Tragedi Petani dan Pertanian Kita

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Lahan para petani di suatu kabupaten di Kalimantan Tengah dirampas orang-orang perkebunan kelapa sawit.
Dirampas itu maksudnya dibeli secara paksa, dengan harga murah meriah.

Tekanan pihak perkebunan bukan hanya intens, melainkan sudah bersifat mengancam, dengan menggunakan aparat keamanan. Ada polisi yang sangat gigih membela pemilik modal dan memaksa para petani bertekuk lutut tanpa syarat. Ringkas cerita, karena kegarangan cara pihak perkebunan melakukan negosiasi, para petani pun mengalah dan rela membiarkan tanah pertanian— tempat mereka menggantungkan hidup seluruh keluarga—lenyap di tangan kapitalis, dibantu sepenuh jiwa raga aparat perusak hukum negara yang tugas utamanya seharusnya melindungi kaum tertindas macam para petani tersebut.

Para petani rela mengalah dan mengorbankan lahan pertanian bukan karena tak ada jaminan keselamatan jiwa di negerinya sendiri di bawah pengayoman polisi negerinya. Tapi, ada satu petani yang tak mengalah. Dia melawan dengan kemampuannya yang terbatas: memasang spanduk dan menggambarkan keganasan pihak perkebunan yang sebangsa dan setanah air dengan sang petani.

Spanduknya dibaca secara terbatas oleh mereka yang lewat di depan rumahnya. Si petani berpidato di depan rumahnya pula. Tapi, siapakah yang mau mendengarkan pidato petani yang ada isinya dibanding pidato para pejabat yang omong kosong? Sedikit sekali pendengarnya. Tapi, itu pun membuat resah pihak yang merasa berdosa. Aparat keamanan yang datang untuk mengancam—bukan melindungi—sang petani yang patriotik itu. Kalau tak mau berhenti berpidato, anaknya akan diculik. Sudah diculik, tapi pidatonya tetap jalan.

Dia tetap melawan dengan kemampuan terbatas. Aneh, satu orang petani, bisa membikin gemetar orang kaya raya, dibantu aparat negara. Ini hanya secuil kecil gambaran tentang betapa mengenaskannya hidup para petani kita dan nasib dunia pertanian di republik yang dipimpin sarjana pertanian ini. Sikap memihak kapital global dan pengusaha- pengusaha lokal yang berkiblat pada cara hidup vandalis itu jelas membikin kehidupan petani dan dunia pertanian pupus tanpa harapan lagi. Ini kisah yang disampaikan Sri Palupi, pembuka acara renungan di Sajogyo Institute, Sabtu, 16 Maret 2013, di Kota Bogor.

Peninggalan “Eyang” Sajogyo

Prof. Sajogyo, ahli sosiologi pedesaan dari Institut Pertanian Bogor, sudah setahun meninggalkan kita, ke tempat yang lebih damai, di “rumah” ke-abadiannya, di mana sosiologi pedesaan, nasib petani dan hari depan dunia pertanian Indonesia yang mencemaskan,—bahkan mengenaskan— itu, kini tak lagi menjadi bagian dari darma hidupnya. Seheroik apa pun segenap amal salehnya di dunia yang fana ini, baginya sudah tak relevan.

“Eyang“ kita sang mahayogi memasuki alam kedamaian dengan damai pula seperti angin yang bertiup mendekat dan kemudian menjauh. Kepergiannya bersahaja seperticerminhidupnya. Takada yang tampak gegap gempita. Tak ada ulasan di media. Pendeknya, dengan kata lain, tak ada kepalsuan secuil pun yang mengiringi kepulangannya. Beberapa tahun terakhir, raganya memang sudah semakin meringkih dan tak cocok lagi untuk mendukung semangat ibadah sosialnya di dunia ilmu dan gerakan pembebasan kaum tani.

Sebagian kecil jejak kehidupan “Eyang” tampak pada Sains (Sajogyo Institute), yang berkantor di bekas rumah beliau di Jalan Malabar No. 22, Bogor. Sains sudah menjadi sejenis komunitas akademik sekaligus tempat generasi muda—para murid, cucu murid—mengembangkan ilmu, dalam disiplin yang beragam, tapi sangat relevan dengan kehidupan para petani dan dunia pertanian.

Di sana juga menjadi tempat bagi mereka yang memiliki panggilan jiwa untuk melakukan gerakan-gerakan membela kaum tani. Jadi Sains tempat reriungan, berpuisi, bernyanyi, dan mengasah kepekaan ilmiah dan sosial, dalam cara kaum muda membangun kiblat hidup, yang ruh utamanya bukan duit—artinya tak tergiur semangat hidup kapitalistik yang kering dari rasa kemanusiaan— , tapi kepuasan moral, yang jauh lebih tinggi lagi.

Bagi beberapa aktivis, ini masih berada di tingkat embrio, masih lemah, dan memerlukan penguatan agar bibit-bibit kebaikan tak otomatis terbunuh begitu saja oleh semangat yang semata duniawi, yang tak menghiraukan kata Gandhi bahwa “the accumulation of wealth” itu hakikatnya merupakan “the accumulation of sins”.

Kita tahu karena “wealth” dihimpun dengan berbagai cara, termasuk kelicikan dan kekejaman, yang membunuh orang lain, dan watak serakah yang tak cocok lagi dengan hidup kekinian yang mulai semakin sadar meneriakkan kerja sama yang harmonis demi kemanusiaan, dan bukan kompetisi yang menghalalkan kematian demi kematian sesama manusia.

Sarasehan dan Pemihakan

Setahun kepergian “Eyang” diperingati dengan khidmat, selama tiga hari berturut-turut, dengan kesederhanaan yang merupakan ciri hidup beliau. Jumat, 15 Maret 2013, acara ziarah ke makam beliau di Taman Makam Pahlawan di Bogor. Sabtu, 16 Maret 2013, acara sarasehan. Minggu, 17 Maret 2013, acara penutupan: tahlil dan doa. Saya diminta memimpin diskusi di acara sarasehan pada Sabtu tersebut.

Tapi, karena tidak datang pada Jumat, saya memulai acara dengan lebih dahulu menziarahi “Eyang” di pemakaman yang tak mungkin tergusur. Panitia, di bawah koordinator Mas Eko Cahyono, menyusun tema: Nasib Petani dan Dunia Pertanian Kita. Kaum muda pun mendapat prioritas untuk menyampaikan pemikiran dan renungan masing-masing sebagai respons dan pengembangan lebih jauh pemikiran Prof. Sajogyo.

Esai pendek ini tak mungkin menampung—biarpun sekadar intinya—semua renungan. Tapi, renungan pertama, Sri Palupi, yang sangat menyengat kesadaran hadirin wajib diutamakan. Dia memberi contoh semangat penghancuran petani dan dunia pertanian dengan kasus dari Kalimantan Tengah, sebagaimana dikutip dalam pembukaan di atas, Bang Sastrawan Ayip Rosjidi, yang bukan ahli pertanian, juga bicara.

Dia menggambarkan dunia kebudayaan yang gelap gulita juga. Sebagian penyebab utamanya adalah perumus kebijakan kita tak mengerti makna kebudayaan. Kesenian sebagai bagian dari kebudayaan sudah sangat lama merana. Di negeri ini banyak ihwal penting yang tak diurus pemerintah dan dibiarkan dalam keadaan gelap gulita. Ayip bertanya, apa sebenarnya gunanya ada pemerintah? Apa kita akan harus bersikap sebaiknya kita hidup tanpa pemerintah? Petani dan dunia pertanian merana. Kehidupan bidang kebudayaan tak kalah menderitanya.

Bang Dillon bicara mengenai strategi, mengutip—atau menegaskan kembali—pemikiran Prof. Sajogyo, bahwa bila petani sadar dan bangkit untuk mengatasi persoalannya, itu baginya tanda pembangunan dimulai. Bang Dillon mempertanyakan, selama ini strategi gerakan penyadaran itu seperti apa? Maka perlu strategi baru yang lebih menjawab persoalan. Pak Gunawan Wiradi bicara lebih mengenai ideologi dan pemihakan pada petani. Ibu Pertiwi sedang bersusah hati, sebagaimana bait dalam sebuah lagu kita. Ibu Pertiwi merintih dan berdoa.

Gunung, sawah, ladang, dan lautan, simpanan kekayaan, tidak dikelola untuk menyejahterakan kita semua. Kekayaan kita dirampok orang asing. Untuk kepentingan asing dan kita makin merana. Sebelum penutupan, saya menambahkan renungan ini dengan menyebut bahwa simpanan kekayaan yang dirampok orang asing itu semua atas izin dan kerelaan para pengelola negeri—Ibu Pertiwi— yang sedang merintih dan berdoa ini.


Sumber: Koran Sindo 18 Maret 2013.

More to explorer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 − 15 =

KABAR TERBARU!