Tambang Masuk, Semakin Jauh Masyarakat dari Sumber-Sumber Penghidupannya

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Terik panas matahari membuat perih kulit hari itu. Di seberang jalan ada tebing. Mobil truk danexcavator terdiam di atas tebing. Di bagian lain jalan ada hutan-hutan bakau yang luas, namun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Saya melihat pula seorang perempuan tua terlihat di tepi jalan duduk beralaskan tumitnya sendiri sembari memecahkan batu. Perempuan tua itu terlihat serius sekali menekuni pekerjaanya.

Tak jauh dari perempuan tua itu, ada tenda kecil “dadakan” miliknya. Tenda itu adalah tempat dia berteduh dari sengatan matahari di siang panas dan berdebu. Di dalam tenda terdapat rantang makanan yang hanya sedikit sisa makanan terlihat. Di sebelah rantang, ada botol plastik yang sudah kusam berisikan air minum.

“Ibu, sudah banyak batu terkumpul ya?” tanya saya kepada perempuan tua itu.

“Ohh, sudah banyak”, balasnya pendek dan tegas sembari tangannya terus menggenggam dan menggerakan pemukul naik turun menempa batu di hadapannya.

Perempuan itu adalah Ibu Rosa. Ia adalah salah satu dari puluhan perempuan Desa Wailukum yang bekerja sebagai pemecah batu. Perempuan dan ibu-ibu pemecah batu ini bisa kita temui di tepi jalan Desa Wailukum, saat perjalanan ke Maba, sentral aktifitas Pemerintahan Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara.

Ibu Rosa tidak sendiri bekerja memecahkan batu, namun dibantu oleh salah satu anak perempuannya. Umur ibu Rosa kira-kira 50an tahun, kulit tangannya terlihat sudah kendur, namun masih kuat mengenggam palu untuk memecahkan batu selama 9-10 jam sehari. Pekerjaan memecahkan batu dilakoni sejak tahun 2002 hingga hari ini oleh ibu-ibu dan perempuan di Desa Wailukum.

Keuntungan yang diperoleh dari menjajakan batu ini tergantung dari para pembeli. Rata-rata batu yang dijajakan para perempuan tersebut dibeli untuk kebutuhan bahan konstruksi bangunan. “Batu-batu ini jual ret, satu ret itu Rp. 450.000. Batu-batu ini torang toki kacil-kacil sampai dapa 260 karung. Itu kerja selama 5-6 hari”, tutur Ibu Rosa saat saya menanyakan keuntungan dan cara kerja yang dilakoni hampir sebagian perempuan dan ibu-ibu di Desa Wailukum.

Kebun yang sudah digusur dan laut yang tidak lagi ada ikan adalah alasan kenapa sampai Ibu Rosa dan para perempuan di Desa Wailukum bekerja sebagai pemecah batu. Sebelumnya Ibu Rosa punya perkebunan kelapa yang berada di belakang desa. Namun karena kebutuhan jalan untuk perusahaan tambang dan infrastruktur pendukung aktifitas pemerintahan di Maba, Ibu Rosa melepaskannya. Asumsi Ibu Rosa melepaskan tanahnya, hanya semata-semata untuk mendukung jalannya “otonomisasi”.

“Bakabong1  pemalas abis dorang gusur samua torang punya kelapa, kelapa babua2  dorang gusur. Gusur itu untuk jalan tambang dan jalan kabupaten”, ungkap Ibu Rosa dengan nada menekan dan sedikit marah.

Pengalaman Ibu Rosa tersebut merupakan refleksi dari satu dampak maraknya investasi tambang di Kabupaten Halmahera Timur (Haltim). Kabupaten Haltim adalah kabupaten yang kaya atas kandungan sumberdaya alam yang melimpah. Kekayaan alam Haltim yang disasar menjadi komoditas global adalah mineral logam nikel. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam tahun 2010, jumlah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah berjumlah 15 IU. Kelima belas IUO tersebut mendapatkan luasan lahan dengan total 54.328 hektar, sementara luasan kawasan daratan Kabupaten Halmahera Timur hanya 605.619 hektar.

Tanah untuk berkebun di kawasan padat investasi pertambangan, sudah barang tentu secara berlahan-lahan hilang dikuasai oleh perusahaan tambang. Salah satu desa di sentral aktifitas Pemerintahan Kecamatan Maba, yakni Desa Buli pun terkena pengaruh investasi tambang.

“Tanah di Buli ini sudah habis, banyak orang jual ke Antam untuk tambang, uang yang didapat dari jual tanah itu adalah saat-saat hari bintang bagi orang Buli”, kisah salah satu orang tua kepada saya.  Ceritanya begitu bersemangat dengan nada bicara agak tinggi. Ia adalah seorang tua yang cukup dikenal di Desa Buli, bahkan hingga ke desa tetangga lainnya, seperti Geltoli, Sailal, Buli Asal, dan Pekaulang. Tubuhnya pendek, kulitnya hitam dan menggunakan kacamata. Malam itu cukup dingin di Buli, orang tua itu mengunakan jaket putih dan topi merah yang melekat dikepalanya.

Hilangnya tanah dan uang pembebasan lahan merupakan cerita yang mudah diperoleh di desa-desa Halmahera Timur. Perkebunan kelapa milik warga di Desa Buli Asal sudah tidak lagi diproduksi, bahkan tanah untuk mengarap sudah mulai hilang. Saat dibaginya uang pembebasan lahan banyak orang-orang di Desa Buli Asal yang memiliki banyak uang sehingga bisa membeli mobil untuk digunakan sebagai mobil taksi perjalanan Buli-Soffi. Tetapi ada pula mereka yang memperoleh uang hingga ratusan bahkan milyaran rupiah, namun tidak mampu menyekolahkan anak mereka. Uangnya habis dihamburkan hingga ke Ternate-Tobelo, bahkan Manado.

“Pembebasan lahan itu bisa sampai milyar, ada satu orang di desa ini dia peroleh hingga 1 milyar lebih. Pada tahun 2010, tahun 2008 itu rata-rata 500 juta hingga 400 juta. 2002, 2004, 2008, 2010, itu tahun-tahun pembebasan lahan di Desa Buli Asal, [terjadi sebanyak] empat tahapan. Orang yang menerima biaya pembebasan ada yang buat beli mobil dan dijadikan mobil rental, namun ada juga yang uangnya habis dengan hura-hura hingga membiayai anak sekolah pun tak bisa”, demikian cerita seorang tokoh pemuda kepada saya di teras rumahnya, di Desa Buli Asal.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sajogyo Institute tahun 2012, mudahnya keterlepasan penguasaan dan pengelolahan tanah oleh masyarakat di kawasan Halmahera Timur terhadap perusahaan tambang dikarenakan masifnya mekanisme tuturan tentang kemajuan dan pembangunan atas adanya investasi tambang yang dimainkan di tingkat komunitas. Uang dari hasil penjualan tanah adalah jawaban dari kemajuan itu. Karena tambang, orang Buli bawa uang dengan “saloi-saloinya3”, tangap seorang Buli yang saya temui saat memintai padangannya atas tambang di Buli.

Mekanisme ekonomi uang begitu kuat bermain di komunitas masyarakat yang berada di kawasan- pertambangan. Cerita ketersediaan layanan alam telah berganti gunung-gunung yang botak. Pandangan ini mudah anda peroleh saat anda berada dan duduk di pesisir Teluk Buli, atau saat pesawat anda mendarat di Bandara Buli yang berada di Desa Pekaulang.

“Tahun 1993-1998, Teluk Buli diramaikan para nelayan bagan4 ikan “ngafi” atau ikan teri. Malam hari di lautan Teluk Buli seakan sebuah kota yang penuh dengan gemerlap-gemerlip lampu”, tutur seorang guru yang juga anak kampung di Desa Wailukum menceritakan kepada saya romantisme berlimpahnya sumber daya ikan teri yang menjadi mata pencaharian favorit orang-orang yang mendiami sejumlah desa di Teluk Buli. Raut wajahnya tiba-tiba berubah sinis saat dia menceritakan kelanjutan tahun berikutnya. Tepatnya pada tahun 2000 ketika ikan teri di kawasan Teluk Buli tidak lagi didapati para nelayan, dan tiba-tiba saja bagan ikan teri milik nelayan sudah tidak lagi terlihat.

Di tahun yang sama pemerintah Indonesia lewat Direktur Jenderal Pertambangan Umum mengeluarkan sebuah surat bernomor, 490.K/24.01/DJP/2000 memberikan luasan lahan untuk eksploitasi tambang nikel kepada PT. Antam. Melalui surat tersebut PT. Antam bisa mengeksploitasi lahan seluas 39.040 hektar yang terletak di kawasan Tanjung Buli, Bukit Maronopo, dan Pulau Gee. Kini kondisi tanjung, bukit dan pulau tempat berjalannya eksploitasi tambang sangat memprihatinkan. Kesan hijau pada suatu pulau, bukit atau tanjung di wilayah Halmahera yang biasanya terlihat, sekarang di ketiga lokasi tersebut hanyalah balutan tanah berwarna coklat, ditambah tumpukan ore5yang dibungkusi terpal berwarna oranye. Pemandangan itu semakin diramaikan dengan mondar-mandirnya truk-truk yang tinggi rodanya bisa mencapai 2 meter serta aparat Brimob bersenjata lengkap yang berjaga-jaga di pos-pos pintu masuk.

“Saya baru dari Haltim, ada pulau Gee hancur memang”, ungkap Saiful Ruray Anggota DPRD Propinsi Maluku Utara, yang baru saja pulang dari Buli Halmahera Timur. Ia melihat dengan mata telanjang kehancuran pulau Gee akibat eksploitasi tambang  di Teluk Buli.

“Laut di Teluk Buli so tarada ikan, pernah ada nelayan di desa ini buang jaring di pesisir tanjung Buli, dan anehnya tidak dapat ikan, yang dorang dapa lumpur merah tatempel di jaring ikan, bahkan “lot” (pemberat kail) yang kasi tengelam di laut ada lumpur merah yang tatempel”, cerca Bapak Rudi. Lelaki yang mungkin sudah berumur tiga puluhan tahun itu mencurigai kedatangan lumpur-lumpur merah itu dari aktifitas pemuatan ore di Tanjung Buli oleh perusahaan tambang.

Apakah sektor ekonomi keruk pertambangan ini benar-benar memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, terutama orang-orang di pulau Halmahera? Selama ini sektor keruk ini begitu menjadi idola di hampir semua daerah di Propinsi Maluku Utara. Bahkan, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota berlomba-lomba mendatangkan orang-orang “berduit” untuk menanamkan investasi tambang di daerahnya. Namun hingga kini, kata kesejahteraan dan perbaikan ekonomi jarang sekali kita temui di lokasi pertambangan. Malah, yang ada hanyalah hilangnya lahan perkebunan, alam yang tidak lagi menyediakan kebutuhan komunitas masyarakat setempat, dan juga konflik. Apakah tuturan pasrah Ibu Rosa, “Saya karja kasi pica batu dan jual batu ini, untuk kebutuhan makan saja, kabong so trada, jadi mau makan apa…? Cuma ini saja yang saya bisa.” (Disunting oleh Muntaza)


Tulisan ini merupakan hasil suntingan dari tulisan Fahruddin Maloko dengan judul “Ibu Rosita: Tambang Masuk, Terlempar dari Kebun” yang sebelumnya tampil di http://rumahalir.or.id/ibu-rosita-di-tepi-jalan/

Transliterasi:

  1. Bakabong = Berkebun.
  2. Babua =  Berbuah.
  3. Saloi = Alat yang terbuat dari rotan, yang biasanya digunakan untuk menaruh hasil kebun. Alat ini biasanya digunakan perempuan.
  4. Bagan = Perahu penangkap ikan.
  5. Ore = Bahan mentah mineral nikel yang masih menyatu dengan tanah.

More to explorer

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen + 10 =

KABAR TERBARU!