Petani Kakao Indonesia”. Diskusi selama dua hari (28-29/12) berlangsung di Bogor.
Sedari awal program ini mulai berjalan, tema di atas sudah menjadi pembicaraan terus-menerus, dan merupakan resonansi dari kegelisahan para petani kakao sendiri di desa-desa lokasi program. Setidaknya, sejak tahun 2008 kejatuhan harga kakao yang semakin pasti, mewabahnya penyakit VSD, dan turunnya produktifitas secara signifikan oleh berbagai sebab (lemahnya teknik budidaya, usia tanaman yang tua, daur hara tanah menurun, tingginya biaya saprodi) telah menyebabkan kegamangan petani kakao pada komoditas satu ini, apakah diteruskan atau tidak. Tidak sedikit petani yang sudah beralih ke lain komoditas, bahkan, beralih meninggalkan pertanian, menjual tanah untuk modal usaha lainnya. Ada yang masih bertahan namun tidak sepenuhnya, serta mulai mengembangkan sumber-sumber penghidupan lainnya dari lahan ataupun non lahan. Sementara juga banyak yang masih sepenuhnya bertahan pada kakao semata.
Dari 30 tahun kehadiran kakao di Kulawi dan Sausu, tentu banyak cerita yang bisa diurai, setidaknya bagaimana komoditas ini bisa terus bertahan dan mengisi porsi dalam cara hidup petani. Pertimbangan untuk meneruskan atau meninggalkan kakao, bukanlah pertimbangan yang bisa dengan mudah ditentukan. INKAPA sendiri tidak memposisikan diri pada pilihan-pilihan manakah yang mesti diambil oleh petani. Tetapi mendorong petani untuk terus mengembangkan diskusi dan usaha-usaha bersama meragamkan sumber-sumber penghidupan di pedesaan.
Dalam kesempatan diskusi penutupan program ini, fokus tematik di atas digali dari dua poros pembicaraan; pertama, bagaimana kakao mengisi porsi dalam ekonomi rumah tangga petani. Kedua, bagaimana susunan jaringan global dari komoditas kakao itu sendiri, dan seberapa besar porsi rumah tangga petani (beserta lahannya) menyuplai jaringan tersebut.
Di tingkat rumah tangga petani, kakao memiliki kontribusi cukup besar. Saat ini saja, untuk seluruh Indonesia terdapat 1,5 juta lebih rumah tangga petani kakao. Terbesar berada di Sulawesi Tengah dan Selatan. Untuk Kulawi dan Sausu saja, kakao menjadi sumber pendapatan utama untuk uangcash di desa, yakni sekitar 70%. Namun, sekitar 60% lebih dari uang cash tersebut habis dibelanjakan untuk kebutuhan pangan harian. Dari sisi ini, sesungguhnya masih perlu dipertanyaan lebih dalam, sejauhmana kakao berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan petani, dan membuatnya bisa beranjak dari skala ekonomi sekedar “bertahan hidup”, atau baru sebatas upaya pemenuhan pangan harian.
Di tingkat global, dari 100% keuntungan yang dihasilkan dari perekonomian kakao dunia, hanya 6% saja yang dinikmati petani. Sekitar 70% lebih dinikmati oleh industri manufaktur, dan sisanya ada pada bagian hulu. Hal ini menjadi ironi, ketika pengerahan petani dalam komoditas kakao secara massif ternyata tidak begitu memperkuat porsi keuntungan ada di tangan petani. Semakin banyak petani yang terlibat dalam pertanian kakao, justru semakin menyumbang pada surplus di tingkat non petani. Keterlibatan petani pada kakao perlu diperdalam lagi, apa argumennya yang paling tepat (faktual).
Sejauh ini, di Sulawesi Tengah sendiri, booming harga kakao pada tahun 1999-2000 menjadi salah satu penyebab yang membuat petani masih berharap pada kakao. Kenaikan harga pada masa itu (yang lebih banyak disebabkan oleh kejatuhan rupiah di hadapan dollar), terus diingat dan dihidup-hidupkan sampai sekarang sebagai masa-masa dimana kakao begitu berjasa besar pada kehidupan petani. Kejatuhan harga kakao yang terus-menerus sejak tahun 2005, dan terlebih dengan adanya serangan hama penyakit sejak tahun 2008, tidak menggeser harapan petani pada kakao. Mungkin pada masa-masa inilah, kesempatan petani untuk menaikkan kesejahteraan pada level yang lebih tinggi bisa diukur secara gamblang.
Sementara itu, menurut catatan Undang Fadjar yang disampaikan pada kesempatan diskusi pertama (Kakao dan Ekonomi Rumah Tangga), pertanian kakao memberi pendapatan 3 kali lipat lebih besar dibanding pertanian pangan (seperti sawah dan lainnya). Hanya saja, itu bisa berlangsung jika pertanian dimaksud menerapkan pola-pola standar yang baik. Dalam hal ini, memang aka nada peningkatan yang cukup signifikan khususnya pada penyediaan saprodi, yang sebagian besarnya harus membeli. Fadjar kemudian mempertanyakan, sejauhmana bantuan finansial bisa diupayakan bagi penguatan petani kakao.
Di lapangan sendiri, beberapa petani tertentu yang menerapkan pertanian kakao dalam pola yang standar, memang nyata mendapatkan hasil yang jauh lebih baik. Bahkan, surplus yang berarti dalam durasi tertentu (beberapa tahun) bisa diusahakan agar si petani bisa melakukan pengembangan sistem produksinya ke luar lahan (di samping berbasis lahan). Namun, mengamati perjalanan sejarah, masuknya kakao di kedua wilayah, Kulawi dan Sausu, komoditisasi pertanian di kedua wilayah ini (dengan urutan; rambutan, durian, vanili, cengkeh, terakhir kakao) faktor pengetahuan justru tidak berkembang seiring masuknya berbagai komoditas tersebut. Selama ini, petani menanam kakao hanya berdasar asumsi “laku dijual”, yang disosialisasikan oleh dinas-dinas pemerintahan sejak tahun 1970-an menyusul diberlakukannya Undang-undang Kehutanan No. 5 tahun 1967 yang melarang pertanian lading berpindah. Dari sosialisasi berbagai lembaga Negara tersebut (dinas kehutanan, pertanian, perkebunan, dan pemerintah desa), tanpa kemudian melakukan transfer pengetahuan yang memadai, jadilah petani hanya sebagai penanam dengan segenap keterbatasannya.
Saat ini saja, daur pengetahuan petani seputar kakao masih jauh dari asumsi standar pertanian kakao yang baik, di sisi lain, dengan penyeragaman bibit yang memiliki karakter pertumbuhan yang spesifik membuat ketergantungan petani atas daur pengetahuan dari luar dirinya cukup tinggi. Ketergantungan itu ada pada tiap level ekonomi kakao, sejak dari budidaya, pasca panen, sampai distribusi. Pada tiap level itu pula, nyaris petani tidak memiliki porsi tawar apa-apa.
Ke depan, pemerintah masih akan menggenjot pertanian kakao rakyat, khususnya dalam menjawab minat investasi manufaktur dari berbagai korporasi global di dalam negeri. Setidaknya aka nada 40 buah pabrik pengolahan kakao akan dibangun di wilayah-wilayah utama penghasil kakao. Di samping itu, geliat sertifikasi kakao oleh beberapa lembaga sertifikasi, juga sedang giat-giatnya mensosialisasikan konsepnya masing-masing (yang sepertinya saling berbeda menurut petani). Berbagai upaya tersebut sekaligus untuk menggenjot lagi jumlah produksi kakao demi memenuhi permintaan pasar yang terus meninggi. Ketika kegiatan diskusi ini dilangsungkan, harga kakao di Sulawesi Tengah sedang meroket, menembus angka 31 ribu rupiah per kg, menjawab supply yang turun drastis. Petani yang sebelumnya pesimis pada kakao, kembali mendatangi kebun berharap ada yang bisa dipanen. Demikian lah pula selama ini, dari pemahaman akan tanaman yang “laku dijual” dan pengetahuan budidaya yang tidak berkembang, petani hanya akan selalu terombang-ambing oleh situasi pasar, yang penentuannya sama sekali tidak dalam genggaman petani. Petani “ole-olang” dalam buaian ombak komoditas ini, sampai ke depan pun tetap demikian; apa yang direncanakan pemerintah bersama pada calon investornya, merupakan hal yang tidak beredar dalam pembicaraan petani.
Lagi-lagi dalam diskusi kali ini muncul penekanan, bahwa pembicaraan pertanian tidak berarti membicarakan petani, apalagi petani miskin yang jumlahnya dominan di Indonesia. Persoalan kemandirian petani, itulah yang sesungguhnya sedang dipersoalkan. Kemandirian petani adalah kunci bagi kemandirian ekonomi bangsa Indonesia yang sesungguhnya masih agraris ini.
Pertemuan ini pada sesi keduanya, mencoba memberi fokus pada bagaimana mendorong kemandirian petani. Mandiri dari jebakan komoditas, yang indikatornya ada pada tingkat yang paling mikro yakni petani dan tanahnya sendiri dalam tingkat rumah tangga. Sejauhmana petani tersebut bisa memiliki pilihannya sendiri pada tingkatan yang paling subtil demikian. Belajar dari berbagai catatan yang ada di kedua lokasi program, membangun kemandirian tersebut didasari dari tiga pilar; pertama, petani perlu mengetahui betul-betul duduk perkara yang melingkupi dirinya sendiri; tidak lagi mengandalkan informasi dari pihak-pihak tertentu saja yang sesungguhnya terbatas dalam biasnya masing-masing, namun melakukan pengecekan langsung, memeriksa sendiri semua rangkaian informasi secara padu dan mengujinya sendiri dengan berbagai cara yang terbuka. Kedua, meragamkan sumber-sumber penghidupan di desa, tidak bergantung pada satu komoditas saja. Dan ketiga, membentuk kekuatan persatuan petani. Yang terakhir ini menjadi kunci paling vital dari kemandirian petani pada akhirnya, dan kunci ini bisa dibangun dengan adanya itikad baik bersama oleh tiap petani, yakni yang beralaskan “rasa senasib-sepenanggungan”. Agenda kerja untuk persatuan bersama, dan mendudukkan kembali rasa senasib-sepenanggungan menjadi komitmen bersama para peserta diskusi ke depannya, yang tidak terbatas hanya dalam mekanisme program atau proyek semata, atau, tidak klise.
Tanpa seremoni yang berlebihan, seorang staf INKAPA dengan menggunakan aksen khas To Kulawi di akhir diskusi menyatakan, “INKAPA ditutup sudah!”. (SS)